Labels

Thursday, 20 October 2011

Kutukan



Cerpen: Wayan Sunarta
                       

Langit masih mendung. Sejak sore tadi hujan turun tiada hentinya. Di jalanan sampah-sampah berserakan akibat got-got yang meluap. Sambil sedikit menggigil Pastika mengendarai motor bebeknya, membonceng kekasihnya, Maya. Mereka mampir di sebuah warung jagung bakar yang banyak bertebaran di sepanjang jalan di kawasan Renon. Dingin-dingin begini pasti asyik makan jagung bakar, apalagi bersama kekasih tercinta, pikir Pastika.
            Di warung jagung bakar, pasangan kekasih itu memilih tempat duduk di sudut yang agak remang. Mereka ngobrol sambil berpegangan tangan, mesra sekali.
            “Sayang, kapan kita kawin?” Pastika meremas tangan kekasihnya.
            “Kapan-kapan saja.” Maya mengulum senyum, bermanja-manja. Pastika gemas, tapi kemudian juga ikut senyum-senyum. “Kamu harus cari kerja dulu. Kalau kita kawin duluan, nanti makan apa?”
            “Ya…kalau tidak ada nasi, jagung bakar juga boleh,” jawab Pastika sekenanya saja. Giliran Maya yang gemas.
            “Siapa sudi makan jagung bakar terus,” Maya pura-pura menggerutu.
            Pastika merangkul pinggang Maya. Mereka tertawa-tawa kecil. Beberapa butir jagung bakar yang masih dikunyah hampir saja menyembur dari mulut Pastika. Orang-orang di sekitar melirik mereka, tentu dengan perasaan cemburu akan kebahagiaan pasangan kekasih itu.      
“Habis ini kita ke mana, Yang?” Maya menatap Pastika mesra.
            “Lapangan Renon, yuk?”
            “Tapi ‘kan masih gerimis.”
            “Tapi ‘kan sepi…”
            “Dasar otak pasir!”
            Mereka kembali tertawa-tawa. Benar-benar pasangan kekasih yang membuat iri orang-orang yang melihatnya. Setelah membayar jagung bakar, Pastika memacu motornya menuju Lapangan Renon yang tidak seberapa jauh.
            Malam itu Lapangan Renon memang sepi. Langit masih mendung. Gerimis masih terasa dalam udara lembab. Pasangan kekasih itu seakan tidak peduli dengan cuaca yang tidak bersahabat. Atau malah cuaca saat itu sangat bersahabat: dingin, sepi.... Sebenarnya dalam hati mereka mengharapkan cuaca terus seperti itu, sampai mereka puas memadu kasih. Siapa pula yang akan melihat atau mengintip mereka? Lapangan Renon sepi. Langit mendung dan gerimis membuat orang malas ke luar rumah. Biasanya, bila malam minggu, Lapangan Renon akan ramai dengan pasangan kekasih yang memadu cinta.
            “Syukur sekarang bukan malam minggu,” Pastika girang.
“Tapi aku takut sepi-sepi begini,” wajah Maya pura-pura cemberut kemudian berubah kemanja-manjaan, “kamu pasti akan lebih nakal dari biasanya.”
            “Tenang saja. Aku tidak akan menggigit kamu. Lagi pula tidak akan ada yang mengintip,” gurau Pastika sembari meyakinkan Maya.
            “Yang, aku takut…” rengek Maya.
Pastika tidak peduli dengan rengekan Maya. Dia mengarahkan motornya ke tengah lapangan, memarkirnya di bagian yang remang. Mereka duduk di atas sepeda motor. Pastika mendekap Maya dari belakang. Pasangan yang sedang kasmaran itu berciuman penuh gairah. Tangan Pastika, seperti biasanya, menjamah bagian-bagian empuk tubuh Maya.
Mereka bermesraan di tengah-tengah lapangan bukan bermaksud pamer. Pamer pada siapa? Lapangan Renon sepi. Namun begitu, mereka lebih baik berjaga-jaga agar segera bisa melihat orang atau pasangan lain yang tiba-tiba melintas ke arah mereka. Tapi satu hal yang mereka lupa, lapangan itu sangat luas dan suasana remang membuat mata susah melihat orang pada jarak tertentu, apalagi ketika sedang asyik berciuman.
            Langit masih mendung dan udara basah. Detik berjalan perlahan menuju detik, menit terasa melambat, waktu menjadi beku dalam kehangatan mereka. Tiba-tiba…
            “Apa yang kalian lakukan di sini, heh!” bentakan suara berat itu menghentikan aktivitas alamiah pasangan kekasih itu.
            Jantung mereka seakan berhenti berdetak. Dengan gugup Pastika menoleh ke arah sumber suara. Dalam keremangan tampaklah wajah sangar dengan kumis tebal dan mata melotot, berjalan bergegas ke arah mereka. Entah dari mana datangnya lelaki yang mengenakan jas hujan itu, tiba-tiba saja sudah siap menyergap mereka.
            “Saya polisi! Apa yang kalian lakukan?! Kalian berzinah, ya?!”
            Bukan main gugupnya pasangan kekasih itu. Pastika gelagapan mencari-cari alasan. Wajah Maya mendadak pucat pasi, sebentar kemudian dia mulai menangis. Lelaki gempal yang mengaku polisi itu semakin mendapat angin untuk melancarkan gertakannya.
            “Ayo, kalian ke pos!” bentak lelaki itu sambil memencet-mencet ponsel dan menunjukkannya di depan mata Pastika. “Kau lihat, ini nomer Pos Keamanan. Saya akan panggil teman untuk menjemput kalian!”
            Pastika tambah gugup dan mencoba menjelaskan perkaranya. “Jangan, Pak! Maafkan kami, Pak! Kami tidak berzinah. Kami hanya cium-ciuman saja.”
            “Apa kau! Diam kau!” lelaki kasar itu mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. “Saya intip kalian dari teropong ini! Kalian tidak mau ngaku, ya?! Berapa nomer telpon rumahmu?! Akan saya panggil orang tuamu!”
            Wajah Maya semakin pucat. Pastika merasakan tangan kekasihnya gemetar. Maya takut sekali kalau gertakan orang itu sungguh-sungguh menjadi kenyataan. Maya cemas kalau orang tuanya benar-benar ditelpon, semuanya akan hancur. Sebab selama ini orang tua Maya tidak tahu kalau dia menjalin hubungan dengan Pastika.
            “Ampun, Pak! Maaf, Pak! Jangan laporkan ke orang tua kami!” Maya terus memohon-mohon. Lelaki itu tampak semakin senang dan menang. Perlahan Pastika mulai bisa membaca situasinya. Lelaki itu tidak sungguh-sungguh dengan gertakannya, dia rupanya ingin memeras.
            “Umurmu berapa? Lihat KTP-mu?”
            Pasangan kekasih itu terdiam.
            “KTP-mu mana, heh!” lelaki itu melotot ke wajah Maya yang saking takutnya hanya bisa menunduk saja.
            “Tidak bawa, Pak!” jawab Maya gemetar.
            “Tidak bawa?! Siapa namamu? Kau dari mana?” Masih dengan nada kasar dan sungguh sangat tidak berperikemanusiaan, lelaki itu terus menggertak Maya. Kalau benar lelaki itu polisi, Maya tidak habis mengerti kenapa ada polisi sekasar itu? Apa kesalahan yang mereka lakukan? Mereka tidak mencuri. Mereka hanya pacaran. Apa ada larangan atau aturan tidak boleh pacaran di Lapangan Renon? Padahal saat itu masih jam sembilan malam. Mereka hanya menjalankan hak sebagai manusia. Kenapa ada polisi yang semena-mena seperti itu dan beraninya hanya memeras orang pacaran?
            “Kau dengar tidak!? Siapa namamu?”
Maya gemetar. Pastika geram dan marah. Ingin rasanya dia menjotos mulut lelaki yang mengaku polisi itu. Pastika sadar lelaki itu hanya ingin memeras uangnya saja.
“Sudahlah, Pak. Kita damai saja. Kami mengaku salah. Maafkan kami, Pak!”
Pastika terpaksa mengalah. Meski dia tahu berpacaran dengan pasangan yang sah bukan perbuatan melanggar hukum. Pastika tidak mau mencari perkara lebih jauh lagi. Dia lebih memikirkan keselamatan Maya yang memang tidak biasa menerima teror, ancaman dan bentakan seperti itu. Sedangkan Pastika sendiri sudah berpengalaman diintimidasi, apalagi saat dia masih rajin memimpin demonstrasi mahasiswa beberapa tahun lalu. Saat itu dia sering diincar intel dan diteror lewat telpon, bahkan sempat juga digebuk pasukan anti huru-hara.
Pastika berpikir lelaki itu pasti akan menggunakan segala cara untuk memeras isi dompetnya. Apalagi Lapangan Renon sangat sepi, tidak akan ada orang yang membantunya bila terjadi pemukulan atau perkelahian. Bisa jadi juga lelaki itu mengajak teman yang sembunyi entah di semak-semak mana di sekitar lapangan itu.
            Pastika merogoh dompetnya dan mengeluarkan sejumlah uang.
“Kau mau sogok saya, ya?! Kita ke Pos saja, bila perlu saya panggil wartawan biar kelakuan kalian ditulis di koran!”
Pastika berusaha tenang. Maya semakin pucat.
            Pemeras yang mengaku polisi ini benar-benar munafik, pikir Pastika. Ingin rasanya dia menginjak-injak muka orang yang menyebalkan itu. Sudah lama dia tidak mempraktekkan ilmu kuntaw yang pernah dipelajarinya. Amarahnya terpaksa diredamnya demi keselamatan Maya. Kembali dia teringat pesan guru kuntawnya, “Gunakan akalmu. Mengalahlah untuk menang!”
Seandainya saja Maya jago karate tentu pemeras itu akan menyesal seumur hidup, atau paling tidak tulang rusuknya patah. Tapi tidak ada gunanya berandai-andai di saat-saat genting seperti itu. Pastika tidak bisa berbuat apa-apa, selain mengalah.
            “Pak, saya bukan mau menyogok. Uang ini hanya sebagai tanda maaf kami,” Pastika menyodorkan uang sepuluh ribuan lima lembar kepada pemeras yang mengaku polisi itu. Dengan cepat tangan pemeras itu menyambar uang yang ada di tangan Pastika.
Pemeras itu menghitung uang sambil berkata, “Uang ini untuk menyogok saya, ya?!” 
 “Tidak, Pak. Itu hanya tanda maaf  kami. Sungguh, Pak!” Pastika membayangkan akan kelaparan seminggu, sebab uang terakhir dalam dompetnya telah berpindah tangan.
            Setelah mendapatkan apa yang diinginkanya, pemeras itu menyuruh mereka cepat-cepat pergi dari Lapangan Renon. Sepintas Pastika melirik, pemeras itu menyeringaikan senyum puas.
           
***
Setelah bebas dari mulut singa, kini Pastika harus berjuang keras menenangkan Maya yang sudah terlanjur shock dan trauma dengan kejadian itu. Bahkan sampai berhari-hari kemudian Maya masih dihantui wajah pemeras dan segala perlakuannya yang kasar.
            Suatu senja Pastika mengajak Maya bersantai di Pantai Sanur. Dengan menatap hamparan biru lautan dan merasakan desir angin pantai, Pastika berharap Maya menjadi terhibur.
“Lupakanlah peristiwa itu, Maya. Anggap saja kita sedang sial. Aku yakin kita bukan korban pertama. Suatu saat pemeras itu akan menemui karmanya sendiri. Kau tahu, salah satu dosa yang tidak bisa diampuni adalah mengganggu atau memeras orang yang sedang pacaran,” bujuk Pastika, setelah berkali-kali melihat Maya murung.
Maya hanya terdiam saja. Matanya menerawang ke arah cakrawala. Debur ombak seakan saling sahut dengan gemuruh batinnya.
“Dalam kisah Mahabharata, ayah Pandawa, Pandu, pernah dikutuk pertapa sakti, akan mati saat berhubungan intim dengan istrinya. Dosa Pandu adalah memanah sepasang kijang yang sedang berkasih-kasihan. Pandu tidak tahu kalau kijang yang dipanahnya adalah jelmaan pertapa sakti yang sedang kencan dengan istrinya. Pandu akhirnya mati lemas (mungkin impoten) saat bersenggama dengan istrinya…”
            Maya masih diam bagai arca. Wajahnya murung. Perlahan air matanya meleleh membasahi pipinya yang bersih. Pastika bisa memahami trauma kekasihnya itu, sebab dia juga pernah mengalami trauma seperti itu.
            “Aku benci sekali dengan orang itu. Setiap aku bengong sendiri peristiwa itu seakan kembali terulang menghantui pikiranku. Aku sangat takut sekali…,” Maya terus terisak-isak. Pastika girang Maya akhirnya mau bicara, meski sambil menangis. Pastika mendekapnya erat, membelai rambutnya penuh kasih.
            Tiba-tiba, Maya melepaskan dekapan Pastika. Matanya jalang memandang langit, wajahnya yang lembut berubah beringas, nafasnya tidak teratur seperti ingin menumpahkan amarah yang lama terpendam. Maya seperti gunung berapi yang siap menyemburkan lahar panas. Dan…
            “Demi langit dan bumi, aku mengutuk pemeras itu agar impoten seumur hidupnya! Agar matinya tidak wajar!” Setelah melontarkan kutukan itu, tubuh Maya lemas dan jatuh dalam pelukan Pastika.
Mendadak langit menggelegar oleh gemuruh halilintar, angin kencang datang menggugurkan daun-daun ketapang di sekitarnya. Pastika bergidik ngeri dengan cuaca yang tiba-tiba berubah itu.
            “Agaknya sebentar lagi akan datang badai. Kita pulang, ya?!”
Maya mengangguk lemah.
Mendengar kutukan kekasihnya, Pastika menjadi ngeri sendiri. Konon, kutukan perempuan yang teraniaya sangat ampuh.
            Tiga minggu kemudian Maya sudah kembali ceria dan manja. Pada sebuah sabtu sore Maya mengajak Pastika makan jagung bakar di warung langganannya di kawasan Renon. Sambil menanti jagung matang, Pastika membaca-baca koran sore yang dibelinya dari loper koran yang berjualan di sekitar warung itu. Dia biasanya hanya membaca kepala-kepala berita yang dicetak tebal-tebal. Dan, betapa kagetnya dia membaca sebuah kepala berita yang menjadi headline hari itu: Pemeras Tewas Dibacok di Lapangan Renon.
Dengan semangat ingin tahu Pastika membaca berita yang mengejutkan itu. Kejadiannya malam kemarin. Ciri-ciri korban yang tubuhnya penuh luka bacokan itu persis seperti lelaki yang mengaku polisi yang pernah memeras mereka: badan gempal, tinggi 170 cm, kumis tebal, mata belok, rambut pendek ikal.
Di samping mayat ditemukan teropong infra merah dan sebuah ponsel Nokia terbaru. Pelakunya belum diketahui. Menurut pedagang asongan yang sering berjualan di Lapangan Renon, korban memang sering mengaku polisi dan suka memeras pasangan yang sedang berpacaran. Kata pedagang asongan yang tidak mau disebutkan namanya itu, korban sering beroperasi saat Lapangan Renon sepi, mendung dan gerimis, atau di atas jam sepuluh malam.
Pastika menyodorkan koran itu kepada Maya. “Kutukanmu telah mengenai sasarannya. Pemeras itu mati dibacok!”
Usai membaca berita itu, wajah Maya seketika pucat. Namun tidak berapa lama senyumnya mengembang puas dan bahagia. Seperti kepuasan Drupadi yang berhasil mencuci rambutnya dengan darah Dusasana. Pastika takjub. Belum pernah ia melihat wajah kekasihnya secerah itu.***
             

Denpasar, 2004


(Bali Post, 2 Mei 2004)
                                                                                         

No comments:

Post a Comment