cerpen: Wayan Sunarta
Udara
gemetar dingin. Aroma tanah basah. Daun-daun tua yang digugurkan angin memenuhi
jalan. Gerimis masih terasa derainya. Lampu-lampu merkuri sepanjang jalan
bersinar muram. Sebagian besar penghuni kota telah nyenyak di bawah selimut
tebal.
Satu dua motor berlalu menyalip
motor yang ditunggangi Dampar. Hanya motor tua, seringkali mogok bila terguyur
hujan. Lajunya juga tidak kencang. Ia betulkan letak spion seraya mengaca
sepintas-pintas. Pada spion ia menemukan wajah yang kusut dan nampak letih.
"Tidur
di sini saja, Mas." Kembali Dampar terkenang bujukan manja itu. Ia tidak tahu mengapa ia menolak tawaran Mita.
Sesungguhnya terlalu indah untuk ditolak. Padahal, hampir bisa dipastikan
lelaki lain akan sangat bersyukur dengan tawaran seperti itu, apalagi di malam
yang bergerimis.
"Lebih dari tiga botol bir
kamu habiskan sendiri. Aku khawatir kamu tidak kuat naik motor. Lebih baik
tidur di sini saja!" Sesungguhnya rangkaian kata-kata yang tumpah dari
mulut mungil itu bagai air es yang menyiram kepala Dampar yang pening. Tapi
entah mengapa saat itu ia ingin pulang.
Malam makin dingin. Dampar
membetulkan letak sweter yang melingkari lehernya. Sengaja ia tidak
mengenakannya agar udara dingin menjaga kesadarannya. Seekor anjing pincang
menyeberang jalan. Mendadak ia menginjak rem. “Anjing sialan!” umpatnya seraya
mengoper gigi motornya.
"Tidak
biasanya kamu seperti ini, Mas. Malam ini kamu aneh sekali. Kamu punya yang
baru, ya?" Dampar agak tersinggung dengan buntut kalimat itu. Memang,
malam ini untuk pertama kalinya ia menolak tawaran Mita untuk menginap di rumah
kontrakannya. Biasanya tak dibiarkannya malam lewat begitu saja tanpa Mita.
Minum bir, merokok, bercakap-cakap sambil mendengar musik klasik. Ya, malam ini
ia telah menolak ajakan Mita. Wajar saja kalau Mita kecewa melihat tingkahnya
yang berubah tiba-tiba.
"Kita
minum lagi, ya?" Kalimat ajakan itu lebih bermaksud untuk mencoba menahan
Dampar agar tidak pulang. Dampar merasa pengaruh alkohol telah menjalar ke
seluruh aliran darahnya. Mestinya sepasang insan itu telah bergumul malam ini,
dan tidur pulas sampai agak siang.
"Maaf,
Mita, aku harus pulang. Malam ini juga!" Sekilas Dampar merasakan gurat
kekecewaan pada wajah bersih perempuan itu. Malam ini Mita nampak lebih cantik
dari biasanya. Seakan selalu saja terdapat selubung rahasia yang belum sempat
diungkap Dampar pada wajah itu. Tetapi ia harus pulang.
Sebetulnya sudah lama Dampar
kenal dengan Mita. Perempuan itu teman kuliahnya dulu. Tapi sejak tamat kuliah,
hampir dua tahun mereka tidak pernah ketemu, meski tinggal di kota yang sama.
Pertemuan mereka tiga bulan lalu bisa disebut sebagai suatu kebetulan yang
indah. Saat itu mereka bertemu di sebuah kafe yang biasa dikunjungi anak-anak
muda di kota itu. Mita bercerita bahwa ia bekerja di sebuah kantor swasta.
Namun yang membuat Dampar heran, dari mana Mita memperoleh kebiasaan minum bir
dan merokok? Seingatnya, ketika kuliah dulu, Mita termasuk mahasiswi pintar,
alim dan tidak banyak tingkah. Ternyata perubahan begitu cepat menyerang manusia,
pikirnya.
Sejak pertemuan di kafe itu,
Dampar menjadi rajin melamunkan Mita. Ketika awal-awal kuliah dulu, ia pernah
mencoba memacarinya. Namun Mita menolak dengan alasan sudah mempunyai pacar.
Akhirnya kesempatan itu terbuka lebar justru ketika Dampar telah melupakannya.
Pada pertemuan yang indah di kafe, Mita mengaku sudah lama putus dengan
pacarnya. Sejak itu, Dampar pun rajin berkunjung ke rumah kontrakan Mita.
Jalanan
basah. Udara masih gemetar dingin. Dampar merasa motor tuanya makin lambat saja lajunya.
"Mas,
apa yang kamu pikirkan?" Mita mengepulkan asap rokok putihnya. Ada semacam
perasaan cemas pada pancaran matanya. Dampar menenggak bir dalam gelas. Bulan
di langit tertutup awan kelabu.
"Tidak
apa-apa, Mita. Aku harus pulang sekarang."
"Mas
tidak mau menemani aku malam ini?" Mita mengalungkan lengannya yang mulus
pada leher lelaki itu. Dampar merasakan hembusan nafas Mita hangat di pipinya.
Perlahan ia melepas pelukan perempuan itu. Kembali wajah Mita menyiratkan
kekecewaan.
"Bukan
begitu, Mita. Ada suatu hal yang membuat aku harus pulang."
"Ada
apa sih, Mas?" Mita memang sungguh sangat perhatian pada Dampar. Selalu
saja ada hal-hal kecil yang tidak luput dari perhatian perempuan itu. Misalnya,
dengan tangannya yang lembut, Mita suka mengusap buih-buih bir di sekitar bibir
Dampar. Saat-saat seperti itu, Dampar
merasa jadi bocah kembali.
"Maaf,
Mita. Ini bukan urusanmu."
"Mas
menganggap aku ini siapa? Bukankah aku kekasihmu?"
"Aku
sayang kamu, Mita. Tetapi…"
"Tetapi,
Mas harus pulang. Begitu, kan? Aku menginginkanmu malam ini, Mas!"
Terkadang
memang susah menjelaskan sesuatu pada perempuan. Apalagi kalau sesuatu itu
menyangkut masalah perasaan. Dan parahnya, Dampar termasuk lelaki yang suka
memendam perasaan. Ia jarang mau bercerita masalah yang dipikirkannya, termasuk
dengan kekasihnya sendiri. Akibatnya, Mita terkadang diliputi prasangka, merasa
bersalah, dan menganggap Dampar penuh teka-teki, meski tubuh bukan rahasia
lagi.
Saat itu, Dampar segera
menghidupkan motor bututnya, meninggalkan Mita yang terheran-heran di depan
pintu kamarnya. “Biarlah dia memakiku. Biarlah dia menganggapku lelaki kejam,”
gumam Dampar seraya memacu motornya.
Udara masih
gerimis. Seekor kucing hitam menyeberang jalan. Dampar kaget dan buru-buru
menginjak rem. Hampir saja ia menabrak kucing sialan itu!
Dampar
ingin buru-buru pulang. Tiba-tiba saja ia merasa kangen dengan anaknya. O,
bocah yang malang, pikirnya. Sejak ditinggal ibunya, bocah itu lebih sering
tidur dengan neneknya. Malam ini mungkin ibunya sedang bergumul dengan lelaki
lain.
Mantan
istrinya bekerja sebagai sekretaris di sebuah bank swasta. Sudah setahun ia
berpisah dengan istrinya. Ia ceraikan istrinya karena beberapa kali terpergok
satu mobil dengan lelaki lain. Namun, istrinya selalu mengelak setiap kali
Dampar menuntut pengakuan jujurnya. Istrinya selalu membela diri bahwa lelaki
itu atasannya dan kepergiannya untuk urusan kantor. Beberapa kali mereka harus
bertengkar memperdebatkan hal itu. Dampar tidak bisa memahami, urusan kantor macam
apa malam hari? Biasanya, sehabis bertengkar istrinya akan berurai air mata,
dan segera setelah itu ngambek dan mengadu pada orang tuanya. “O, neraka macam
apa yang sedang kumasuki ini?” gerutu Dampar suatu kali.
Dampar
menikahi perempuan itu bukan lantaran cinta. Ia tidak mencintainya. Begitu pun
perempuan itu. Mereka berkenalan pada sebuah pesta. Bodoh juga, kenapa Dampar
harus berkenalan dengannya. Saat itu, Dampar setengah mabuk. Dalam pandangan
matanya yang mabuk, perempuan itu adalah segalanya. Tubuhnya meliuk-liuk indah
seirama hentakan musik pada pesta. Karena tak tahan, Dampar mencoba merayunya dan mengajaknya kencan. Dan
anehnya, dengan senang hati perempuan itu menerima ajakan iseng Dampar. Dampar
kaget sendiri karena sebelumnya ia tidak pernah berani sekurang ajar itu pada
perempuan yang baru dikenalnya. Mungkin itu berkah dari alkohol, pikirnya.
Maka boleh dibilang, pernikahan
mereka bermula dari keisengan sepasang manusia yang dimabuk birahi. Saat itu,
tubuh mereka benar-benar saling menginginkan. Mereka pun melakukannya dengan
sukarela dan senang hati. Dampar mulai panik ketika menyadari ada nafas baru
dalam perut perempuan itu. Mereka pun terpaksa menikah. Ternyata, pernikahan
tidak senikmat perkawinan. Bayi mereka lahir. Dan pernikahan mereka terus saja
diwarnai pertengkaran. Mungkin Dampar terlalu pencemburu, atau istrinya yang
mudah mengumbar birahi dengan lelaki lain. Entahlah. Yang jelas, mereka cerai
dan anak malang itu terlantar
Beberapa
hari setelah cerai, Dampar merasa merdeka sekali, bebas dari neraka jahanam
pernikahan. Apalagi ibunya bersedia mengasuh anak malang itu. Namun kekosongan
perasaan mulai menyerangnya seiring bulan berganti bulan. Ia memerlukan semacam
kasih sayang, terlebih lagi kebutuhan purba yang perlu dilampiaskan, tentu
dengan perasaan cinta. Untuk hal itu, Tuhan yang baik hati telah mengirimkan
Mita padanya, tepat pada saat-saat yang sangat rawan. Maka begitulah, hari demi
hari dilaluinya bersama Mita, tanpa tali pernikahan yang mengikat mereka.
Dampar merasa tidak memerlukan tali itu lagi. Ia masih trauma dengan
pernikahan.
Malam telah begitu larut. Pening
kepala Dampar mulai berkurang. Tapi ia masih merindukan sebotol bir. Alangkah
nikmatnya dinihari yang dingin dengan bir hangat mengalir di kerongkongan.
Beruntung kota itu masih menyediakan beberapa kafe yang buka sampai menjelang
pagi. Dampar mampir ke kafe tempat ia dulu bertemu dengan Mita.
Suara musik
hingar bingar menyambutnya saat ia memasuki pintu kafe. Beberapa pengunjung
masih setia pada mejanya, tentu dengan botol-botol bir dan perempuan genit yang
bermanja-manja. Ia duduk di sudut kafe yang remang itu. Ada kenikmatan
tersendiri menyaksikan tingkah para pengunjung dan pelayan kafe. Tawa cekikikan
dan desah manja serta gurauan nakal mereka merupakan seni tersendiri dalam
kehidupan malam. Sejenak segala beban yang memenuhi benak Dampar sirna entah ke
mana.
Namun
beberapa saat kemudian, beban yang tadi menguap kembali memenuhi benaknya.
Beban tersebut tiba-tiba saja menggumpal dan bertambah berat. Hampir saja ia
berteriak memanggil Mita ketika dilihatnya wanita itu keluar dari kafe menuju
parkiran. Rasa kecewa dan sakit hati menyerangnya ketika disadari Mita tidak
sendirian. Dia berangkulan dengan seorang lelaki perlente.
Dengan kesabaran seorang yang terlalu
lama ditimpa kemalangan cinta, mata Dampar dengan tenang mengikuti punggung
mereka sampai lenyap ke dalam mobil sedan. Sepintas dilihatnya wajah Mita penuh
luapan kegembiraan. Lelaki itu pun memamerkan senyum bangga. Perlahan Dampar
menghembuskan asap rokoknya dan meneguk bir dengan nikmat. Dampar merasa takjub
sendiri, karena seingatnya belum pernah ia merasa setenang itu.
Dampar memikirkan sebuah rencana. Besok malam
ketika Mita sedang nyenyak dalam mimpi indah di rumah kontrakannya, ia akan
menjerat leher mulus itu. O, leher itu! Leher jenjang yang tak pernah jenuh dijelajahinya dengan segala
birahi, betapa akan membiru! Dan, lidah yang manis dan hangat itu akan menjulur
indah. Dan, mata yang sayu itu akan membelalak penuh tanda tanya, mungkin ada
sedikit cahaya cinta dari sana.
Dampar
tersenyum kecil. Sebuah rencana telah matang di kepalanya. Ia meneguk bir dalam
gelas sampai tandas. Perlahan ia menyeka buih-buih bir di sekitar bibirnya.
Kemudian ia beranjak pulang. Ia memerlukan sedikit tidur...***
Denpasar, 2002
(Bali Post, 22 Pebruari 2004)
No comments:
Post a Comment