Langit masih mendung. Sejak sore tadi
hujan turun tiada hentinya. Di jalanan sampah-sampah berserakan akibat got-got
yang meluap. Sambil sedikit menggigil Pastika mengendarai motor bebeknya,
membonceng kekasihnya, Maya. Mereka mampir di sebuah warung jagung bakar yang
banyak bertebaran di sepanjang jalan di kawasan Renon. Dingin-dingin begini
pasti asyik makan jagung bakar, apalagi bersama kekasih tercinta, pikir
Pastika.
Di warung jagung bakar, pasangan
kekasih itu memilih tempat duduk di sudut yang agak remang. Mereka ngobrol
sambil berpegangan tangan, mesra sekali.
“Sayang, kapan kita kawin?” Pastika
meremas tangan kekasihnya.
“Kapan-kapan saja.” Maya mengulum
senyum, bermanja-manja. Pastika gemas, tapi kemudian juga ikut senyum-senyum.
“Kamu harus cari kerja dulu. Kalau kita kawin duluan, nanti makan apa?”
“Ya…kalau tidak ada nasi, jagung
bakar juga boleh,” jawab Pastika sekenanya saja. Giliran Maya yang gemas.
“Siapa sudi makan jagung bakar
terus,” Maya pura-pura menggerutu.
Pastika merangkul pinggang Maya.
Mereka tertawa-tawa kecil. Beberapa butir jagung bakar yang masih dikunyah
hampir saja menyembur dari mulut Pastika. Orang-orang di sekitar melirik
mereka, tentu dengan perasaan cemburu akan kebahagiaan pasangan kekasih itu.
“Habis ini kita ke mana, Yang?” Maya
menatap Pastika mesra.
“Lapangan Renon, yuk?”
“Tapi ‘kan masih gerimis.”
“Tapi ‘kan sepi…”
“Dasar otak pasir!”
Mereka kembali tertawa-tawa.
Benar-benar pasangan kekasih yang membuat iri orang-orang yang melihatnya.
Setelah membayar jagung bakar, Pastika memacu motornya menuju Lapangan Renon
yang tidak seberapa jauh.
Malam itu Lapangan Renon memang
sepi. Langit masih mendung. Gerimis masih terasa dalam udara lembab. Pasangan
kekasih itu seakan tidak peduli dengan cuaca yang tidak bersahabat. Atau malah
cuaca saat itu sangat bersahabat: dingin, sepi.... Sebenarnya dalam hati mereka
mengharapkan cuaca terus seperti itu, sampai mereka puas memadu kasih. Siapa
pula yang akan melihat atau mengintip mereka? Lapangan Renon sepi. Langit
mendung dan gerimis membuat orang malas ke luar rumah. Biasanya, bila malam
minggu, Lapangan Renon akan ramai dengan pasangan kekasih yang memadu cinta.
“Syukur sekarang bukan malam
minggu,” Pastika girang.
“Tapi aku takut sepi-sepi begini,” wajah
Maya pura-pura cemberut kemudian berubah kemanja-manjaan, “kamu pasti akan
lebih nakal dari biasanya.”
“Tenang saja. Aku tidak akan
menggigit kamu. Lagi pula tidak akan ada yang mengintip,” gurau Pastika sembari
meyakinkan Maya.
“Yang, aku takut…” rengek Maya.
Pastika tidak peduli dengan rengekan
Maya. Dia mengarahkan motornya ke tengah lapangan, memarkirnya di bagian yang
remang. Mereka duduk di atas sepeda motor. Pastika mendekap Maya dari belakang.
Pasangan yang sedang kasmaran itu berciuman penuh gairah. Tangan Pastika,
seperti biasanya, menjamah bagian-bagian empuk tubuh Maya.
Mereka bermesraan di tengah-tengah
lapangan bukan bermaksud pamer. Pamer pada siapa? Lapangan Renon sepi. Namun
begitu, mereka lebih baik berjaga-jaga agar segera bisa melihat orang atau
pasangan lain yang tiba-tiba melintas ke arah mereka. Tapi satu hal yang mereka
lupa, lapangan itu sangat luas dan suasana remang membuat mata susah melihat
orang pada jarak tertentu, apalagi ketika sedang asyik berciuman.
Langit masih mendung dan udara
basah. Detik berjalan perlahan menuju detik, menit terasa melambat, waktu
menjadi beku dalam kehangatan mereka. Tiba-tiba…
“Apa yang kalian lakukan di sini,
heh!” bentakan suara berat itu menghentikan aktivitas alamiah pasangan kekasih
itu.
Jantung mereka seakan berhenti
berdetak. Dengan gugup Pastika menoleh ke arah sumber suara. Dalam keremangan
tampaklah wajah sangar dengan kumis tebal dan mata melotot, berjalan bergegas
ke arah mereka. Entah dari mana datangnya lelaki yang mengenakan jas hujan itu,
tiba-tiba saja sudah siap menyergap mereka.
“Saya polisi! Apa yang kalian
lakukan?! Kalian berzinah, ya?!”
Bukan main gugupnya pasangan kekasih
itu. Pastika gelagapan mencari-cari alasan. Wajah Maya mendadak pucat pasi,
sebentar kemudian dia mulai menangis. Lelaki gempal yang mengaku polisi itu
semakin mendapat angin untuk melancarkan gertakannya.
“Ayo, kalian ke pos!” bentak lelaki
itu sambil memencet-mencet ponsel dan menunjukkannya di depan mata Pastika.
“Kau lihat, ini nomer Pos Keamanan. Saya akan panggil teman untuk menjemput
kalian!”
Pastika tambah gugup dan mencoba
menjelaskan perkaranya. “Jangan, Pak! Maafkan kami, Pak! Kami tidak berzinah.
Kami hanya cium-ciuman saja.”
“Apa kau! Diam kau!” lelaki kasar
itu mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. “Saya intip kalian dari teropong
ini! Kalian tidak mau ngaku, ya?! Berapa nomer telpon rumahmu?! Akan saya
panggil orang tuamu!”
Wajah Maya semakin pucat. Pastika
merasakan tangan kekasihnya gemetar. Maya takut sekali kalau gertakan orang itu
sungguh-sungguh menjadi kenyataan. Maya cemas kalau orang tuanya benar-benar
ditelpon, semuanya akan hancur. Sebab selama ini orang tua Maya tidak tahu
kalau dia menjalin hubungan dengan Pastika.
“Ampun, Pak! Maaf, Pak! Jangan
laporkan ke orang tua kami!” Maya terus memohon-mohon. Lelaki itu tampak
semakin senang dan menang. Perlahan Pastika mulai bisa membaca situasinya.
Lelaki itu tidak sungguh-sungguh dengan gertakannya, dia rupanya ingin memeras.
“Umurmu berapa? Lihat KTP-mu?”
Pasangan kekasih itu terdiam.
“KTP-mu mana, heh!” lelaki itu
melotot ke wajah Maya yang saking takutnya hanya bisa menunduk saja.
“Tidak bawa, Pak!” jawab Maya
gemetar.
“Tidak bawa?! Siapa namamu? Kau dari
mana?” Masih dengan nada kasar dan sungguh sangat tidak berperikemanusiaan,
lelaki itu terus menggertak Maya. Kalau benar lelaki itu polisi, Maya tidak
habis mengerti kenapa ada polisi sekasar itu? Apa kesalahan yang mereka
lakukan? Mereka tidak mencuri. Mereka hanya pacaran. Apa ada larangan atau
aturan tidak boleh pacaran di Lapangan Renon? Padahal saat itu masih jam
sembilan malam. Mereka hanya menjalankan hak sebagai manusia. Kenapa ada polisi
yang semena-mena seperti itu dan beraninya hanya memeras orang pacaran?
“Kau dengar tidak!? Siapa namamu?”
Maya gemetar. Pastika geram dan marah.
Ingin rasanya dia menjotos mulut lelaki yang mengaku polisi itu. Pastika sadar
lelaki itu hanya ingin memeras uangnya saja.
“Sudahlah, Pak. Kita damai saja. Kami
mengaku salah. Maafkan kami, Pak!”
Pastika terpaksa mengalah. Meski dia
tahu berpacaran dengan pasangan yang sah bukan perbuatan melanggar hukum.
Pastika tidak mau mencari perkara lebih jauh lagi. Dia lebih memikirkan
keselamatan Maya yang memang tidak biasa menerima teror, ancaman dan bentakan
seperti itu. Sedangkan Pastika sendiri sudah berpengalaman diintimidasi,
apalagi saat dia masih rajin memimpin demonstrasi mahasiswa beberapa tahun
lalu. Saat itu dia sering diincar intel dan diteror lewat telpon, bahkan sempat
juga digebuk pasukan anti huru-hara.
Pastika berpikir lelaki itu pasti akan
menggunakan segala cara untuk memeras isi dompetnya. Apalagi Lapangan Renon
sangat sepi, tidak akan ada orang yang membantunya bila terjadi pemukulan atau
perkelahian. Bisa jadi juga lelaki itu mengajak teman yang sembunyi entah di
semak-semak mana di sekitar lapangan itu.
Pastika merogoh dompetnya dan
mengeluarkan sejumlah uang.
“Kau mau sogok saya, ya?! Kita ke Pos
saja, bila perlu saya panggil wartawan biar kelakuan kalian ditulis di koran!”
Pastika berusaha tenang. Maya semakin
pucat.
Pemeras yang mengaku polisi ini
benar-benar munafik, pikir Pastika. Ingin rasanya dia menginjak-injak muka
orang yang menyebalkan itu. Sudah lama dia tidak mempraktekkan ilmu kuntaw yang pernah dipelajarinya.
Amarahnya terpaksa diredamnya demi keselamatan Maya. Kembali dia teringat pesan
guru kuntawnya, “Gunakan akalmu. Mengalahlah untuk menang!”
Seandainya saja Maya jago karate tentu
pemeras itu akan menyesal seumur hidup, atau paling tidak tulang rusuknya
patah. Tapi tidak ada gunanya berandai-andai di saat-saat genting seperti itu.
Pastika tidak bisa berbuat apa-apa, selain mengalah.
“Pak, saya bukan mau menyogok. Uang
ini hanya sebagai tanda maaf kami,” Pastika menyodorkan uang sepuluh ribuan lima lembar kepada
pemeras yang mengaku polisi itu. Dengan cepat tangan pemeras itu menyambar uang
yang ada di tangan Pastika.
Pemeras itu menghitung uang sambil
berkata, “Uang ini untuk menyogok saya, ya?!”
“Tidak, Pak. Itu hanya tanda maaf kami. Sungguh, Pak!” Pastika membayangkan
akan kelaparan seminggu, sebab uang terakhir dalam dompetnya telah berpindah
tangan.
Setelah mendapatkan apa yang
diinginkanya, pemeras itu menyuruh mereka cepat-cepat pergi dari Lapangan
Renon. Sepintas Pastika melirik, pemeras itu menyeringaikan senyum puas.
***
Setelah bebas dari mulut singa, kini
Pastika harus berjuang keras menenangkan Maya yang sudah terlanjur shock dan
trauma dengan kejadian itu. Bahkan sampai berhari-hari kemudian Maya masih
dihantui wajah pemeras dan segala perlakuannya yang kasar.
Suatu senja Pastika mengajak Maya
bersantai di Pantai Sanur. Dengan menatap hamparan biru lautan dan merasakan
desir angin pantai, Pastika berharap Maya menjadi terhibur.
“Lupakanlah peristiwa itu, Maya. Anggap
saja kita sedang sial. Aku yakin kita bukan korban pertama. Suatu saat pemeras
itu akan menemui karmanya sendiri. Kau tahu, salah satu dosa yang tidak bisa
diampuni adalah mengganggu atau memeras orang yang sedang pacaran,” bujuk
Pastika, setelah berkali-kali melihat Maya murung.
Maya hanya terdiam saja. Matanya
menerawang ke arah cakrawala. Debur ombak seakan saling sahut dengan gemuruh
batinnya.
“Dalam kisah Mahabharata, ayah Pandawa,
Pandu, pernah dikutuk pertapa sakti, akan mati saat berhubungan intim dengan
istrinya. Dosa Pandu adalah memanah sepasang kijang yang sedang
berkasih-kasihan. Pandu tidak tahu kalau kijang yang dipanahnya adalah jelmaan
pertapa sakti yang sedang kencan dengan istrinya. Pandu akhirnya mati lemas
(mungkin impoten) saat bersenggama dengan istrinya…”
Maya masih diam bagai arca. Wajahnya
murung. Perlahan air matanya meleleh membasahi pipinya yang bersih. Pastika
bisa memahami trauma kekasihnya itu, sebab dia juga pernah mengalami trauma
seperti itu.
“Aku benci sekali dengan orang itu.
Setiap aku bengong sendiri peristiwa itu seakan kembali terulang menghantui
pikiranku. Aku sangat takut sekali…,” Maya terus terisak-isak. Pastika girang
Maya akhirnya mau bicara, meski sambil menangis. Pastika mendekapnya erat,
membelai rambutnya penuh kasih.
Tiba-tiba, Maya melepaskan dekapan
Pastika. Matanya jalang memandang langit, wajahnya yang lembut berubah
beringas, nafasnya tidak teratur seperti ingin menumpahkan amarah yang lama
terpendam. Maya seperti gunung berapi yang siap menyemburkan lahar panas. Dan…
“Demi langit dan bumi, aku mengutuk
pemeras itu agar impoten seumur hidupnya! Agar matinya tidak wajar!” Setelah
melontarkan kutukan itu, tubuh Maya lemas dan jatuh dalam pelukan Pastika.
Mendadak langit menggelegar oleh gemuruh
halilintar, angin kencang datang menggugurkan daun-daun ketapang di sekitarnya.
Pastika bergidik ngeri dengan cuaca yang tiba-tiba berubah itu.
“Agaknya sebentar lagi akan datang
badai. Kita pulang, ya?!”
Maya mengangguk lemah.
Mendengar kutukan kekasihnya, Pastika
menjadi ngeri sendiri. Konon, kutukan perempuan yang teraniaya sangat ampuh.
Tiga minggu kemudian Maya sudah
kembali ceria dan manja. Pada sebuah sabtu sore Maya mengajak Pastika makan
jagung bakar di warung langganannya di kawasan Renon. Sambil menanti jagung
matang, Pastika membaca-baca koran sore yang dibelinya dari loper koran yang
berjualan di sekitar warung itu. Dia biasanya hanya membaca kepala-kepala
berita yang dicetak tebal-tebal. Dan, betapa kagetnya dia membaca sebuah kepala
berita yang menjadi headline hari itu: Pemeras
Tewas Dibacok di Lapangan Renon.
Dengan semangat ingin tahu Pastika
membaca berita yang mengejutkan itu. Kejadiannya malam kemarin. Ciri-ciri
korban yang tubuhnya penuh luka bacokan itu persis seperti lelaki yang mengaku
polisi yang pernah memeras mereka: badan gempal, tinggi 170 cm, kumis tebal,
mata belok, rambut pendek ikal.
Di samping mayat ditemukan teropong
infra merah dan sebuah ponsel Nokia terbaru. Pelakunya belum diketahui. Menurut
pedagang asongan yang sering berjualan di Lapangan Renon, korban memang sering
mengaku polisi dan suka memeras pasangan yang sedang berpacaran. Kata pedagang
asongan yang tidak mau disebutkan namanya itu, korban sering beroperasi saat
Lapangan Renon sepi, mendung dan gerimis, atau di atas jam sepuluh malam.
Pastika menyodorkan koran itu kepada
Maya. “Kutukanmu telah mengenai sasarannya. Pemeras itu mati dibacok!”
Usai membaca berita itu, wajah Maya
seketika pucat. Namun tidak berapa lama senyumnya mengembang puas dan bahagia.
Seperti kepuasan Drupadi yang berhasil mencuci rambutnya dengan darah Dusasana.
Pastika takjub. Belum pernah ia melihat wajah kekasihnya secerah itu.***
Denpasar,
2004
(Bali Post, 2 Mei 2004)
No comments:
Post a Comment