Cerpen: Wayan Sunarta
Ia, lelaki
yang sejak pertemuan pertama telah menggetarkan hatiku karena rayuan-rayuannya
yang romantis, entah mengapa menjelma sosok mengerikan melebihi monster yang
pernah kami tonton saat pacaran dulu.
Ia memanggilku Oni. Panggilan
mesra, kata ia. Aku baru mengenalnya lima bulan ketika memutuskan menerima
lamarannya. Saat itu usiaku dua puluh dua. Tergolong masih bau kencur bagi
perempuan jaman sekarang untuk meniti jenjang pernikahan. Lelaki itu tiga tahun
lebih tua dariku. Bulan-bulan pertama pernikahan, kami diselimuti kebahagiaan
dan kemesraan. Maklum, pengantin baru! Namun, bulan lama segera sirna berganti
bulan baru, seiring pudarnya masa-masa indah perkawinan. Perlahan, suamiku
menjelma sosok mengerikan. Keromantisan dan kehangatannya tiba-tiba saja punah.
Kami sering bertengkar karena
berbagai persoalan. Mulai dari hal sepele sampai yang mengancam kenyamanan
hubungan kami. Bahkan pertengkaran bisa terjadi hanya gara-gara aku menegurnya
karena sering lupa gosok gigi menjelang tidur. Tidak jarang ia menamparku,
lebih sering lagi memakiku dengan kata-kata yang sangat menyakitkan hati.
Dalam setiap pertengkaran,
biasanya selalu aku yang dipojokkan dan disalahkan. Misalnya, kalau aku
terlambat pulang dari kerja, ia menuduhku macam-macam. Pikirannya selalu
dibayangi kecemasan berlebihan kalau aku akan bermain cinta dengan lelaki lain
di belakang tengkuknya. Padahal sungguh mati, mana sempat aku berniat sejauh
itu. Pikiranku terlalu letih dijejali kesibukan pekerjaan sebagai staf
administrasi di sebuah kantor.
Mungkin karena terkena tamparan
PHK dari kantornya yang bangkrut menyebabkan suamiku jadi beringas seperti itu.
Ia tidak punya kesibukan setelah berhenti bekerja. Sering ia tampak
uring-uringan, ngluyur malam-malam dan kadang mabuk-mabukan bersama
teman-temannya. Aku berusaha menasehatinya. Namun nasehatku berbuah
pertengkaran. Bahkan ketika aku hamil pun ia masih bisa mengajak aku bertengkar
dan merasa puas setelah mendaratkan tamparan di wajahku. Aku mencoba tabah dan
berusaha bertahan dalam kondisi seperti itu. Sebutlah aku perempuan bodoh atau
dungu, aku tidak akan apa-apa. Aku hanya mencoba menjadi istri yang baik bagi
suamiku.
Namun, kesabaran ada takarannya.
Bisa kau bayangkan, ketika usia perkawinan kami menjelang tahun kedua, ketika
bayi dalam kandunganku hampir nongol, ia menghianatiku persis di depan mataku
sendiri. Ketika itu aku baru saja pulang dari kantor dan hampir mencapai rumah
saat kulihat ia membonceng perempuan lain keluar dari rumah kami. Aku terkejut.
Aku meyakinkan mataku agar tidak salah lihat. Malah ia yang pura-pura tidak
melihatku. Aku berusaha menenangkan diri, takut kandunganku keguguran. Sampai
di rumah, aku masuk kamar dan terkesiap menyaksikan sprei kasur kami basah oleh
keringat dan beberapa helai rambut perempuan masih tercecer di situ. Aku
menghela nafas kecewa. Tak kusangka suamiku bisa berbuat sekejam itu, justru
ketika aku akan memberikannya seorang anak.
Menjelang tengah malam suamiku
pulang. Mulutnya beraroma alkohol. Aku berusaha memapahnya ke ranjang yang
telah bau keringat perempuan lain. Tapi ia menepis tanganku dengan kasar
sehingga aku terhuyung dan hampir terjatuh. Aku memegangi perutku yang bagai
gunung api siap meletus. Ia malah menghardikku dengan umpatannya yang menyakitkan:
“Dasar sundal!” Apa salahku sampai
dimaki sekeji itu?
Aku tidak tahan lagi. Dengan
sekuat tenaga aku tampar mulutnya sambil berteriak: “Dasar gigolo murahan!
Bajingan tengik! Berani-beraninya kau ngajak perempuan lain ke rumah!” Ia
terkesima. Badannya sempoyongan karena mabuk dan tamparanku. Tanganku masih
gemetar menahan amarah yang meluap ganas. Aku hendak menamparnya sekali lagi
ketika kepalan tangannya terlebih dulu meninju mulutku. Aku jatuh terjerembab
di ranjang. Beberapa saat kemudian aku merasakan cairan dingin meleleh di
pangkal pahaku. Kepala bayiku muncul, tangisnya menyeruak kesepian malam.
Ia, lelaki yang pernah kucintai
habis-habisan itu, bukannya membantuku melakukan persalinan darurat atau
meminta bantuan pada tetangga. Ia malah pergi meninggalkan aku sendirian dalam
kondisi kesakitan karena pukulannya dan persalinan. Syukur, bayi mungilku
menolongku dengan tangisnya yang melengking sehingga membangunkan beberapa
tetangga sebelah rumah.
Hampir seminggu aku diopname di
rumah sakit karena guncangan jiwa dan pendarahan. Kau tahu, suamiku tidak
pernah menjengukku, untuk sekadar mengelus kepalaku, menyatakan penyesalan dan
minta maaf. Malah dari cerita adikku yang pernah memergokinya, aku tahu ia
masih menjalin hubungan dengan perempuan idamannya itu.
Cerai? Ya, akhirnya aku mengambil
keputusan menceraikannya. Keluargaku dan kawan-kawan dekat mendukung. Tidak ada
jalan lain kecuali menceraikannya. Tapi kau tahu, betapa sakit hatiku ketika di
pengadilan hakim memutuskan bahwa yang berhak mengasuh anakku adalah ayahnya,
lelaki kasar tak bertanggung jawab yang telah membuatku menderita. Aku menangis
di pengadilan memohon pada hakim agar diijinkan mengasuh dan membesarkan anakku
sendiri. Tapi tangis dan kepiluanku hanya membentur ruang bisu pengadilan.
Sepintas kulirik lelaki monster itu tersenyum sinis penuh kemenangan. Harapanku
membangun rumah tangga harmonis dan bahagia telah kandas. Dan, anak yang
kukandung penuh cinta dan derita telah pula dirampas. Kau tahu, betapa sakit
hatiku.
****
Sejak pertama berjumpa dengan
perempuan itu, hatiku kedap-kedip kesetrum parasnya yang polos. Setelah gagal
menjalin asmara dengan beberapa perempuan, aku yakin dialah perempuan yang
kutunggu-tunggu sepanjang perjalanan hidupku.
Dia pegawai baru di kantor dan kebetulan pula
satu divisi denganku. Aku banyak mengajarinya sistem kerja dalam divisiku
karena kebetulan aku cukup lama bekerja di situ. Pada saat-saat jam mengaso aku
suka mengajaknya makan siang bersama di kantin dekat kantor. Anehnya dia mau saja.
Bahkan ketika aku menawarkan diri mengantarnya pulang, dia juga tidak menolak.
Tentu saja aku girang luar biasa. Aku telah tersihir parasnya yang polos.
Akhirnya, di suatu malam minggu
di sebuah kafe romantis pinggiran pantai, aku memberanikan diri menyatakan
perasaanku padanya. Dia hanya diam dan senyum manis mendengar rayuanku. Irama
ombak bergetar, mengalun memenuhi dadaku yang berdegup kencang, menanti-nanti
jawaban dari bibir mungilnya. Kuyakinkan dia bahwa aku akan menjadi yang
terbaik buatnya. Kukerahkan seluruh perbendaharaan kata-kata romantis yang
kudapat sejak rajin membaca buku-buku Kahlil Gibran. Namun, dia tetap diam dan
menunduk malu. Beberapa saat kemudian dia berkata: “Aku takut kau akan
mengecewakan aku nantinya. Bukankah lelaki pintar melancarkan rayuan-rayuan
gombalnya? Kenapa mesti aku? Bukankah masih banyak perempuan yang lebih cantik
dibanding aku?”
Giliranku yang terdiam, terpesona
pada kata-katanya yang tajam menusuk jiwa lelakiku. Malam itu dengan kecewa aku
antar dia pulang. Sepanjang jalan kami hanya mampu berdiam diri, bergulat
dengan pikiran masing-masing. Sungguh tak nyaman rasanya. Apalagi lagu-lagu
melankolis yang memenuhi mobilku seakan menyindir kekecewaanku. Sampai di depan
rumahnya, dia memegang tanganku dan berkata: “Sejak pertama kali mengenalmu,
aku yakin kaulah lelaki pilihanku. Aku siap mendampingimu. Mohon jangan
kecewakan aku.”
Seketika itu juga bunga-bunga
dalam jiwaku yang semula layu serentak bermekaran kembali. Akhirnya, aku
berhasil mendapatkan cintanya, dan sejak itu resmi menjadi kekasihnya. Bisa kau
bayangkan, betapa hari-hari kami penuh diliputi wangi cinta.
Hubungan kami telah berjalan
hampir dua tahun ketika dia mulai bertingkah. Dia sering marah-marah tanpa aku
tahu duduk persoalannya. Bahkan hal sepele bisa menjadi pertengkaran yang hebat
sampai mengungkit masa lalu segala. Pada saat seperti itu, parasnya yang polos
dan menyejukkan seakan sirna, berganti menjadi wajah Dewi Durga yang
menyeramkan. Aneh, ke mana larinya paras polos nan lembut itu?
Pada mulanya aku berusaha
bersabar. Aku berusaha menghibur diri dengan guyonan bahwa pada dasarnya
perempuan memang cerewet karena memiliki dua bibir. Tapi, aku mulai tidak tahan
ketika dia menuduhku yang bukan-bukan. Aku dicurigai selingkuh dengan teman
satu kantor. Entah dari mana dia dapatkan gosip murahan itu? Dalam suatu
pertengkaran yang panas, dia mengungkapkan bahwa temannya pernah melihat aku
satu mobil dengan perempuan sekantor yang dicurigai sebagai selingkuhanku.
“Duh, demi Tuhan, aku tidak ada
hubungan apa-apa dengan perempuan itu. Kebetulan saja tugas kantor mengharuskan
aku satu mobil dengannya. Kalau tidak percaya tanyakan saja sopir kantor
nanti!” jelasku dengan hati panas.
Tapi dia tidak percaya begitu
saja. Agaknya dia lebih percaya kabar angin yang dihembuskan temannya itu. Yang
membuat hatiku tambah panas, selain tuduhan yang tidak beralasan, dia
menudingku sebagai lelaki tidak setia, sering buat kecewa dia, dan suka
memainkan perasaan perempuan. Duh, aku mesti jawab apa? Demi Tuhan, aku hanya
ingin memberikan yang terbaik buat dia. Jangankan untuk selingkuh yang akan
menimbulkan perasaan bersalah pada diriku, pekerjaanku yang bertumpuk di kantor
saja telah membuat kepalaku puyeng.
“Buat apa aku cari perempuan
lagi? Aku sudah sangat puas denganmu, dan kau pun bisa memuaskan aku sebagai
lelaki. Percayalah, kau yang terbaik buatku!” jelasku meyakinkannya. Memang,
dalam waktu dekat aku berniat melamarnya. Dia merengut. “Dasar gombal!” ujarnya
manja. Kemudian dia memelukku dan minta maaf telah menuduhku yang bukan-bukan.
Seringkali pertengkaran kami akan
segera tuntas dengan pergumulan seru di atas springbed. Ketika dia
hampir mencapai puncak pergulatan, pujian dan permohonan memelas akan segera
terlontar dari mulutnya yang mendesah-desah dan megap-megap. “Kau hebat! Aku
mencintaimu! Aku takut kehilanganmu! Jangan tinggalkan aku…uhhh...!”
Baru belakangan kusadari
kalau semua itu hanya gombalannya dalam bercinta. Betapa dungunya aku? Dia,
perempuan berparas polos seakan tanpa dosa itu, tak kusangka telah berani
bermain api di belakang punggungku. Ternyata selama ini tuduhan-tuduhan dan
berbagai kecurigaan yang dihamtamkannya kepadaku hanya untuk menutup-nutupi
kebusukannya sendiri. Bau busuk itu baru tercium ketika pada suatu malam aku
mampir mendadak ke rumah kontrakannya. Aku melihat bayangan lelaki sedang
memasuki kamarnya. Amarahku memuncak dan hampir meluap kalau tidak segera
kukendalikan.
Dengan mengendap-endap
aku tiba di jendela kamarnya. Dan dengan menahan nafas, aku mengintip dua
bayangan itu dari korden jendela yang sedikit tersingkap. Mereka tentu tidak
melihatku karena di luar gelap gulita, sedangkan aku samar-samar melihat dua
insan berbeda kelamin itu saling belit di ranjang. Mengintip adegan memalukan
itu, mendadak amarahku telah mengalahkan pikiran warasku. Aku masuk ke dalam
rumah dan sekuat tenaga mendobrak pintu kamarnya. Dia, perempuan berparas polos
itu, gelagapan. Tubuhnya mulus bugil segera ditutupinya dengan selimut. Si
lelaki hanya mengenakan cawat saja. Aku kaget. Lelaki itu juga terkesiap dan
mukanya tiba-tiba pucat. Belum sempat lelaki itu membuka mulut, kepalan tinjuku
telah menyumpal mulutnya yang membuatnya terjengkang. Ketika ia mencoba
bangkit, kutendang perutnya hingga ia tak berkutik lagi.
Dia, perempuan gombal
itu, gemetar ketakutan di sudut ranjang. Aku hampiri dia. Tinju kukepalkan
kuat-kuat. Dia berteriak histeris memohon ampun seraya memeluk kakiku. Kuludahi
paras polos yang seakan tanpa dosa itu, yang telah menyihirku begitu rupa.
“Dasar sundal!” teriakku.
Dengan membawa sakit hati
yang tiada terkira, kutinggalkan dia yang menangis sesenggukan seakan menyesali
perbuatan binatangnya. Panggil aku lelaki dungu, aku tidak akan apa-apa, sebab
aku memang telah dibuat dungu oleh perempuan yang mati-matian kucintai itu. Kau
tahu siapa yang diajaknya berselingkuh? Teman sekantorku!
****
“Sungguh tragis dan dramatis!
Beruntung kau tidak menikahinya,” komentar Oni, usai aku menuturkan kisah
cintaku yang paling sedih.
Angin pantai berhembus mengantar
aroma garam. Lampu-lampu perahu nelayan berkedip-kedip bagai kunang-kunang di
kekelaman malam. Ini pertemuanku yang ke lima sejak pertama berkenalan dengan
Oni di sebuah kafe yang biasa kukunjungi ketika jiwaku gundah.
Biasanya kami hanya ngobrol di
bawah temaram lampu kafe. Tapi pertemuan kali ini, aku mengajaknya nongkrong
dan ngobrol di pinggiran pantai seraya menikmati gemerlap bintang di langit dan
kerling lampu-lampu perahu. Kami saling berbagi kisah. Dengan cara itu kami
merasa akrab. Ada perasaan hangat menjalari jiwa kami.
“Ya, syukur aku tidak nikah dengan perempuan brengsek itu! Coba, apa
jadinya kalau kami terlanjur membangun rumah tangga dan dia menghianatiku?
Mungkin aku lebih beruntung dari kau. Tapi kisah cinta kita sama-sama perihnya,
bukan!” ujarku.
“Sejak pertama mengenal cinta, aku telah
berkali-kali luka. Rupanya lelaki hanya perlu kehangatan tubuhku saja. Aku
pernah memutuskan untuk selamanya tidak percaya sama laki-laki, tapi…”
“Sudahlah! Perempuan juga sama
saja. Kau tahu, sebelum menjalin cinta dengan perempuan yang kuceritakan tadi,
aku juga telah berkali-kali dikibuli perempuan. Tapi aku berusaha percaya bahwa
tidak semua perempuan seperti itu. Nyatanya ketika kepercayaanku mulai tumbuh,
malah kembali diinjak-injak oleh perempuan berparas polos tanpa dosa itu.
Agaknya, kita ditakdirkan menderita karena cinta.”
“Tapi, aku percaya, Tuhan telah
menuntunku menemukan lelaki yang kelak akan membahagiakan aku. Kau lelaki baik.
Susah menemukan lelaki sepertimu.”
“Kau juga perempuan baik. Kau
perempuan yang tabah menghadapi penderitaan. Memang, pengalaman pahit
seringkali membuat kita lebih kuat,” sejenak aku terdiam merasakan lenguh ombak
di kejauhan. “Oni, aku baru beberapa minggu mengenalmu, tapi rasanya kita telah
kenal bertahun-tahun. Apa mungkin kita dipertemukan pengalaman pahit yang sama?
Aku ingin membangun kepercayaanku lagi. Maukah kau jadi istriku?” Akhirnya,
kuungkapkan juga perasaanku pada Oni.
“Jangan bercanda. Apa kau mau
mengawini janda? Apa kata keluargamu nantinya?” Oni mencubit lenganku sambil
tersipu malu.
“Hidupku adalah hidupku, bukan
hidup keluargaku. Usiaku tiga lima, aku telah matang untuk menikah. Aku sudah
letih berhubungan dengan perempuan munafik. Apa salahnya aku menikahi janda
kalau mampu memberiku kebahagiaan?”
“Kenapa kau begitu yakin aku
mampu memberimu kebahagiaan?”
“Kenapa kau
tanyakan itu?”
“Aku cemas, setelah denganmu, aku
akan jadi janda lagi.”
“Tidak, Oni! Kita tidak akan
membiarkan itu terjadi. Aku mengasihimu…”
Perlahan kubelai rambutnya yang
telah beraroma garam. Angin dari arah pantai berhembus lembut. Kukecup
keningnya. Kucium mesra pucuk hidungnya. Gemuruh laut bergulung-gulung dalam
jiwaku. Lampu-lampu perahu berkedip bagai kunang-kunang di kekelaman malam.***
Denpasar, 2005
No comments:
Post a Comment