Labels

Thursday, 20 October 2011

Naga Dasar Danau

cerpen: Wayan Sunarta


Sudah berabad-abad aku menghuni danau. Di dasar danau aku bermain-main, berenang-renang dari tepian ke tepian bersama ikan-ikan dan ular-ular air. Sesekali aku bercengkerama dengan kerang dan ganggang. Aku menjadi raja dan memimpin segala jenis hewan air di danau yang damai ini. Danau ini telah menjadi kerajaan abadiku.
            Aku tidak bisa lagi mengembara dari hutan ke hutan, dari tiyuh ke tiyuh, seperti yang pernah kulakukan dulu. Aku bukan lagi manusia. Sejak aku memakan telur ajaib itu, tubuhku menjelma ular bertanduk. Aku menyesal telah mengabaikan nasehat adikku. Namun, semuanya telah terlambat, sesal tidak lagi berguna.
Dulu, ratusan tahun lalu, aku masih bisa disebut manusia. Aku dan adikku menetap di sebuah tiyuh yang miskin. Hidup kami serba kekurangan dan sangat memprihatinkan. Sejak kanak-kanak, kami telah menjadi yatim-piatu. Ibu dan Ayah meninggal karena suatu penyakit yang dideritanya. Ayah lebih dulu meninggal. Karena tidak tahan menahan kesedihan, Ibu pun menyusul Ayah ke alam baka. Maka sempurna pula kemalangan yang menimpa kami. Sebelum Ibu meninggal, beliau berpesan agar aku selalu menjaga dan melindungi adikku yang saat itu masih belum genap lima tahun.
            Aku pun menjadi ibu sekaligus ayah bagi adikku. Bersyukur pula ada beberapa tetangga yang merasa kasihan pada nasib kami. Mereka terkadang memberi kami makanan. Namun, mereka juga tidak mampu berbuat banyak sebab hidup mereka pun serba kekurangan. Aku berjuang membesarkan adikku. Setiap hari aku merambah hutan mengumpulkan dan meramu hasil hutan yang bisa kami pakai menyambung hidup. Terkadang sampai berhari-hari aku tidak pulang dan mesti bermalam di hutan. Dan, biasanya aku menitipkan adikku pada tetangga yang sudi menjaganya. Dari dalam hutan aku memperoleh buah-buahan dan jenis umbi-umbian yang tidak mudah busuk. Aku juga mengumpulkan kayu bakar untuk ditukar dengan keperluan lain di pasar. Terkadang aku memancing atau mencari kerang di sungai yang tidak jauh dari nuwo.
            Tiada terasa tahun telah berganti tahun. Kami pun beranjak dewasa. Kami telah ditempa dan dimatangkan oleh alam yang keras yang mesti kami hadapi dengan perjuangan. Adikku mekar menjadi remaja yang sungguh cantik. Rambutnya panjang tergerai dan parasnya begitu lembut menyejukkan hati. Aku sangat menyayanginya. Dia mahir menenun, suatu keahlian yang dipelajarinya dari tetangga. Sementara aku pergi ke hutan, dia menenun kain di nuwo. Kain-kain hasil tenunannya dijual di pasar satu-satunya yang ada di tiyuh kami. Namun lebih sering kain tenunan adikku tidak laku. Mungkin dianggap kurang bagus dibanding kain tenunan dari tiyuh sebelah. Adikku suka murung kalau kain tenunannya tidak laku. Dan, aku pun berusaha menghiburnya hingga dia bisa tersenyum kembali. Semangat hidup tetap menyala pada kelembutan wajahnya.
            Suatu hari, pulang dari hutan, aku menyusuri sungai yang biasa kulewati. Di tengah perjalanan aku menemukan sebuah pancuran di tebing sungai. Aneh sekali. Seingatku, beberapa kali melewati sungai itu tapi tidak sekali pun aku pernah melihat pancuran. Seakan pancuran yang berair jernih itu tiba-tiba saja muncul di hadapanku. Aku mengamati sekeliling pancuran yang ajaib itu. Dan betapa kagetnya aku. Di sela-sela batu di dekat pancuran aku menemukan dua butir telur. Aku girang sekali. Sebab sudah lama aku tidak makan telur. Dewa maha pemurah. Aku mengamati telur-telur itu agak lama. Bentuk dan besarnya menyerupai telur angsa. Namun warna kulit telur itu kuning keemasan ketika diterpa cahaya matahari senja. Semula aku berpikir itu telur emas. Aku mengambil telur itu dan membawanya pulang. Adikku pasti gembira melihat hasil kerjaku, pikirku.
            Sampai di nuwo, seperti biasa Adik menyambutku dengan manja. “Hari ini apa yang kau bawa, Bang? Pasti ubi lagi, ya?” Dia memeriksa buntelan kain yang kubawa.
            “Aku tidak membiarkanmu makan ubi terus. Hari ini dewa-dewa sungai memberkati kita. Aku menemukan dua butir telur dekat pancuran di pinggir sungai. Kau pasti menyukainya,” ujarku sambil tersenyum gembira.
Aku membuka buntelan kain di atas meja kayu. Adik mengamati telur yang terhidang di atas kain. Wajahnya tidak kuasa menyembunyikan keheranan. “Bang, ini telur apa? Kenapa aneh sekali warna dan bentuknya?”
            “Aku juga tidak tahu. Tapi kupikir ini telur angsa,” jawabku untuk memuaskan keheranannya. Padahal aku juga heran dengan telur itu.
            “Kau yakin di tepi sungai itu ada pancuran?” tanyanya penasaran.
            “Baru kali ini aku lihat pancuran itu. Padahal aku sudah sering menyusuri tepian sungai itu,” aku terdiam sejenak dan mengelus-elus perutku, “Ayolah, adikku, aku sudah lapar. Kau rebuslah telur ini dan kita makan bersama.”
            “Jangan, Bang. Perasaanku tidak enak. Telur ini aneh sekali. Jangan-jangan mengandung racun! Sebaiknya dibuang saja, Bang!” Adikku hendak mengambil telur-telur itu.
            “Kenapa dibuang? Aku sudah lama tidak makan telur. Agaknya lezat sekali. Ayolah, tolong rebuskan untuk Abang,” pintaku agak merengek.
            “Tidak, Bang. Aku takut. Telur ini menyeramkan.”
            “Ya, sudah! Biar aku yang rebus telurnya.” Aku mengambil telur itu dan membawanya ke dapur. Aku tidak peduli lagi dengan nasehat adikku yang berusaha mencegah agar aku tidak merebus telur itu.
            Setelah telur matang, aku menawari adikku. Tapi dia tetap menolak tidak mau makan telur. Aku agak tersinggung karena hasil kerjaku tidak dihargainya. Namun aku tidak mau memaksanya mencicipi telur itu. Ketika aku akan bersiap-siap memakan telur, adikku kembali berusaha mencegah. “Bang, jangan dimakan telur itu! Perasaanku tidak enak. Aku cemas kalau terjadi apa-apa pada dirimu!”
            “Kau tenang-tenang sajalah. Kau makan ubi saja, ya!”
            Aku tidak lagi menghiraukan adikku yang terus memelas dan memohon agar aku tidak makan telur yang kelihatannya gurih itu. Perlahan kukupas telur itu dan kumakan dengan lahap. Telur itu sangat gurih, lebih enak dari telur ayam. Kucoba menawari pada adikku. “Gurih sekali telurnya. Kau mau coba?!” tapi tetap saja adikku tidak mau. Dua butir telur habis kumakan. Setelah kenyang, aku pun berangkat tidur.
Di tengah malam yang dingin aku merasakan haus yang sangat. Aku minta adikku mengambil air. Dengan perasaan cemas adikku menyuguhiku air. Aku minum dengan rakus. Namun rasa hausku belum juga hilang. Tiba-tiba badanku panas dan demam. Adikku semakin cemas melihat keadaanku.
            “Bang, kau kenapa? Badanmu panas sekali.” Adikku menempelkan telapak tangannya di keningku. Dia memijat-mijat badanku agar terasa lebih nyaman.
            “Jangan khawatir. Aku tidak apa-apa. Mungkin kecapean saja,” kataku menghibur.
            “Tapi telah tiga guci air kau minum. Ini aneh sekali. Malam dingin begini kenapa malah minum air banyak?”
            “Aku juga tidak tahu. Aku merasa haus terus. Tapi sudahlah, besok pagi juga biasa lagi. Ayo, kau tidur saja.” Dengan perasaan was-was adikku pergi ke biliknya. Aku pun melanjutkan tidur. Tapi sampai pagi aku tidak bisa tidur. Badanku semakin panas. Aku merasa haus terus.
            Aku bangun pagi-pagi dengan badan letih dan kerongkongan kering kehausan. Aneh sekali. Baru kali ini aku merasakan haus yang seperti ini. Aku pergi ke sudut dapur mengambil guci persediaan air.
            “Air dalam guci sudah tandas kau minum tadi malam. Aku harus ke sungai lagi mengambil air,” ujar adikku yang sudah berdiri di belakangku mengamati kelakuanku yang aneh.
            “Biar. Biar aku saja yang cari air,” aku segera menyambar guci dan berlari ke sungai yang tidak jauh dari nuwo.
            Di tepi sungai aku mencari-cari pancuran tempat telur kutemukan kemarin. Aku hampir kehabisan nafas menahan haus ketika pancuran itu kutemukan. Di bawah pancuran berair jernih itu aku mengangakan mulut, minum sepuas-puasnya. Lalu aku mandi di sana. Tubuhku yang sejak tadi terasa panas menjadi sejuk setelah terbasuh air pancuran. Namun, ketika aku mengangkat tubuh dari air dan hendak pulang, tubuhku kembali panas dan gerah. Padahal pagi itu kabut turun dan cuaca sangat dingin. Akhirnya aku berendam di bawah pancuran, hingga hari sore. Entah mengapa, aku merasa betah berendam di situ. Tiba-tiba aku merasakan perubahan pada tubuhku. Kulitku terasa kasar dan seperti bersisik. Astaga! Aku berubah menjadi ular. Sisikku berwarna kuning keemasan. Kuraba kepalaku, muncul tanduk lancip di situ. Aku menjadi ular bertanduk. Oh, Dewa, kutukan apa yang Kau timpakan kepadaku? Kembalikan aku menjadi manusia, Oh, Dewa! Aku panik tanpa tahu harus berbuat apa.
Belum habis keherananku, kudengar suara perempuan memanggil-manggilku. “Bang! Abang! Di mana kau, Bang!” 
            Tidak salah lagi, itu suara adikku. Agaknya dia cemas karena seharian aku tidak pulang membawa air. Oh, kasihan adikku. Kenapa aku bodoh begini! Tapi tidak mungkin aku menemuinya. Pasti dia akan terkejut dan ketakutan melihat abangnya telah berubah menjadi ular bertanduk. Sebaiknya aku sembunyi saja.
            Adikku terus memanggil-manggilku sampai suaranya parau. Aku kasihan padanya. Apa pun yang terjadi aku mesti menyapa dia. Tapi belum sempat aku bersuara, adikku telah menjerit sejadi-jadinya dan berlari minta tolong. “Ada ular besar! Ada ular bertanduk! Tolonngggg! Abang, tolong aku! Abang, aku dikejar ular!”
            Apa yang harus kulakukan? Adikku tidak tahu kalau yang mengejarnya adalah abangnya sendiri. Aku percepat jalanku dan berusaha mendahuluinya. Di tikungan setapak aku mencegatnya. “Jangan panik, Adikku! Ini aku, Abangmu. Maafkan aku telah mengejutkanmu!”
            Kuperhatikan paras adikku terkesima, meski dia masih gemetar ketakutan. Mungkin dia merasa aneh melihat ular bisa bicara seperti manusia. Namun, kembali dia berteriak-teriak mengusirku. “Tidak! Kau bukan Abangku. Kau setan! Ular setan! Pergi! Pergi! Jangan ganggu aku!”
            “Maafkan aku, Adikku! Sesungguhnya aku abangmu. Aku telah dikutuk menjadi ular. Aku telah melanggar larangan makan telur emas itu. Maafkan aku. Aku sangat menyesal telah memakan telur itu!”
            Karena dilihatnya aku jinak dan tidak mencelakainya, adikku mulai bisa mengendalikan dirinya. Dia memberanikan diri menatap wajahku yang telah berubah menjadi ular bertanduk. Adikku menangis menyesali nasib yang menimpa kami. “Abang, kenapa kutukan ini mesti menimpamu? Duh, tidak habis-habisnya kemalangan ini!”
            “Tidak perlu disesali. Ini sudah jadi karmaku! Aku akan mengembara masuk hutan dan tidak mungkin aku mengajakmu. Sekarang pulanglah dan hiduplah di tiyuh seperti sedia kala!” meski hati berat berpisah, aku berusaha menguatkan perasaan adikku.
            “Tidak, Bang. Di dunia ini aku tidak punya siapa-siapa lagi selain Abang. Jangan tinggalkan aku sendiri. Aku tidak bisa hidup tanpamu. Bang, ajak aku ikut ke mana pun kau pergi!” pinta adikku dengan wajah memelas.
            Aku sedih dan terharu. Aku sangat mencintai adikku. Aku terkenang pesan Ibu agar aku selalu menjaga dan melindunginya. Akhirnya aku pun mengajak adikku mengembara. Dia menunggangi punggungku. Perbekalan dan makanan yang dibuntel dengan kain tenunan dililitkannya di tandukku. Kami menyusuri hutan demi hutan, gunung, lembah dan sungai. Kami menghindari melintasi tiyuh, sebab keadaan kami yang berbeda tentu akan membuat panik penduduk. Bisa-bisa mereka menganggap adikku penyihir jahat yang sedang memburu tumbal bersama ular peliharaannya. Ini tentu akan membahayakan keselamatan adikku sendiri.
            Meski kami telah menghindari tiyuh, tapi tetap saja satu-dua peladang  memergoki kami. Jelas mereka lari tunggang-langgang melihat kami. “Ada jin menunggang ular raksasa! Ada jin menunggang ular! Tolongggg…Tolonnggg…!” begitu biasanya teriakan mereka ketika tanpa sengaja memergoki kami. Maka, kami berusaha menghindar bila melihat peladang.
            Berhari-hari, berbulan-bulan, kami terus mengembara. Hingga suatu pagi yang berhalimun kami tiba di tepian sebuah danau. Kesejukan danau itu membangkitkan dahaga purba, rasa haus pada tubuhku yang seakan menyertai kutukan yang menimpaku. Kami terpesona dengan keindahan danau itu. Beberapa ekor burung bermain-main di atas permukaan danau. Mungkin mereka sedang mencari ikan. Danau itu sepi dan jauh dari tiyuh. Adikku menikmati keindahan danau dari atas punggungku. Rambutnya yang panjang dan lebat berkibar-kibar diterpa angin danau yang begitu menentramkan jiwa. Naluri purbaku terus menggodaku untuk bermain-main dan menyelam ke dalam danau dan minum sepuas-puasnya.
            “Adikku, aku akan mencari makanan ke dalam danau. Kau tunggu aku di sini. Aku tidak akan lama. Aku tidak kuasa menahan haus dan lapar melihat danau yang sejuk ini. Ijinkan aku pergi sebentar.”
            Adikku yang telah paham kebiasaanku bila melihat air mempersilakan aku berenang-renang di danau. “Jangan lama-lama, Bang. Aku takut sendirian di sini,” pintanya dengan penuh kemanjaan.
            “Percayalah, aku tidak akan lama. Jaga dirimu!” Agaknya itulah pesan terakhirku sebelum aku menyelam ke dasar danau.
            Air danau membuat tubuhku nyaman. Aku minum dan berenang-renang sepuas-puasnya. Sambil menyelam aku minum air. Pemandangan di dasar danau sungguh memesona batinku. Ikan-ikan beraneka warna dan berbagai ukuran berenang hilir mudik. Ganggang biru berpadu dengan rumput warna merah. Ada juga lokan-lokan beragam warna. Danau ini ternyata tidak ada penguasanya. Sebab hewan-hewan air yang kutemui semuanya takut dan sungkan melihat aku berenang-renang bersama mereka. Tidak satu pun dari mereka berani menggoda atau mencelakaiku. Ikan-ikan kecil yang sedang diburu ikan-ikan besar bersembunyi di balik badanku, seakan mohon perlindunganku. Ikan-ikan besar pun tidak berani memangsa mereka. Bahkan ular-ular air yang paling ganas dan beracun pun menyembah dan tunduk tanpa syarat padaku. Aneh juga. Ada senangnya juga aku menjelma ular raksasa bertanduk.
            Aku tidak tahu berapa lama aku berada di dasar danau. Aku tidak bisa melihat matahari. Dasar danau yang gelap dan dingin telah menentramkan batinku. Aku merasa betah tinggal di situ. Apalagi aku telah diangkat menjadi raja oleh hewan-hewan danau. Istanaku berpusat di sela-sela karang raksasa di dasar danau. Tanpa mesti belajar aku pun telah paham bahasa hewan-hewan penghuni danau. Bahkan aku mampu membaca isi batin mereka. Agaknya para dewa telah menitahkan aku menjadi penguasa danau. Pengembaraanku telah berakhir di danau yang indah ini.           
Suatu waktu, seekor ular air berjalan tergopoh-gopoh menghadapku. Ular cerdik itu telah kuangkat menjadi telik sandi, sebab ia sangat lihai dan mampu hidup di darat dan air. Ia juga suka berjemur di sela-sela karang di tepian danau sambil mengawasi keadaan. Ada kabar gawat yang ingin disampaikannya. “Baginda, nelayan menemukan mayat perempuan di tepian danau!”
            Aku terkesiap mendengar berita itu. Aku teringat sesuatu. Aku segera meminta ular air menceritakan ciri-ciri mayat itu. Jantungku berdebar-debar kencang. Ya, tidak salah lagi. Perempuan itu adikku yang sangat kucintai. Oh, mengapa dia mati lebih dulu? Apakah waktu telah berputar begitu cepat? Berapa kali matahari telah terbit dan tenggelam? Mengapa aku jadi tidak sadar akan perjalanan waktu?
Mataku basah. Aku terguncang dengan kematian adikku yang tragis. Pasti dia sangat kelaparan sejak aku tinggalkan di tepian danau. Oh, betapa bodohnya aku! Aku telah ingkar janji pada adikku. Maafkan aku, Adikku. Maafkan Abangmu yang tidak mampu menjagamu. O, Ibu, maafkan anakmu yang tidak berbakti ini! Kutuklah aku. Kutuklah!
            Ular air heran melihat perubahan pada diriku. “Ampun, Baginda! Kenapa Baginda tiba-tiba murung dan sedih mendengar berita ini?”  Setelah mampu meredakan kesedihan, aku pun menuturkan kisah hidupku pada ular air. Ular kepercayaanku itu murung dan tidak kuasa pula menahan kesedihannya.
            Aku tidak sanggup menyaksikan mayat adikku. Kutitahkan ular air kembali ke darat dan membisikkan suara gaib pada jiwa penduduk agar adikku dikubur layak di tepian danau. Aku membekali ular air beberapa keping sisik emasku untuk diberikan pada penduduk, agar mereka senantiasa merawat kuburan adikku. Ular air melaksanakan titahku dengan lancar. Melalui suara gaib pula, aku meminta penduduk menamai danau sejuk ini ‘Ranau’, nama yang kupetik dari nama adikku tercinta. 
            Jiwa adikku telah diambil oleh Sang Pemberi Jiwa. Sedangkan aku masih terus mengembara dari kelam ke kelam, menyesali keabadianku sebagai Naga. Berkali-kali aku mohon kepada para dewa agar nyawaku dicabut. Tapi sampai kini pun permohonanku tidak dikabuli. Aku telah dikutuk menjadi abadi dalam danau ini.
Sesekali aku menyembul ke permukaan danau demi melihat kuburan adikku. Maka, suatu ketika, bila cahaya purnama menyinari danau dan kau melihat riak-riak air di permukaan tanpa sebab yang jelas, janganlah kau kaget. Itu aku, yang tak kuasa menahan rindu ingin bercengkerama dengan ruh Ranau, adikku tercinta.***


Denpasar, 2005

Keterangan:
-          cerpen ini adaptasi dari cerita rakyat Lampung tentang kisah nama Danau Ranau.
-          tiyuh    : kampung
-          nuwo   : rumah
             

             

No comments:

Post a Comment