Amsal Batu Apung
dari atas bukit
terlempar aku
ke sungai
di muara
anak anakmu
memunguti diriku
mengusungku
ke atas bukit itu
lalu melemparku
kembali
ke sungai ini
selalu aku
terdampar
pada muara
yang sama
Meditasi
mengarungi
samudera putih cuaca
nelayan mengolah ombak
mengayuh biduk
pulau samar di kejauhan
bulatan tiram-tiram pasir
adakah lubuk persembunyian
bagi ikan-ikan yang luput
dari pukat nelayan
pengembara-pengembara dunia
seberang
menyusuri lumut dan batu karang
akarmu akarku satu
berpaut dalam laut
aku mekar
aku bunga api
aku ubur-ubur cahaya
berenang menuju teduh
samuderamu
1994
Laut Jiwamu
laut dalam jiwamu
menyanyikan resah bagi musim
dan malam kekosonganku
kau bangkitkan kenanganku
mendaki perbukitan hijau
yang terhampar pada dadamu
di mana kau sembunyikan wajah
sungai
yang dulu bermuara pada jantungku
ketika kau menangis sepanjang
lintasannya
karena kerinduan yang tak pernah
berlabuh
kau perahu dalam lautmu
senantiasa merenungi angin
yang menghempaskan musim
ke pangkuan pantai
1994
mesti berapa musim lagi
kujelmakan takdir ini
takdirku senantiasa bernama adam
yang kesepian sejauh perih waktu
burung burung tersesat
bermusim musim dalam alir nadiku
pada bening keningmu
aku bercermin
meneliti guratan masa silam
yang ranggas bersama buah-
buah kutukan
o, begini buruk rupaku !?
angin liar menampar kesangsian
aku semakin asing dari wajahmu
mesti berapa musim lagi
kujelmakan takdir ini
ular ular bersarang dalam nafsuku
mengerami telur telur hawa
dan dosa semakin hangat
dalam dekapan takdir sunyi ini
1994
puisi lahir
dari sunyi hira
kutemukan kau
gigil tanpa suara
1994
rambutmu perempuan
kau gerai atas ombak
pasir pasir memeram resah
dalam jiwaku menjelma sajak
bibirmu perempuan
kau lekatkan pada kangen
hutan hutan basah dalam hujan
menjelma kenangan
menjadi sungai
mengaliri nadi
perempuan dalam irama alun
menari bersama bunga bunga senja
yang gugur perlahan
aku pun luruh pada senyum fana
1994
berdiri ragu aku menatap laut jiwamu
tiga kuntum mawar mekar di jantungmu
di sinilah awal segala yang berlabuh
menjala kata dari muara keheningan
lalu melontarnya ke relung puisimu
o, sungguh menyilaukan cahaya garbamu
menjadi pelangi hidup
biduk perjalananku
hingga senantiasa waktu
memahat kenangan dan kerinduan
di pilar-pilar dermaga jiwaku
1994
di antara kakilima
besi-besi tua dan jiwa-jiwa
yang menangis karena derita
aku terdampar
terminal ini sunyi
seperti tangan nasib yang perih
o, jejak tertatih
kemana kau tuntun jiwaku
kesunyianku dan kesunyianmu
menyusup dalam sayap-sayap malam
namun aku tak pernah tahu
apa sebab aku terdampar
di terminal ini
1994
Sungai
sungai itu mengalir
dari keheningan masa lalu
seorang tua termangu di tepiannya
mulut keriputnya
sesekali mengisap gulungan aksara
dari daun jagung yang purba
tak tahu berapa jauh
telah kususuri sungai itu
tiba di muara
wajahku penuh luka
deraan waktu
begitu karib dan setia
selalu kau mengiringiku
ke muara
hingga udara pun senja
dan sosok tua itu
yang mungkin wujud masa silamku
raib entah ke mana
aku tafakur
dalam aliran waktu
1994
Hidup Hanya Kekosongan
kurelakan kau pergi
setelah cukup lama kita
bergandengan tangan
membentang hari
di taman melati
terbang kau bersama abu
membawa dunia milikmu
mengapa berduka?
akhirnya kita
mesti menerima maut itu
--hidup hanya kekosongan
di luar dan di dalam jagat ini--
tersenyumlah
sambutlah mentari baru
aku pun tersenyum melepasmu
bersama kidung ombak
menuju samudera
1994
laut, gemuruhlah dalam batinku
tunjukkan aku pulau gaibmu
agar aku betah melaju
mengarungi sunyimu
laut, arahkan panah hidupku
buka pintu pikiranku
biar aku betah berkaca di birumu
laut, berikan aku tikaman paling perih
agar aku makin tinggi di puncak
ombakmu
deburan gelora yang tak punah
1994
ia yang terkutuk
dari pintu ke pintu
diam dalam bisu langit
kering dalam ladang-ladang hati
lewat lubang angin
lewat lubang jasad
ia melintas dengan perih
luka pembuangan
lihat, kucing hitam mabuk
dalam rohnya
mengais-ngais urat darahnya
dalam perih
luka pembuangan
ia terbakar api sucinya
1994
Sajak Sembilan Purnama
di bawah bayang bulan
wajah cantik menenun sunyiku
menjadi kain rindu
di pintu rindu aku menunggu
cinta yang pulang
dari pengembaraan sembilan purnama
dalam kandungan-kandungan sajak
o, si bibir mungil
senyummu memagut sunyiku
menggandeng lengan waktu
menyimpan rahasia rindu
dalam kelopak malam
lihatlah, tanganku tak pernah diam
menghitung jemari kenangan kita
1994
No comments:
Post a Comment