cerpen : Wayan Sunarta
Debu-debu
dari kibasan sayap ayam yang beradu menerpa wajah-wajah tegang para bebotoh. Wajah-wajah itu penuh dialiri
keringat masam bercampur debu. Arena tajen minggu itu begitu ramai dan
sumpek, penuh riuh-rendah para bebotoh yang sedang bertaruh.
“Mana
Tangeb?” seorang lelaki kekar dengan tatto di kedua lengannya berteriak lantang
ke tengah arena. “Hari ini aku harus bikin perhitungan dengannya. Sudah banyak
uangku masuk kantongnya!”
Lelaki
kekar bertatto itu sangat disegani para bebotoh. Karena jambangnya yang lebat,
ia sering dipanggil Brengos. Ia terkenal sebagai bebotoh kawakan. Harta warisan
leluhurnya melimpah. Namun karena kebiasaannya yang suka judi, lama-lama harta
warisan leluhurnya terkuras habis.
Lelaki
yang dipanggil Tangeb menyeruak dari kerumuna para bebotoh. Berjalan dengan
santai menjinjing kisa menghampiri Brengos yang bermuka masam.
“Sudah
punya jago baru, ya? Lagi berapa hektar tanah nenek moyangmu kau jual?” ejek
Tangeb.
“Jangan
banyak mulut kau. Ayo, sekarang kita buktikan apakah si Biing atau si Ijo yang
terkapar duluan tertusuk taji!”
Tangeb
adalah orang baru dalam dunia pertajenan. Baru beberapa hari ia terlibat dalam
tajen yang sering digelar di bawah pohon beringin di tepi desa itu. Para
bebotoh satu pun tidak ada yang kenal atau tahu dari mana lelaki itu berasal.
Namun yang jelas ayam aduannya selalu menang dalam pertandingan. Banyak
ayam-ayam lawan dibuatnya terkapar akibat terjangan taji Si Ijo yang ganas.
Inilah yang membuat para bebotoh kesal dan iri menyaksikan kehebatan ayam
aduannya, tak terkecuali Brengos, bebotoh kawakan itu.
“Ayo,
kita mulai!” teriak Brengos dari seberang arena dengan Biing yang siap
menyerang. Arena tajen seketika riuh dengan suara-suara para bebotoh yang
bertaruh. Si ijo mulai dilepas
dan menerjang dengan ganasnya. Suasana penuh ketegangan. Para bebotoh menahan
nafas melihat kedua jago yang sedang berlaga itu saling terjang. Tapi belum ada
tanda-tanda siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Permainan judi bola adil,
dadu, ceki, tak terkecuali pedagang nasi, rokok, dan orang-orang di sekitar
arena menghentikan kegiatannya hanya untuk menyaksikan pertarungan seru itu.
Menit-menit
terakhir mulai kelihatan si Biing terdesak. Para bebotoh semakin tak sabar
ingin melihat siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Brengos tambah masam
saja mukanya. Sesekali ia memandang penuh kebencian pada Tangeb yang santai
mengisap kreteknya.
Braakkk!
Biing terkapar berlumuran darah. Para bebotoh yang menang bertaruh melonjak
girang. Namun sebagian besar yang kalah hanya mampu ngomel-ngomel dan mencaci
maki tak karuan. Si Ijo berkukuruyuk tiga kali seakan mengejek Brengos yang
masih saja tertegun tidak percaya memandang Biing yang telah berlumuran darah
itu. Nafasnya turun naik. Giginya gemeretak. Kebenciannya semakin menggila pada
Tangeb.
Tetapi
memang ia harus mengakui keunggulan Si Ijo. Ini untuk kesekian kali
jago-jagonya mati di terjang Si Ijo. Ia sangat jengah, sakit hati. Telah banyak
harta warisan leluhurnya terjual. Sawah, ladang, kebun, perabotan kuno, semuanya
ludes terjual demi memenuhi kesenangannya pada tajen. Istrinya sudah habis
kesabarannya. Betapa tidak, sudah sering istrinya jadi korban kekerasan
Brengos. Istrinya sering ditampari, dipukuli gara-gara menasehati suaminya agar
berhenti matajen. Malah sekarang
istrinya jarang di rumah.
“Sudahlah.
Ayammu sudah mampus. Tak perlu kau ratapi berlama-lama. Sekarang lebih baik kau
pulang saja!” ejek Tangeb.
“Diam
kau bangsat! Kubunuh kau!” marah Brengos meledak mendengar ejekan seperti itu.
Ia mengacungkan tinjunya hendak menerjang Tangeb yang berdiri kalem,
seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Para bebotoh segera melerai mereka.
“Lepaskan
aku…lepaskan aku…akan kubunuh bangsat itu!” Brengos meronta. Para bebotoh
sekuat tenaga mencekal lengannya.
“Sudahlah.
Sabar..sabar..!” para bebotoh lain berusaha menenangkannya. Sejak kejadian itu
Tangeb tak kelihatan lagi di arena tajen. Sejenak para bebotoh kehilangan
saingan beratnya.
Sakit
hati dan kebencian Brengos semakin menjadi-jadi ketika seorang kawannya mengabarkan
melihat istrinya berboncengan dengan Tangeb menuju kantor balai desa.
“Bangsat!
Kubunuh kau Tangeb!” pekiknya sambil menggebrak meja. Kawannya menahan nafas.
Ia tahu betul, Brengos jarang bercanda dengan ancamannya, apalagi mendengar
kabar yang lebih menyakitkan ini.
Lagi
dua hari tajen akan kembali digelar di desa itu. Para bebotoh dari berbagai
pelosok akan berdatangan untuk mengadu ketangguhan ayam masing-masing. Ini
tajen terbesar yang pernah digelar di desa itu. Konon, yang mendanai tajen kali
ini seorang pengusaha sukses dari kota.
Brengos
segera menyiapkan diri. Ia memilih ayam jago terbarunya yang tegap jantan, si
Bangkok. Kemudian ia mengambil keris leluhurnya. Ia bayangkan Tangeb terkapar
bermandikan darah di tengah arena tajen. Sesekali ia perhatikan mata keris itu
berkilat haus darah. Ia sendiri bergidik memandang pamor keris leluhurnya.
Konon keris itu pernah dipakai kakeknya bertempur melawan leak.
Seperti
biasanya, arena tajen penuh sesak dengan para bebotoh, pedagang, pemain judi bola
adil dan dadu. Begitu meriah tawa canda dan obrolan khas para bebotoh. Sebelum
tajen dimulai mereka biasanya makan nasi lawar di warung Bu Nyungkring.
Atau memesan kopi campur telur ayam di warung Luh Sari.
Brengos
menunggu di bawah pohon beringin. Matanya jelalatan seperti mencari-cari
seseorang. Ia nampak gelisah. Si Bangkok dalam kisa ia taruh di bawah
pohon beringin. Kemudian ia mengisap dalam-dalam rokoknya dan menghembuskannya
seperti hendak menghembuskan tubuh Tangeb ke dalam kawah neraka.
“Kau
lihat Tangeb, tidak?” tanya Brengos pada seorang bebotoh.
“Tidak,
Bli! Saya baru datang,” jawab seorang lelaki ceking gelagapan. Mungkin
ia sudah mencium bau maut dalam tubuh Brengos.
Lelaki
itu menjauhi Brengos dengan perasaan
ngeri. Melihat hal itu Brengos tidak dapat menahan ketawanya. Tawa yang penuh
keangkuhan seorang bebotoh.
Babak
pertama telah dimulai. Para bebotoh mulai riuh menjagokan ayam masing-masing.
Namun Tangeb masih juga tidak kelihatan di antara kerumunan para bebotoh itu.
Brengos semakin penasaran.
“Sialan!
Ke mana bangsat itu pergi? Apa ia tahu kalau aku sedang mencari dan akan bikin
perhitungan dengannya?” gerutu Brengos.
Arena
tajen makin riuh dan tegang. Babak kedua antar si Sangkur melawan si Buik
sedang berlangsung. Namun Tangeb belum juga muncul di arena tajen. Apa ia takut
dengan ancaman Brengos? Brengos makin gelisah seperti macan kehilangan
mangsanya. Ia memeriksa keris yang tersembunyi di balik jaket kulitnya.
“Apa
ia tidak tahu kalau sore ini ada tajen besar. Kalau ia muncul harus kuhabisi
ia!” gumam Brengos.
Arena
tajen makin gaduh dan sumpek. Teriakan para bebotoh yang menang bertaruh maupun
omelan yang kalah saling bersahutan. Babak ketiga dimulai. Suara-suara bebotoh
tambah riuh bersahutan. Tangeb tidak juga muncul dalam arena tajen. Tiba-tiba…
“Polisi!
Ada polisi! Lari!” teriak seorang bebotoh mengomandoi kawan-kawannya yang lagi
asyik bertaruh. Tiga mobil polisi dengan sirene meraung-raung menyeruak
kegaduhan arena tajen itu. Para bebotoh lari tunggang langgang mencari aman.
Brengos juga ikut-ikutan lari dan bersembunyi di balik pohon beringin besar
dengan bebotoh lainnya.
“Sialan!
Siapa yang melapor polisi?” umpat Brengos.
“Kurang ajar!”
gerutu bebotoh lainnya.
Dari
tempat persembunyian, mereka memperhatikan kawan-kawannya diangkut ke dalam
mobil polisi. Ayam-ayam dan peralatan tajen yang tertinggal juga tidak luput
diangkut sebagai barang bukti. Wajah Brengos merah padam menahan amarah. Ingin
rasanya ia membabat polisi-polisi itu dengan kerisnya yang sudah haus darah.
“Angkat
tangan! Jangan bergerak!” seorang polisi berpakaian preman yang dari tadi
mengintai mereka, mengacungkan pistol.
Mereka terkejut bukan main ketika mengetahui siapa lelaki yang
menodongkan pistol itu.
“Tangeb...!” seru Brengos
tidak percaya pada penglihatannya.
Tangeb ternyata intel yang menyamar sebagai bebotoh.
Tangeb ternyata intel yang menyamar sebagai bebotoh.
“Istrimu telah menceritakan semuanya,
Brengos!”
“Jadi
selama ini…”
“Ya.
Selama ini kami telah mengatur siasat untuk menangkapmu!”
Amarah
Brengos tidak dapat ditahan lagi. Ia menghambur ke arah Tangeb dengan keris
terhunus. “Bangsat! Mati kau...!” pekiknya.
Kelebatan
keris haus darah itu dapat dihindari Tangeb. Namun Brengos tidak begitu saja
melepaskan buruannya. Ia terus menerjang dan menyerang. Sampai akhirnya Tangeb
kehabisan kesabaran. Ia melepaskan tembakan peringatan tiga kali. Namun bunyi
letusan pistol tidak menciutkan nyali Brengos yang terbakar dendam.
Doorr!
Sebutir timah panas bersarang di paha kiri Brengos. Ia meringis menahan sakit
dan ambruk, bagaikan Duryodana yang pahanya terkena hantaman gada Bima.
“Aku
salut dengan keberanianmu, Brengos. Kau kutahan. Istrimu yang baik hati itu
menunggumu di kantor polisi.”
Wajah
Brengos merah padam menatap Tangeb. Dendamnya masih membara. Entah kapan akan
dilampiaskannya.***
Denpasar, 1995
Keterangan:
- Bebotoh :
Sebutan penjudi untuk sabungan ayam.
- Bli :
Kakak
- Kisa :
Tempat ayam aduan.
- Leak :
Setan, mahluk jadi-jadian.
- Lawar :
Makanan khas Bali.
- Tajen :
Judi sabungan ayam
No comments:
Post a Comment