Labels

Thursday, 20 October 2011

Puisi-puisi 1994

                 Sajak-sajak Wayan Sunarta

Amsal Batu Apung


dari atas bukit
terlempar aku
ke sungai

di muara
anak anakmu
memunguti diriku
mengusungku
ke atas bukit itu
lalu melemparku
kembali
ke sungai ini

selalu aku
terdampar
pada muara
yang sama


1994


 Meditasi


mengarungi samudera putih cuaca
nelayan mengolah ombak
mengayuh biduk

pulau samar di kejauhan
bulatan tiram-tiram pasir
adakah lubuk persembunyian
bagi ikan-ikan yang luput
dari pukat nelayan

pengembara-pengembara dunia seberang
menyusuri lumut dan batu karang

akarmu akarku satu
berpaut dalam laut
aku mekar
aku bunga api
aku ubur-ubur cahaya
berenang menuju teduh
samuderamu


1994




Laut Jiwamu


laut dalam jiwamu
menyanyikan resah bagi musim
dan malam kekosonganku
kau bangkitkan kenanganku
mendaki perbukitan hijau
yang terhampar pada dadamu

di mana kau sembunyikan wajah sungai
yang dulu bermuara pada jantungku
ketika kau menangis sepanjang lintasannya
karena kerinduan yang tak pernah berlabuh

kau perahu dalam lautmu
senantiasa merenungi angin
yang menghempaskan musim
ke pangkuan pantai


1994

                Takdir  Sunyi


mesti berapa musim lagi
kujelmakan takdir ini

takdirku senantiasa bernama adam
yang kesepian sejauh perih waktu
burung burung tersesat
bermusim musim dalam alir nadiku

pada bening keningmu
        aku bercermin
meneliti guratan masa silam
yang ranggas bersama buah-
buah kutukan
        o, begini buruk rupaku !?
angin liar menampar kesangsian
aku semakin asing dari wajahmu

mesti berapa musim lagi
kujelmakan takdir ini

ular ular bersarang dalam nafsuku
mengerami telur telur hawa
dan dosa semakin hangat
dalam dekapan takdir sunyi ini


1994


                Hira


puisi lahir
dari sunyi hira

kutemukan kau
gigil tanpa suara


1994



                 Perempuan


rambutmu perempuan
kau gerai atas ombak
pasir pasir memeram resah
dalam jiwaku menjelma sajak

bibirmu perempuan
kau lekatkan pada kangen
hutan hutan basah dalam hujan
menjelma kenangan
menjadi sungai
mengaliri nadi

perempuan dalam irama alun
menari bersama bunga bunga senja
yang gugur perlahan
aku pun luruh pada senyum fana


1994


                Dermaga XIX


berdiri ragu aku menatap laut jiwamu
tiga kuntum mawar mekar di jantungmu
di sinilah awal segala yang berlabuh
menjala kata dari muara keheningan
lalu melontarnya ke relung puisimu

o, sungguh menyilaukan cahaya garbamu
menjadi pelangi hidup
biduk perjalananku
hingga senantiasa waktu
memahat kenangan dan kerinduan
di pilar-pilar dermaga jiwaku


1994


                Terminal


di antara kakilima
besi-besi tua dan jiwa-jiwa
yang menangis karena derita
aku terdampar

terminal ini sunyi
seperti tangan nasib yang perih
o, jejak tertatih
kemana kau tuntun jiwaku

kesunyianku dan kesunyianmu
menyusup dalam sayap-sayap malam
namun aku tak pernah tahu
apa sebab aku terdampar
di terminal ini


1994

 
Sungai


sungai itu mengalir
dari keheningan masa lalu
seorang tua termangu di tepiannya
mulut keriputnya
sesekali mengisap gulungan aksara
dari daun jagung yang purba

tak tahu berapa jauh
telah kususuri sungai itu
tiba di muara
wajahku penuh luka
deraan waktu
begitu karib dan setia

selalu kau mengiringiku
ke muara
hingga udara pun senja
dan sosok tua itu
yang mungkin wujud masa silamku
raib entah ke mana

aku tafakur
dalam aliran waktu


1994

 
Hidup Hanya Kekosongan


kurelakan kau pergi
setelah cukup lama kita
bergandengan tangan
membentang hari
di taman melati

terbang kau bersama abu
membawa dunia milikmu
mengapa berduka?
akhirnya kita
mesti menerima maut itu

--hidup hanya kekosongan
di luar dan di dalam jagat ini--

tersenyumlah
sambutlah mentari baru
aku pun tersenyum melepasmu
bersama kidung ombak
menuju samudera


1994

                Laut


laut, gemuruhlah dalam batinku
tunjukkan aku pulau gaibmu
agar aku betah melaju
mengarungi sunyimu

laut, arahkan panah hidupku
buka pintu pikiranku
biar aku betah berkaca di birumu

laut, berikan aku tikaman paling perih
agar aku makin tinggi di puncak ombakmu
deburan gelora yang tak punah


1994

                 Terbakar Api Suci


ia yang terkutuk
dari pintu ke pintu
diam dalam bisu langit
kering dalam ladang-ladang hati

lewat lubang angin
lewat lubang jasad
ia melintas dengan perih
luka pembuangan

lihat, kucing hitam mabuk
dalam rohnya
mengais-ngais urat darahnya

dalam perih
luka pembuangan
ia terbakar api sucinya


1994


 
Sajak Sembilan Purnama

di bawah bayang bulan
wajah cantik menenun sunyiku
menjadi kain rindu

di pintu rindu aku menunggu
cinta yang pulang
dari pengembaraan sembilan purnama
dalam kandungan-kandungan sajak

o, si bibir mungil
senyummu memagut sunyiku

menggandeng lengan waktu
menyimpan rahasia rindu
dalam kelopak malam
lihatlah, tanganku tak pernah diam
menghitung jemari kenangan kita


1994

No comments:

Post a Comment