Labels

Thursday, 20 October 2011

Pulang

cerpen: Wayan Sunarta


            Udara gemetar dingin. Aroma tanah basah. Daun-daun tua yang digugurkan angin memenuhi jalan. Gerimis masih terasa derainya. Lampu-lampu merkuri sepanjang jalan bersinar muram. Sebagian besar penghuni kota telah nyenyak di bawah selimut tebal.
Satu dua motor berlalu menyalip motor yang ditunggangi Dampar. Hanya motor tua, seringkali mogok bila terguyur hujan. Lajunya juga tidak kencang. Ia betulkan letak spion seraya mengaca sepintas-pintas. Pada spion ia menemukan wajah yang kusut dan nampak letih.
            "Tidur di sini saja, Mas." Kembali Dampar terkenang bujukan manja itu. Ia  tidak tahu mengapa ia menolak tawaran Mita. Sesungguhnya terlalu indah untuk ditolak. Padahal, hampir bisa dipastikan lelaki lain akan sangat bersyukur dengan tawaran seperti itu, apalagi di malam yang bergerimis.
"Lebih dari tiga botol bir kamu habiskan sendiri. Aku khawatir kamu tidak kuat naik motor. Lebih baik tidur di sini saja!" Sesungguhnya rangkaian kata-kata yang tumpah dari mulut mungil itu bagai air es yang menyiram kepala Dampar yang pening. Tapi entah mengapa saat itu ia ingin pulang.
Malam makin dingin. Dampar membetulkan letak sweter yang melingkari lehernya. Sengaja ia tidak mengenakannya agar udara dingin menjaga kesadarannya. Seekor anjing pincang menyeberang jalan. Mendadak ia menginjak rem. “Anjing sialan!” umpatnya seraya mengoper gigi motornya.
            "Tidak biasanya kamu seperti ini, Mas. Malam ini kamu aneh sekali. Kamu punya yang baru, ya?" Dampar agak tersinggung dengan buntut kalimat itu. Memang, malam ini untuk pertama kalinya ia menolak tawaran Mita untuk menginap di rumah kontrakannya. Biasanya tak dibiarkannya malam lewat begitu saja tanpa Mita. Minum bir, merokok, bercakap-cakap sambil mendengar musik klasik. Ya, malam ini ia telah menolak ajakan Mita. Wajar saja kalau Mita kecewa melihat tingkahnya yang berubah tiba-tiba.
            "Kita minum lagi, ya?" Kalimat ajakan itu lebih bermaksud untuk mencoba menahan Dampar agar tidak pulang. Dampar merasa pengaruh alkohol telah menjalar ke seluruh aliran darahnya. Mestinya sepasang insan itu telah bergumul malam ini, dan tidur pulas sampai agak siang.
            "Maaf, Mita, aku harus pulang. Malam ini juga!" Sekilas Dampar merasakan gurat kekecewaan pada wajah bersih perempuan itu. Malam ini Mita nampak lebih cantik dari biasanya. Seakan selalu saja terdapat selubung rahasia yang belum sempat diungkap Dampar pada wajah itu. Tetapi ia harus pulang.
Sebetulnya sudah lama Dampar kenal dengan Mita. Perempuan itu teman kuliahnya dulu. Tapi sejak tamat kuliah, hampir dua tahun mereka tidak pernah ketemu, meski tinggal di kota yang sama. Pertemuan mereka tiga bulan lalu bisa disebut sebagai suatu kebetulan yang indah. Saat itu mereka bertemu di sebuah kafe yang biasa dikunjungi anak-anak muda di kota itu. Mita bercerita bahwa ia bekerja di sebuah kantor swasta. Namun yang membuat Dampar heran, dari mana Mita memperoleh kebiasaan minum bir dan merokok? Seingatnya, ketika kuliah dulu, Mita termasuk mahasiswi pintar, alim dan tidak banyak tingkah. Ternyata perubahan begitu cepat menyerang manusia, pikirnya.
Sejak pertemuan di kafe itu, Dampar menjadi rajin melamunkan Mita. Ketika awal-awal kuliah dulu, ia pernah mencoba memacarinya. Namun Mita menolak dengan alasan sudah mempunyai pacar. Akhirnya kesempatan itu terbuka lebar justru ketika Dampar telah melupakannya. Pada pertemuan yang indah di kafe, Mita mengaku sudah lama putus dengan pacarnya. Sejak itu, Dampar pun rajin berkunjung ke rumah kontrakan Mita.
            Jalanan basah. Udara masih gemetar dingin. Dampar merasa motor tuanya  makin lambat saja lajunya.
            "Mas, apa yang kamu pikirkan?" Mita mengepulkan asap rokok putihnya. Ada semacam perasaan cemas pada pancaran matanya. Dampar menenggak bir dalam gelas. Bulan di langit tertutup awan kelabu.
            "Tidak apa-apa, Mita. Aku harus pulang sekarang."
            "Mas tidak mau menemani aku malam ini?" Mita mengalungkan lengannya yang mulus pada leher lelaki itu. Dampar merasakan hembusan nafas Mita hangat di pipinya. Perlahan ia melepas pelukan perempuan itu. Kembali wajah Mita menyiratkan kekecewaan.
            "Bukan begitu, Mita. Ada suatu hal yang membuat aku harus pulang."
            "Ada apa sih, Mas?" Mita memang sungguh sangat perhatian pada Dampar. Selalu saja ada hal-hal kecil yang tidak luput dari perhatian perempuan itu. Misalnya, dengan tangannya yang lembut, Mita suka mengusap buih-buih bir di sekitar bibir Dampar. Saat-saat seperti  itu, Dampar merasa jadi bocah kembali.
            "Maaf, Mita. Ini bukan urusanmu."
            "Mas menganggap aku ini siapa? Bukankah aku kekasihmu?"
            "Aku sayang kamu, Mita. Tetapi…"
            "Tetapi, Mas harus pulang. Begitu, kan? Aku menginginkanmu malam ini, Mas!"
            Terkadang memang susah menjelaskan sesuatu pada perempuan. Apalagi kalau sesuatu itu menyangkut masalah perasaan. Dan parahnya, Dampar termasuk lelaki yang suka memendam perasaan. Ia jarang mau bercerita masalah yang dipikirkannya, termasuk dengan kekasihnya sendiri. Akibatnya, Mita terkadang diliputi prasangka, merasa bersalah, dan menganggap Dampar penuh teka-teki, meski tubuh bukan rahasia lagi.
Saat itu, Dampar segera menghidupkan motor bututnya, meninggalkan Mita yang terheran-heran di depan pintu kamarnya. “Biarlah dia memakiku. Biarlah dia menganggapku lelaki kejam,” gumam Dampar seraya memacu motornya.
            Udara masih gerimis. Seekor kucing hitam menyeberang jalan. Dampar kaget dan buru-buru menginjak rem. Hampir saja ia menabrak kucing sialan itu!
            Dampar ingin buru-buru pulang. Tiba-tiba saja ia merasa kangen dengan anaknya. O, bocah yang malang, pikirnya. Sejak ditinggal ibunya, bocah itu lebih sering tidur dengan neneknya. Malam ini mungkin ibunya sedang bergumul dengan lelaki lain.
            Mantan istrinya bekerja sebagai sekretaris di sebuah bank swasta. Sudah setahun ia berpisah dengan istrinya. Ia ceraikan istrinya karena beberapa kali terpergok satu mobil dengan lelaki lain. Namun, istrinya selalu mengelak setiap kali Dampar menuntut pengakuan jujurnya. Istrinya selalu membela diri bahwa lelaki itu atasannya dan kepergiannya untuk urusan kantor. Beberapa kali mereka harus bertengkar memperdebatkan hal itu. Dampar tidak bisa memahami, urusan kantor macam apa malam hari? Biasanya, sehabis bertengkar istrinya akan berurai air mata, dan segera setelah itu ngambek dan mengadu pada orang tuanya. “O, neraka macam apa yang sedang kumasuki ini?” gerutu Dampar suatu kali.
            Dampar menikahi perempuan itu bukan lantaran cinta. Ia tidak mencintainya. Begitu pun perempuan itu. Mereka berkenalan pada sebuah pesta. Bodoh juga, kenapa Dampar harus berkenalan dengannya. Saat itu, Dampar setengah mabuk. Dalam pandangan matanya yang mabuk, perempuan itu adalah segalanya. Tubuhnya meliuk-liuk indah seirama hentakan musik pada pesta. Karena tak tahan, Dampar mencoba  merayunya dan mengajaknya kencan. Dan anehnya, dengan senang hati perempuan itu menerima ajakan iseng Dampar. Dampar kaget sendiri karena sebelumnya ia tidak pernah berani sekurang ajar itu pada perempuan yang baru dikenalnya. Mungkin itu berkah dari alkohol, pikirnya.
Maka boleh dibilang, pernikahan mereka bermula dari keisengan sepasang manusia yang dimabuk birahi. Saat itu, tubuh mereka benar-benar saling menginginkan. Mereka pun melakukannya dengan sukarela dan senang hati. Dampar mulai panik ketika menyadari ada nafas baru dalam perut perempuan itu. Mereka pun terpaksa menikah. Ternyata, pernikahan tidak senikmat perkawinan. Bayi mereka lahir. Dan pernikahan mereka terus saja diwarnai pertengkaran. Mungkin Dampar terlalu pencemburu, atau istrinya yang mudah mengumbar birahi dengan lelaki lain. Entahlah. Yang jelas, mereka cerai dan anak malang itu terlantar
            Beberapa hari setelah cerai, Dampar merasa merdeka sekali, bebas dari neraka jahanam pernikahan. Apalagi ibunya bersedia mengasuh anak malang itu. Namun kekosongan perasaan mulai menyerangnya seiring bulan berganti bulan. Ia memerlukan semacam kasih sayang, terlebih lagi kebutuhan purba yang perlu dilampiaskan, tentu dengan perasaan cinta. Untuk hal itu, Tuhan yang baik hati telah mengirimkan Mita padanya, tepat pada saat-saat yang sangat rawan. Maka begitulah, hari demi hari dilaluinya bersama Mita, tanpa tali pernikahan yang mengikat mereka. Dampar merasa tidak memerlukan tali itu lagi. Ia masih trauma dengan pernikahan.
Malam telah begitu larut. Pening kepala Dampar mulai berkurang. Tapi ia masih merindukan sebotol bir. Alangkah nikmatnya dinihari yang dingin dengan bir hangat mengalir di kerongkongan. Beruntung kota itu masih menyediakan beberapa kafe yang buka sampai menjelang pagi. Dampar mampir ke kafe tempat ia dulu bertemu dengan Mita.
            Suara musik hingar bingar menyambutnya saat ia memasuki pintu kafe. Beberapa pengunjung masih setia pada mejanya, tentu dengan botol-botol bir dan perempuan genit yang bermanja-manja. Ia duduk di sudut kafe yang remang itu. Ada kenikmatan tersendiri menyaksikan tingkah para pengunjung dan pelayan kafe. Tawa cekikikan dan desah manja serta gurauan nakal mereka merupakan seni tersendiri dalam kehidupan malam. Sejenak segala beban yang memenuhi benak Dampar sirna entah ke mana.
            Namun beberapa saat kemudian, beban yang tadi menguap kembali memenuhi benaknya. Beban tersebut tiba-tiba saja menggumpal dan bertambah berat. Hampir saja ia berteriak memanggil Mita ketika dilihatnya wanita itu keluar dari kafe menuju parkiran. Rasa kecewa dan sakit hati menyerangnya ketika disadari Mita tidak sendirian. Dia berangkulan dengan seorang lelaki perlente.
Dengan kesabaran seorang yang terlalu lama ditimpa kemalangan cinta, mata Dampar dengan tenang mengikuti punggung mereka sampai lenyap ke dalam mobil sedan. Sepintas dilihatnya wajah Mita penuh luapan kegembiraan. Lelaki itu pun memamerkan senyum bangga. Perlahan Dampar menghembuskan asap rokoknya dan meneguk bir dengan nikmat. Dampar merasa takjub sendiri, karena seingatnya belum pernah ia merasa setenang itu.
             Dampar memikirkan sebuah rencana. Besok malam ketika Mita sedang nyenyak dalam mimpi indah di rumah kontrakannya, ia akan menjerat leher mulus itu. O, leher itu! Leher jenjang yang  tak pernah jenuh dijelajahinya dengan segala birahi, betapa akan membiru! Dan, lidah yang manis dan hangat itu akan menjulur indah. Dan, mata yang sayu itu akan membelalak penuh tanda tanya, mungkin ada sedikit cahaya cinta dari sana.
            Dampar tersenyum kecil. Sebuah rencana telah matang di kepalanya. Ia meneguk bir dalam gelas sampai tandas. Perlahan ia menyeka buih-buih bir di sekitar bibirnya. Kemudian ia beranjak pulang. Ia memerlukan sedikit tidur...***


Denpasar, 2002


(Bali Post, 22 Pebruari 2004)

No comments:

Post a Comment