cerpen:
Wayan Sunarta
Sudah berabad-abad aku
menghuni danau. Di dasar danau aku bermain-main, berenang-renang dari tepian ke
tepian bersama ikan-ikan dan ular-ular air. Sesekali aku bercengkerama dengan
kerang dan ganggang. Aku menjadi raja dan memimpin segala jenis hewan air di
danau yang damai ini. Danau ini telah menjadi kerajaan abadiku.
Aku tidak
bisa lagi mengembara dari hutan ke hutan, dari tiyuh ke tiyuh,
seperti yang pernah kulakukan dulu. Aku bukan lagi manusia. Sejak aku memakan telur
ajaib itu, tubuhku menjelma ular bertanduk. Aku menyesal telah mengabaikan
nasehat adikku. Namun, semuanya telah terlambat, sesal tidak lagi berguna.
Dulu, ratusan tahun lalu, aku
masih bisa disebut manusia. Aku dan adikku menetap di sebuah tiyuh yang
miskin. Hidup kami serba kekurangan dan sangat memprihatinkan. Sejak
kanak-kanak, kami telah menjadi yatim-piatu. Ibu dan Ayah meninggal karena
suatu penyakit yang dideritanya. Ayah lebih dulu meninggal. Karena tidak tahan
menahan kesedihan, Ibu pun menyusul Ayah ke alam baka. Maka sempurna pula
kemalangan yang menimpa kami. Sebelum Ibu meninggal, beliau berpesan agar aku
selalu menjaga dan melindungi adikku yang saat itu masih belum genap lima
tahun.
Aku pun
menjadi ibu sekaligus ayah bagi adikku. Bersyukur pula ada beberapa tetangga
yang merasa kasihan pada nasib kami. Mereka terkadang memberi kami makanan.
Namun, mereka juga tidak mampu berbuat banyak sebab hidup mereka pun serba
kekurangan. Aku berjuang membesarkan adikku. Setiap hari aku merambah hutan
mengumpulkan dan meramu hasil hutan yang bisa kami pakai menyambung hidup.
Terkadang sampai berhari-hari aku tidak pulang dan mesti bermalam di hutan.
Dan, biasanya aku menitipkan adikku pada tetangga yang sudi menjaganya. Dari
dalam hutan aku memperoleh buah-buahan dan jenis umbi-umbian yang tidak mudah
busuk. Aku juga mengumpulkan kayu bakar untuk ditukar dengan keperluan lain di
pasar. Terkadang aku memancing atau mencari kerang di sungai yang tidak jauh
dari nuwo.
Tiada
terasa tahun telah berganti tahun. Kami pun beranjak dewasa. Kami telah ditempa
dan dimatangkan oleh alam yang keras yang mesti kami hadapi dengan perjuangan.
Adikku mekar menjadi remaja yang sungguh cantik. Rambutnya panjang tergerai dan
parasnya begitu lembut menyejukkan hati. Aku sangat menyayanginya. Dia mahir
menenun, suatu keahlian yang dipelajarinya dari tetangga. Sementara aku pergi
ke hutan, dia menenun kain di nuwo. Kain-kain hasil tenunannya dijual di
pasar satu-satunya yang ada di tiyuh kami. Namun lebih sering kain
tenunan adikku tidak laku. Mungkin dianggap kurang bagus dibanding kain tenunan
dari tiyuh sebelah. Adikku suka murung kalau kain tenunannya tidak laku.
Dan, aku pun berusaha menghiburnya hingga dia bisa tersenyum kembali. Semangat
hidup tetap menyala pada kelembutan wajahnya.
Suatu hari,
pulang dari hutan, aku menyusuri sungai yang biasa kulewati. Di tengah
perjalanan aku menemukan sebuah pancuran di tebing sungai. Aneh sekali.
Seingatku, beberapa kali melewati sungai itu tapi tidak sekali pun aku pernah
melihat pancuran. Seakan pancuran yang berair jernih itu tiba-tiba saja muncul
di hadapanku. Aku mengamati sekeliling pancuran yang ajaib itu. Dan betapa
kagetnya aku. Di sela-sela batu di dekat pancuran aku menemukan dua butir
telur. Aku girang sekali. Sebab sudah lama aku tidak makan telur. Dewa maha
pemurah. Aku mengamati telur-telur itu agak lama. Bentuk dan besarnya
menyerupai telur angsa. Namun warna kulit telur itu kuning keemasan ketika
diterpa cahaya matahari senja. Semula aku berpikir itu telur emas. Aku
mengambil telur itu dan membawanya pulang. Adikku pasti gembira melihat hasil
kerjaku, pikirku.
Sampai di nuwo,
seperti biasa Adik menyambutku dengan manja. “Hari ini apa yang kau bawa, Bang?
Pasti ubi lagi, ya?” Dia memeriksa buntelan kain yang kubawa.
“Aku tidak
membiarkanmu makan ubi terus. Hari ini dewa-dewa sungai memberkati kita. Aku
menemukan dua butir telur dekat pancuran di pinggir sungai. Kau pasti
menyukainya,” ujarku sambil tersenyum gembira.
Aku membuka buntelan kain di atas
meja kayu. Adik mengamati telur yang terhidang di atas kain. Wajahnya tidak
kuasa menyembunyikan keheranan. “Bang, ini telur apa? Kenapa aneh sekali warna
dan bentuknya?”
“Aku juga
tidak tahu. Tapi kupikir ini telur angsa,” jawabku untuk memuaskan
keheranannya. Padahal aku juga heran dengan telur itu.
“Kau yakin
di tepi sungai itu ada pancuran?” tanyanya penasaran.
“Baru kali
ini aku lihat pancuran itu. Padahal aku sudah sering menyusuri tepian sungai
itu,” aku terdiam sejenak dan mengelus-elus perutku, “Ayolah, adikku, aku sudah
lapar. Kau rebuslah telur ini dan kita makan bersama.”
“Jangan,
Bang. Perasaanku tidak enak. Telur ini aneh sekali. Jangan-jangan mengandung
racun! Sebaiknya dibuang saja, Bang!” Adikku hendak mengambil telur-telur itu.
“Kenapa
dibuang? Aku sudah lama tidak makan telur. Agaknya lezat sekali. Ayolah, tolong
rebuskan untuk Abang,” pintaku agak merengek.
“Tidak,
Bang. Aku takut. Telur ini menyeramkan.”
“Ya, sudah!
Biar aku yang rebus telurnya.” Aku mengambil telur itu dan membawanya ke dapur.
Aku tidak peduli lagi dengan nasehat adikku yang berusaha mencegah agar aku
tidak merebus telur itu.
Setelah
telur matang, aku menawari adikku. Tapi dia tetap menolak tidak mau makan
telur. Aku agak tersinggung karena hasil kerjaku tidak dihargainya. Namun aku
tidak mau memaksanya mencicipi telur itu. Ketika aku akan bersiap-siap memakan
telur, adikku kembali berusaha mencegah. “Bang, jangan dimakan telur itu!
Perasaanku tidak enak. Aku cemas kalau terjadi apa-apa pada dirimu!”
“Kau
tenang-tenang sajalah. Kau makan ubi saja, ya!”
Aku tidak
lagi menghiraukan adikku yang terus memelas dan memohon agar aku tidak makan
telur yang kelihatannya gurih itu. Perlahan kukupas telur itu dan kumakan
dengan lahap. Telur itu sangat gurih, lebih enak dari telur ayam. Kucoba
menawari pada adikku. “Gurih sekali telurnya. Kau mau coba?!” tapi tetap saja
adikku tidak mau. Dua butir telur habis kumakan. Setelah kenyang, aku pun
berangkat tidur.
Di tengah malam yang dingin aku
merasakan haus yang sangat. Aku minta adikku mengambil air. Dengan perasaan
cemas adikku menyuguhiku air. Aku minum dengan rakus. Namun rasa hausku belum
juga hilang. Tiba-tiba badanku panas dan demam. Adikku semakin cemas melihat
keadaanku.
“Bang, kau
kenapa? Badanmu panas sekali.” Adikku menempelkan telapak tangannya di
keningku. Dia memijat-mijat badanku agar terasa lebih nyaman.
“Jangan
khawatir. Aku tidak apa-apa. Mungkin kecapean saja,” kataku menghibur.
“Tapi telah
tiga guci air kau minum. Ini aneh sekali. Malam dingin begini kenapa malah
minum air banyak?”
“Aku juga
tidak tahu. Aku merasa haus terus. Tapi sudahlah, besok pagi juga biasa lagi.
Ayo, kau tidur saja.” Dengan perasaan was-was adikku pergi ke biliknya. Aku pun
melanjutkan tidur. Tapi sampai pagi aku tidak bisa tidur. Badanku semakin panas.
Aku merasa haus terus.
Aku bangun
pagi-pagi dengan badan letih dan kerongkongan kering kehausan. Aneh sekali.
Baru kali ini aku merasakan haus yang seperti ini. Aku pergi ke sudut dapur
mengambil guci persediaan air.
“Air dalam
guci sudah tandas kau minum tadi malam. Aku harus ke sungai lagi mengambil
air,” ujar adikku yang sudah berdiri di belakangku mengamati kelakuanku yang
aneh.
“Biar. Biar
aku saja yang cari air,” aku segera menyambar guci dan berlari ke sungai yang
tidak jauh dari nuwo.
Di tepi
sungai aku mencari-cari pancuran tempat telur kutemukan kemarin. Aku hampir
kehabisan nafas menahan haus ketika pancuran itu kutemukan. Di bawah pancuran
berair jernih itu aku mengangakan mulut, minum sepuas-puasnya. Lalu aku mandi
di sana. Tubuhku yang sejak tadi terasa panas menjadi sejuk setelah terbasuh
air pancuran. Namun, ketika aku mengangkat tubuh dari air dan hendak pulang,
tubuhku kembali panas dan gerah. Padahal pagi itu kabut turun dan cuaca sangat
dingin. Akhirnya aku berendam di bawah pancuran, hingga hari sore. Entah
mengapa, aku merasa betah berendam di situ. Tiba-tiba aku merasakan perubahan
pada tubuhku. Kulitku terasa kasar dan seperti bersisik. Astaga! Aku berubah
menjadi ular. Sisikku berwarna kuning keemasan. Kuraba kepalaku, muncul tanduk
lancip di situ. Aku menjadi ular bertanduk. Oh, Dewa, kutukan apa yang Kau
timpakan kepadaku? Kembalikan aku menjadi manusia, Oh, Dewa! Aku panik tanpa
tahu harus berbuat apa.
Belum habis keherananku, kudengar
suara perempuan memanggil-manggilku. “Bang! Abang! Di mana kau, Bang!”
Tidak salah
lagi, itu suara adikku. Agaknya dia cemas karena seharian aku tidak pulang
membawa air. Oh, kasihan adikku. Kenapa aku bodoh begini! Tapi tidak mungkin
aku menemuinya. Pasti dia akan terkejut dan ketakutan melihat abangnya telah
berubah menjadi ular bertanduk. Sebaiknya aku sembunyi saja.
Adikku
terus memanggil-manggilku sampai suaranya parau. Aku kasihan padanya. Apa pun
yang terjadi aku mesti menyapa dia. Tapi belum sempat aku bersuara, adikku
telah menjerit sejadi-jadinya dan berlari minta tolong. “Ada ular besar! Ada
ular bertanduk! Tolonngggg! Abang, tolong aku! Abang, aku dikejar ular!”
Apa yang
harus kulakukan? Adikku tidak tahu kalau yang mengejarnya adalah abangnya
sendiri. Aku percepat jalanku dan berusaha mendahuluinya. Di tikungan setapak
aku mencegatnya. “Jangan panik, Adikku! Ini aku, Abangmu. Maafkan aku telah
mengejutkanmu!”
Kuperhatikan
paras adikku terkesima, meski dia masih gemetar ketakutan. Mungkin dia merasa
aneh melihat ular bisa bicara seperti manusia. Namun, kembali dia
berteriak-teriak mengusirku. “Tidak! Kau bukan Abangku. Kau setan! Ular setan!
Pergi! Pergi! Jangan ganggu aku!”
“Maafkan
aku, Adikku! Sesungguhnya aku abangmu. Aku telah dikutuk menjadi ular. Aku
telah melanggar larangan makan telur emas itu. Maafkan aku. Aku sangat menyesal
telah memakan telur itu!”
Karena
dilihatnya aku jinak dan tidak mencelakainya, adikku mulai bisa mengendalikan
dirinya. Dia memberanikan diri menatap wajahku yang telah berubah menjadi ular
bertanduk. Adikku menangis menyesali nasib yang menimpa kami. “Abang, kenapa
kutukan ini mesti menimpamu? Duh, tidak habis-habisnya kemalangan ini!”
“Tidak
perlu disesali. Ini sudah jadi karmaku! Aku akan mengembara masuk hutan dan
tidak mungkin aku mengajakmu. Sekarang pulanglah dan hiduplah di tiyuh
seperti sedia kala!” meski hati berat berpisah, aku berusaha menguatkan
perasaan adikku.
“Tidak,
Bang. Di dunia ini aku tidak punya siapa-siapa lagi selain Abang. Jangan
tinggalkan aku sendiri. Aku tidak bisa hidup tanpamu. Bang, ajak aku ikut ke
mana pun kau pergi!” pinta adikku dengan wajah memelas.
Aku sedih
dan terharu. Aku sangat mencintai adikku. Aku terkenang pesan Ibu agar aku
selalu menjaga dan melindunginya. Akhirnya aku pun mengajak adikku mengembara.
Dia menunggangi punggungku. Perbekalan dan makanan yang dibuntel dengan kain
tenunan dililitkannya di tandukku. Kami menyusuri hutan demi hutan, gunung,
lembah dan sungai. Kami menghindari melintasi tiyuh, sebab keadaan kami
yang berbeda tentu akan membuat panik penduduk. Bisa-bisa mereka menganggap
adikku penyihir jahat yang sedang memburu tumbal bersama ular peliharaannya.
Ini tentu akan membahayakan keselamatan adikku sendiri.
Meski kami
telah menghindari tiyuh, tapi tetap saja satu-dua peladang memergoki kami. Jelas mereka lari
tunggang-langgang melihat kami. “Ada jin menunggang ular raksasa! Ada jin
menunggang ular! Tolongggg…Tolonnggg…!” begitu biasanya teriakan mereka ketika
tanpa sengaja memergoki kami. Maka, kami berusaha menghindar bila melihat peladang.
Berhari-hari,
berbulan-bulan, kami terus mengembara. Hingga suatu pagi yang berhalimun kami
tiba di tepian sebuah danau. Kesejukan danau itu membangkitkan dahaga purba,
rasa haus pada tubuhku yang seakan menyertai kutukan yang menimpaku. Kami terpesona
dengan keindahan danau itu. Beberapa ekor burung bermain-main di atas permukaan
danau. Mungkin mereka sedang mencari ikan. Danau itu sepi dan jauh dari tiyuh.
Adikku menikmati keindahan danau dari atas punggungku. Rambutnya yang panjang
dan lebat berkibar-kibar diterpa angin danau yang begitu menentramkan jiwa.
Naluri purbaku terus menggodaku untuk bermain-main dan menyelam ke dalam danau
dan minum sepuas-puasnya.
“Adikku,
aku akan mencari makanan ke dalam danau. Kau tunggu aku di sini. Aku tidak akan
lama. Aku tidak kuasa menahan haus dan lapar melihat danau yang sejuk ini.
Ijinkan aku pergi sebentar.”
Adikku yang
telah paham kebiasaanku bila melihat air mempersilakan aku berenang-renang di
danau. “Jangan lama-lama, Bang. Aku takut sendirian di sini,” pintanya dengan
penuh kemanjaan.
“Percayalah,
aku tidak akan lama. Jaga dirimu!” Agaknya itulah pesan terakhirku sebelum aku
menyelam ke dasar danau.
Air danau
membuat tubuhku nyaman. Aku minum dan berenang-renang sepuas-puasnya. Sambil
menyelam aku minum air. Pemandangan di dasar danau sungguh memesona batinku.
Ikan-ikan beraneka warna dan berbagai ukuran berenang hilir mudik. Ganggang
biru berpadu dengan rumput warna merah. Ada juga lokan-lokan beragam warna.
Danau ini ternyata tidak ada penguasanya. Sebab hewan-hewan air yang kutemui
semuanya takut dan sungkan melihat aku berenang-renang bersama mereka. Tidak
satu pun dari mereka berani menggoda atau mencelakaiku. Ikan-ikan kecil yang
sedang diburu ikan-ikan besar bersembunyi di balik badanku, seakan mohon
perlindunganku. Ikan-ikan besar pun tidak berani memangsa mereka. Bahkan
ular-ular air yang paling ganas dan beracun pun menyembah dan tunduk tanpa
syarat padaku. Aneh juga. Ada senangnya juga aku menjelma ular raksasa
bertanduk.
Aku tidak
tahu berapa lama aku berada di dasar danau. Aku tidak bisa melihat matahari.
Dasar danau yang gelap dan dingin telah menentramkan batinku. Aku merasa betah
tinggal di situ. Apalagi aku telah diangkat menjadi raja oleh hewan-hewan
danau. Istanaku berpusat di sela-sela karang raksasa di dasar danau. Tanpa
mesti belajar aku pun telah paham bahasa hewan-hewan penghuni danau. Bahkan aku
mampu membaca isi batin mereka. Agaknya para dewa telah menitahkan aku menjadi
penguasa danau. Pengembaraanku telah berakhir di danau yang indah ini.
Suatu waktu, seekor ular air
berjalan tergopoh-gopoh menghadapku. Ular cerdik itu telah kuangkat menjadi telik
sandi, sebab ia sangat lihai dan mampu hidup di darat dan air. Ia juga suka
berjemur di sela-sela karang di tepian danau sambil mengawasi keadaan. Ada
kabar gawat yang ingin disampaikannya. “Baginda, nelayan menemukan mayat
perempuan di tepian danau!”
Aku
terkesiap mendengar berita itu. Aku teringat sesuatu. Aku segera meminta ular
air menceritakan ciri-ciri mayat itu. Jantungku berdebar-debar kencang. Ya,
tidak salah lagi. Perempuan itu adikku yang sangat kucintai. Oh, mengapa dia
mati lebih dulu? Apakah waktu telah berputar begitu cepat? Berapa kali matahari
telah terbit dan tenggelam? Mengapa aku jadi tidak sadar akan perjalanan waktu?
Mataku basah. Aku terguncang
dengan kematian adikku yang tragis. Pasti dia sangat kelaparan sejak aku
tinggalkan di tepian danau. Oh, betapa bodohnya aku! Aku telah ingkar janji
pada adikku. Maafkan aku, Adikku. Maafkan Abangmu yang tidak mampu menjagamu.
O, Ibu, maafkan anakmu yang tidak berbakti ini! Kutuklah aku. Kutuklah!
Ular air
heran melihat perubahan pada diriku. “Ampun, Baginda! Kenapa Baginda tiba-tiba
murung dan sedih mendengar berita ini?”
Setelah mampu meredakan kesedihan, aku pun menuturkan kisah hidupku pada
ular air. Ular kepercayaanku itu murung dan tidak kuasa pula menahan
kesedihannya.
Aku tidak
sanggup menyaksikan mayat adikku. Kutitahkan ular air kembali ke darat dan
membisikkan suara gaib pada jiwa penduduk agar adikku dikubur layak di tepian
danau. Aku membekali ular air beberapa keping sisik emasku untuk diberikan pada
penduduk, agar mereka senantiasa merawat kuburan adikku. Ular air melaksanakan
titahku dengan lancar. Melalui suara gaib pula, aku meminta penduduk menamai
danau sejuk ini ‘Ranau’, nama yang kupetik dari nama adikku tercinta.
Jiwa adikku
telah diambil oleh Sang Pemberi Jiwa. Sedangkan aku masih terus mengembara dari
kelam ke kelam, menyesali keabadianku sebagai Naga. Berkali-kali aku mohon
kepada para dewa agar nyawaku dicabut. Tapi sampai kini pun permohonanku tidak
dikabuli. Aku telah dikutuk menjadi abadi dalam danau ini.
Sesekali aku menyembul ke
permukaan danau demi melihat kuburan adikku. Maka, suatu ketika, bila cahaya
purnama menyinari danau dan kau melihat riak-riak air di permukaan tanpa sebab
yang jelas, janganlah kau kaget. Itu aku, yang tak kuasa menahan rindu ingin
bercengkerama dengan ruh Ranau, adikku tercinta.***
Denpasar, 2005
Keterangan:
-
cerpen ini adaptasi dari cerita rakyat Lampung tentang
kisah nama Danau Ranau.
-
tiyuh : kampung
-
nuwo : rumah
No comments:
Post a Comment