cerpen : Wayan Sunarta
Langit senja dihiasi kabut tipis putih keabuan dan rapuh.
Udara dingin menyusup ke dalam pori-pori tubuh. Kami bertiga saja, tiba di
Lembah Batur tepat sebelum senja berangkat petang. Rencana pendakian besok pagi
telah kami susun sedemikian rupa. Gunung Batur memang terlihat gampang didaki.
Tapi tetap saja kami perlu mempersiapkan segala sesuatunya. Kami menginap di
sebuah losmen murah yang memang diperuntukkan bagi para pendaki dan pelancong
yang kemalaman.
Tidak
jauh dari losmen ada sejumlah warung kopi yang buka sampai jam sepuluh malam.
Juga beberapa kafe yang disediakan bagi pelancong berduit. Karena kami termasuk
golongan kantong tipis, kami memilih sebuah warung kopi yang terletak agak
menyendiri di Lembah Batur.
Warung
itu dijaga seorang gadis desa. Menilik dari wajahnya aku menduga dia berusia
kira-kira 17 tahun. Cukup cantik dengan wajah bulat telur dan kulit kuning
langsat. Agaknya hawa pegunungan membuat kulit gadis-gadis di sini enak
dipandang. Dinginnya udara senja semakin menusuk kulit dan bikin ngilu
persendian. Kami memesan kopi. Dua kawanku mulai kasak-kusuk dengan
obrolan-obrolan miring.
“Pak, ini kopi
dan kuenya,” gadis itu menyodorkan nampan. Ia mengatur gelas kopi dan kue di
atas meja kayu. “Silakan, Pak.”
Kami mengucapkan
terima kasih. Aku menyalakan sebatang rokok kretek, begitu pula dengan dua
kawanku. Di dalam udara dingin tubuh akan sedikit lebih hangat dengan secangkir
kopi panas dan rokok.
“Kira-kira
berapa jam harus kami tempuh untuk mencapai puncak Batur?” tanyaku basa-basi.
Gadis
itu rupanya dengan senang hati menemani kami minum kopi, setelah benar-benar
memastikan bahwa tidak ada pengunjung lain.
“Kira-kira
kalau berjalan santai dua sampai tiga jam Bapak akan sampai di puncak.”
Aku
jadi tidak enak dipanggil “Bapak”. Tapi pasti panggilan itu untuk menghormati
tamu. “Tolong, Dik, eh… siapa namanya? Tolong jangan panggil saya “Bapak.” Kami
masih muda, belum menikah,” ujarku bergurau. Gadis itu mengumbar senyum
malu-malu yang sungguh menggoda.
Kami
pun berkenalan. Dia menyebut namanya “Sari”.
Dua
kawanku senyum-senyum dan cengar-cengir. Mereka menggodaku karena cepat akrab
dengan Sari. “Wah, boleh juga buat selimut malam,” bisik Adol, kawanku yang
paling bengal.
Aku
senyum kecil saja. Kulirik wajah Sari merah padam. Ia malu atau mungkin marah.
Wanita terlalu perasa. Mudah-mudahan ia tidak mendengar apa yang dibisikkan
Adol.
“Sari,
penginapan itu kok sepi, ya? Aneh sekali. Padahal tidak sedikit pendaki yang
berkeliaran di sini,” ujarku mengalihkan gurauan ngawur dua kawanku.
Mata
Sari yang lembut menatap kejauhan senja.
“Memang
beginilah keadaan di sini. Para pendaki lebih banyak buat tenda dan bermalam di
hutan,” jawab Sari. Matanya makin menerawang kejauhan senja yang mulai samar
diselubungi kabut. Perasaanku mengatakan ia berbohong. Pasti ada sesuatu yang
disembunyikannya.
“Siapa
pemilik penginapan yang kami sewa itu?” tanyaku. Aku mulai penasaran dan ingin
lebih banyak tahu tentang Lembah Batur. Sudah dua kali aku mendaki Gunung
Batur. Pertama ketika SMA dan yang kedua sekarang. Dua kawanku malah baru kali
ini mengadakan pendakian ke Batur. Jadi aku merangkap juga sebagai pemandunya.
“Losmen
tempat kalian menginap itu milik ibu saya. Tapi sebulan belakangan ini baru
kalian yang menginap di situ,” jawab Sari. Sorot matanya semakin memancarkan
suatu keanehan.
Aku
agak kaget. Namun segera aku bisa mengendalikan perasaanku. Di Lembah Batur ini
banyak penginapan, tentu persaingan mendapatkan pelanggan sangat ketat.
“Kenapa
bisa begitu, ya?” tanya kawanku. Rupanya dia sedikit penasaran dengan keadaan
di penginapan itu.
Si
gadis pelayan yang ternyata anak pemilik penginapan menjadi agak gelagapan
begitu mendapat pertanyaan seperti itu. Namun ia pun juga telah terlatih
menguasai diri. “Mas lihat sendiri, di sini banyak penginapan. Kami harus
bersaing mencari tamu dengan harga dan servis yang juga memuaskan. Bahkan
beberapa penginapan di sini menyediakan kawan kencan untuk para tamunya.”
Mendengar
penjelasannya, darahku mendadak berdesir. Malam makin menanjak. Kulihat arloji.
Baru jam sepuluh malam. Dingin sekali. Kopi dalam gelas kami sudah hampir
habis. Cukup lama juga kami ngobrol. Sari ternyata betah menemani kami. Mungkin
ini bagian dari servis itu. Darahku mengalir lebih kencang ketika kusadari Sari
menatapku dengan mata elang yang hendak menerkam mangsanya.
“Eee...tolong
buatkan kami mie rebus tiga mangkok. Besok pagi-pagi buta kami mesti
bersiap-siap mendaki,” ujarku mencoba menghentikan kegalauan perasaanku. Tentu
juga karena perut mulai terasa lapar.
“Kalian perlu pemandu? Saya siap memandu
kalian besok pagi,” tawar Sari tanpa kami duga.
Dua
kawanku kembali ribut-ribut kecil agar menyetujui tawarannya. “Bila tidak
merepotkan, kami sangat senang bila Sari bisa ikut bersama kami,” jawabku yang
diiringi anggukan dua kawanku.
Mie
dalam mangkok telah terkuras habis. Ternyata kami benar-benar kelaparan. Sari
semakin aneh menatap kami, seperti hendak menguliti kami. Aroma vodka merebak
dari mulut kami. Sejak senja tadi sebotol vodka telah kami habiskan bertiga.
Memang sangat mengasyikkan malam-malam dingin begini kerongkongan ditaburi
alkohol. Tiga botol vodka masih kusimpan dalam ransel untuk perjalanan besok
pagi.
“Mas
kuat sekali minum!” mata Sari lekat menatapku.
“Ah,
hanya sekadar untuk mengusir udara dingin,” jawabku agak malu.
“Tapi
kalau naik gunung jangan minum terlalu banyak. Berbahaya!”
“Tidak
usah khawatir. Kami akan baik-baik saja.”
Malam
makin dingin. Jam dua belas. Kami heran mengapa Sari betah sekali menemani
kami. Apa dia tidak dimarahi ibunya nanti? Mengapa warungnya belum juga
ditutup? Apa dia merasa sungkan mengatakan akan tutup warung?
“Mengapa belum
tutup, Sari?” tanyaku iseng.
“Masih ada
tamu, kenapa mesti tutup,” jawabnya sambil mengumbar senyum.
Dua kawanku
sudah setengah teler. Lampu-lampu penduduk berkerlap-kerlip jauh di Lembah
Batur. Sari masih menatapku dengan pandangan aneh dan semakin susah kumengerti.
Dalam kepalaku mulai muncul pikiran-pikiran kotor. Darahku terasa mengalir
deras. Ini mungkin pengaruh alkohol yang telah mengacaukan kesadaranku.
“Sebaiknya
Mas tidur saja agar besok pagi bisa melanjutkan perjalanan.”
Entah
mengapa kami manut saja ketika Sari mengantar kami ke sebuah bilik sederhana di
Lembah Batur. Kamar itu begitu wangi, samar-samar mengingatkan aku pada bau
menyan atau bau setanggi…setelah itu aku tidak ingat apa-apa lagi.
***
Pagi-pagi
kudengar suara kokok ayam hutan nyaring sekali di kupingku. Aku terperanjat
kaget dan segera membangunkan dua kawanku yang tertidur pulas sekali. Udara
begitu dingin dan kepalaku masih pening. “Hei, bangun! Sudah pagi! Ayo,
bergegas!”
Kedua
kawanku seperti tersentak dari mimpinya. Mereka gelagapan sambil mengucek-ucek
matanya.
“Kita
ada di mana nih!?” seru Adol heran. Dia memandang sekeliling.
Aku
kaget sekali. “Astaga, kenapa kita berada di dalam hutan!?”
Kami
benar-benar tidak mengerti. Di sekeliling kami hanya hutan lebat menghampar.
Aku menenangkan perasaan, mencoba mengingat-ingat kejadian demi kejadian yang
kami alami sejak sore kemarin. Bulu kudukku mendadak berdiri. Jadi penginapan
itu, kopi itu, mie rebus itu…
Perutku
mendadak mual mengingat semua kejadian itu. Tubuhku lemas. Seorang peladang
menemui kami yang duduk lemas bersandar pada sebatang pohon pinus. Peladang itu
kaget melihat kami dalam keadaan acak-acakan seperti itu. Pakaian kami penuh
lendir, entah lendir bekas muntahan atau lendir apa, kami tidak ingat lagi
peristiwa apa yang menimpa kami semalam.
Kepada
peladang itu, kami menceritakan kejadian demi kejadian yang mampu kami ingat.
Peladang yang rambutnya sudah ubanan itu geleng-geleng kepala dan mulutnya
nampak komat-kamit mengucapkan sesuatu.
“Syukurlah
kalian tidak dicelakai oleh lelembut itu. Dia pada bulan-bulan ini sangat suka
mencari tumbal,” ujar peladang yang heran melihat kami bisa selamat.
Kami
masih belum sepenuhnya paham kejadian yang menimpa kami. Kami hanya bisa
melongo seperti orang bego.
“Ya.
Lelembut itu penghuni Lembah Batur. Beberapa penduduk sering melihatnya
gentayangan pada bulan-bulan ini,” jelas peladang itu lagi.
“Gadis
penjaga warung itu jelmaan lelembut?!” seru kami hampir bersamaan. Kami sadar
wajah kami sangat pucat saat itu. Pucat karena habis mabuk bercampur pucat
diliputi kengerian.
Seketika
itu juga kami membatalkan pendakian dan bergegas pulang. Kabut abu-abu turun
melingkupi Lembah Batur. ***
Kintamani-Denpasar, 1996
No comments:
Post a Comment