Oleh: Wayan Sunarta*
(karya I Ketut Muja) |
Pelabelan ataupun pengatagorian seni sejak
lama dilakukan oleh Barat untuk kepentingan-kepentingan praktis, yang berkaitan
dengan penilaian dan kekuasaan. Sehingga muncul istilah seni tradisional, seni
modern, beserta sejarah dan cirinya masing-masing. Timur pun cenderung
mengikuti tradisi pelabelan itu dalam formula wacana yang tak terbantahkan. Akibat
dari pelabelan itu, banyak karya seniman dari Timur, termasuk Indonesia, dikelompokkan
sebagai karya seni yang etnografis atau antropologis.
Perdebatan perihal pelabelan, ataupun
pertarungan “tradisional vs modern” menjadi medan yang menyedot energi yang
campur aduk dengan banyak kepentingan. Istilah kontemporer muncul membuka ruang
terbuka bagi seni-seni yang menolak untuk dilabelkan. Seni yang melampaui
batas-batas atau ciri-ciri tradisional maupun modern. Seni yang tak
terkotakkan. Seni yang menggebrak sesuai semangat jamannya.
Pameran bertajuk “Local Knowledge, Reposisi Bahasa Rupa
Tradisi Bali # 2” yang diadakan di Bentara Budaya Bali, sejak 25 September hingga 4 Oktober 2011, merupakan
salah satu bentuk kegelisahan menghadapi pelabelan dan pengkotakan yang
diwarisi dari Barat. Pameran yang dikurasi Wayan Seriyoga Parta ini menampilkan
karya-karya I Made Sukanta Wahyu, I Made Sama, I Ketut Muja, Ida Bagus Alit, I
Nyoman Mandra, Dewa Putu Kantor, Ida Bagus Putu Gede Sutama, I Ketut Santosa, I
Wayan Sadha, Dewa Ngurah. Pameran ini merupakan upaya pembacaan ulang terhadap
karya-karya mereka. Apakah karya-karya mereka masih layak diberi label seni
rupa tradisional ataukah telah bermetamorfosis sesuai semangat jamannya?
Para perupa yang tampil ini adalah
perupa otodidak. Tidak pernah mengenyam pendidikan seni rupa di bangku
akademis. Sejak masa kanak, mereka belajar dengan sistem nyantrik pada
perupa-perupa yang lebih senior, terutama perihal seni rupa tradisional Bali.
Kemudian mereka mengembangkan sendiri ilmu dan pelajaran yang didapat sesuai
kemampuan masing-masing. Mereka terus berkreasi dan menggali kemungkinan-kemungkinan
baru dalam ranah estetika. Mungkin, karena pernah berkarya di ranah seni rupa
tradisional, mereka sering dilabelkan sebagai “perupa tradisional”.
Berpijak pada kekuatan pengetahuan lokal
yang berkaitan dengan proses kreatif masing-masing perupanya, pameran ini
berupaya memetakan kembali perupa yang cenderung dilabelkan “tradisional” itu.
Pemetaan itu mengacu pada kenyataan bahwa masing-masing perupa yang tampil
sejak lama telah melahirkan karya-karya yang tidak bisa lagi dikotakkan ke
dalam “seni rupa tradisional”.
Misalnya, karya-karya patung Ketut Muja,
Made Sama, Sukanta Wahyu, secara visual sangatlah kontemporer. Dengan kejelian
menggali estetika, mereka mengolah bongkah-bongkah kayu menjadi karya rupa yang
multitafsir dan mampu membuka ruang imajinasi pemirsanya. Sangat sulit dilacak jejak-jejak
tradisi Bali pada karya-karya mutakhir mereka. Ketradisian hanya sebatas
spirit, sesuatu yang begitu subjektif. Misalnya, Sukanta Wahyu meyakini bahwa
setiap bongkah kayu mengandung roh yang bisa diajak berkomunikasi. Bukankah
Barat juga meyakini roh itu dengan sebutan energi?
Lalu, apakah masih bisa dilabelkan
“tradisional” lukisan kaca karya Ketut Santosa, atau karikatur karya Wayan
Sadha? Meski menggunakan teknik tradisi lukisan kaca, namun objek lukisan dan
wacana yang menyertainya sesuai dengan semangat jaman kini. Bahkan figur wayang
yang sesekali nongol dalam karyanya juga dideformasi sesuai konteks kekinian,
yakni mengenakan kemeja dan celana panjang. Begitu pula halnya dengan
karya-karya Wayan Sadha yang sarat muatan kritik sosial diramu guyonan ala
Bali. Secara visual, karya-karya Sadha sangat khas, merakyat dan kontekstual.
Sebelumnya, karya karikatur semacam ini tidak ditemukan dalam ranah seni rupa
di Bali.
Dengan bekal pengetahuan dan praktek
seni rupa tradisi, Nyoman Mandra dan Dewa Ngurah mengeksplorasi kekuatan seni tradisi menjadi
sesuatu yang berbeda. Misalnya, seni lukis wayang Kamasan yang telah
mentradisi, secara sadar dieksplorasi oleh Mandra dengan sentuhan pribadi,
sehingga melahirkan karakter wayang Kamasan yang khas Mandra. Begitu pula
halnya dengan Dewa Ngurah yang telaten memberi sentuhan pribadi, terutama dalam
hal komposisi, pada seni lukis prasi
(melukis di lontar), sehingga berbeda dengan seni prasi sebelumnya. Dalam hal ini, baik Mandra maupun Dewa Ngurah,
menggunakan kekuatan tradisi untuk memaknai jaman kekinian.
Begitu pula halnya dengan Dewa Putu
Kantor, Ida Bagus Alit, Ida Bagus Sutama, yang terus menerus membaca ulang seni
rupa tradisi, kemudian meramunya sesuai konteks kekinian. Ida Bagus Alit,
misalnya, mengolah karakter wayang yang dicampurbaurkan dengan grafis, sehingga
melahirkan karya dekoratif yang penuh warna. Atau pada karya Dewa Putu Kantor
yang merepresentasikan pustaka Kamasutra dikaitkan dengan situasi sosial
mutakhir.
Pameran ini membuktikan, meski para
perupa ini pernah bergelut dalam ranah seni rupa tradisional, namun mereka
tetap berproses mengikuti selera jaman, dengan keyakinan pada kearifan lokal
dan mengembangkan diri sesuai kemampuannya. Mereka terus menerus mengolah kemampuan
teknis dan pencapaian estetika, sehingga melahirkan karya-karya yang sesuai
semangat jaman kekinian. Namun, mereka tetap berpegang pada filosofi leluhur
Bali: de ngaden awak bisa, depang anake
ngadanin (jangan menganggap diri pintar, biarkan orang lain yang menilai).
*penulis adalah
lulusan Antropologi Budaya, Fakultas Sastra, Universitas Udayana. Pernah kuliah
Seni Rupa di ISI Denpasar.
-pernah dimuat di Kompas, 9 Oktober 2011-
No comments:
Post a Comment