cerpen : Wayan Sunarta
Pantai Kuta. Malam
Minggu. Hampir jam delapan. Beberapa pasangan kekasih asyik bercumbu. Pasir
masih menyisakan hangat matahari senja.
“Dika,
tolong antar aku ke Legian, ya.”
Dengan
perasaan berdebar lelaki gondrong itu menatap mata biru Birgit yang bagai
lautan musim panas. Dalam mata itu, terbayang kamar hotel yang sederhana, namun
hangat. Birgit mengambil bir dari kulkas. Minum bersama sambil bercengkerama
sampai sedikit mabuk. Kemudian, dengan kepala agak berdenyut, wanita putih
berusia 23 tahun itu melepas gaun. Mata biru yang sayu dan penuh gairah itu
menghunjam bola matanya yang tiba-tiba saja mau meloncat dari cangkangnya. Lalu
wanita yang dikarunia pinggul bagus itu melorotkan celana. Lalu menerkam dengan
buas. Berguling-gulingan di kasur empuk. Saling pagut dalam aroma alkohol. Lalu
terjadilah apa yang seharusnya terjadi! Bukankah malam ini adalah malam
perpisahan? Besok siang, sesuai agenda, Birgit sudah harus terbang ke Jerman.
“Tadi
aku terima SMS dari kawan lamaku. Orang Jerman juga. Ia lagi liburan di Kuta,
dan malam ini ingin bertemu denganku di sebuah club di Legian,” jelas Birgit,
seakan paham alur pikiran Si Gondrong. Dika menyedot dalam-dalam rokok
kreteknya. Ia malu pada dirinya sendiri. Tanpa berkata-kata, ia menggandeng
Birgit menuju parkiran, dan kemudian memacu motor bututnya menuju Legian.
“Sorry,
Dika! Apa aku telah menyinggung perasaanmu?”
“Tidak.
No problem, Birgit. Aku tidak apa-apa!”
Dalam hati, Dika sebenarnya kecewa karena khayalannya
berantakan. Ia pun tidak berani bertanya apakah kawan lama yang akan ditemui
Birgit itu seorang lelaki? Selama ini Si Gondrong yang mudah jatuh cinta itu
memang belum pernah menanyakan sesuatu yang sangat pribadi pada Birgit. Tapi ia
merasa Birgit telah memberikan beberapa sinyal yang mengarahkan khalayannya
menjadi kenyataan.
Sambil
menunggang motor bututnya, kepala Dika dipenuhi kenangan demi kenangan bersama
Birgit. Ia terkenang pertemuan pertamanya seminggu lalu ketika ia harus
menguras tenaga menyusuri beberapa ruas jalan di Kuta, mencari alamat hotel
tempat Birgit menginap. Alamat yang diberikan Birgit lewat SMS itu tidak begitu
jelas. Sedangkan nama jalan lokasi hotel itu juga tidak begitu dikenal oleh
Dika. Lelaki yang selalu mengenakan jaket kulit lusuh dan mengendarai motor
butut itu, memang tidak begitu akrab dengan nama jalan-jalan di Kuta. Baginya,
Kuta terlalu sumpek, ruwet, macet dan tidak lapang lagi.
Setelah
beberapa kali kontak lewat ponsel, akhirnya Dika berhasil menemui alamat yang
dicari. Dengan sabar, dan tentu saja sambil mengepulkan asap rokok kreteknya,
Si Gondrong menunggu di lobbi hotel kelas melati itu. Beberapa menit kemudian,
seorang wanita pirang diantar staf hotel, menghampirinya. Dika buru-buru
berdiri dan merapikan rambutnya yang agak awut-awutan.
“Apakah Anda Birgit yang dari Jerman?” Dika berusaha
membetulkan posisi lidahnya agar Bahasa Inggris yang keluar tidak belepotan.
“Ya.
Saya Birgit. Apakah Anda yang bernama Dika, kawan Anggi?” Di luar dugaan,
wanita anggun itu menjawab dan balik bertanya dengan Bahasa Indonesia yang
lumayan lancar. Si Gondrong merasa malu sendiri setelah menyadari bahwa bule
yang dihadapinya bukan wanita sembarangan.
Memang,
sebelumnya Dika tidak pernah bertemu muka dengan Birgit. Informasi tentang wanita
bule sintal itu hanya didapatnya via email dari Anggi, kawannya yang sedang
menempuh studi di Jerman. Anggi adalah sahabat akrab Birgit di Jerman. Dan
karena Birgit mengunjungi Bali untuk keperluan penelitian sastra yang berkaitan
dengan disertasinya, maka Anggi merekomendasikan Dika sebagai guide yang bisa
dipercaya.
Begitulah.
Setelah menyepakati beberapa agenda perjalanan, keesokan harinya, dengan motor
butut, Si Gondrong mengantar dan memandu Birgit ke beberapa tempat yang harus
dikunjunginya, terutama menemui seorang novelis perempuan terkenal untuk
keperluan wawancara. Selama menjadi pemandu, Dika banyak bicara tentang sastra
dan dunia kesusastraan di Bali. Dan tentu saja informasi seperti itulah yang
disukai Birgit karena berkaitan dengan objek penelitiannya. Apalagi setelah
mengetahui bahwa Si Gondrong juga seorang penyair berpengaruh di Bali.
Di
sela-sela kesibukan melakukan wawancara, Dika juga menemani Birgit jalan-jalan,
terutama ke Pantai Sanur dan Ubud. Tapi lebih sering mereka nongkrong-nongkrong
di Pantai Kuta, makan jagung bakar sambil meratapi matahari terbenam. Birgit
sangat menyukai pantai. Dia suka berenang-renang, bermain pasir, membuat
candi-candian seperti anak kecil. Si Gondrong pun dengan setia menemaninya,
karena ia juga menyukai pantai. Kalau tidak ke pantai, mereka biasanya
menghabiskan waktu luang dengan nongkrong di Lapangan Renon, tentu sambil
ngunyah jagung bakar. Dan kesukaan Birgit makan jagung bakar itulah yang
semakin meyakinkan Si Gondrong bahwa wanita yang cukup cerdas itu sangat
bersahaja.
Beberapa
hari bersama-sama telah memunculkan perasaan aneh yang melingkupi hati Si
Gondrong. Semacam perasaan takut berpisah, semacam perasaan ingin melindungi,
dan sebagainya Diam-diam Birgit pun mengalami perasaan yang serupa. Kemesraan
mereka semakin mempertegas bahwa pada hamparan hati mereka telah bersemi
benih-benih cinta, atau semacamnya. Meski tidak ada kata-kata cinta yang
meluncur dari salah satu bibir yang memeram beribu hasrat itu.
“Cari
jagung bakar yuk” ajak Birgit.
“Di
lapangan Renon lagi?”
“Ya.
Sambil tidur-tiduran di rumput memandang bintang.”
“Ayo. Let’s go!”
Mereka
pun menunggang motor butut menuju Lapangan Renon. Seperti biasa, sambil ngunyah
jagung bakar, mereka ngobrol tentang kesusastraan. Tidak ada kata-kata cinta,
rayuan gombal, atau sejenisnya. Si Gondrong berusaha menjaga reputasinya
sebagai guide, meski guide dadakan, kalau tidak boleh disebut liar. Sementara
itu, saat hari-hari terakhirnya di Bali, Birgit memang ingin mengetahui lebih
banyak lagi dunia kesusastraan di Bali. Dan, Dika pun dengan lagak seorang
profesor kesusastraan sangat antusias meladeni berbagai pertanyaan Birgit.
Di Lapangan
Renon, malam itu, beberapa pasangan asyik masyuk memadu kasih di tempat-tempat
yang agak gelap. Birgit tersenyum kecil memperhatikan pasangan-pasangan muda
itu. Dia teringat anak-anak muda di negaranya yang juga suka berpacaran di
tempat-tempat gelap. Kemudian agak malu-malu dia lebih merapatkan duduknya pada
Si Gondrong, yang segera setelah itu memeluk Birgit dengan perasaan
berdebar-debar.
***
Sebetulnya
Dika malas pergi ke Legian. Karena ia tahu akan berhadapan dengan kemacetan dan
kebisingan yang meletihkan. Jangankan malam minggu, malam-malam biasa saja,
Legian selalu dipenuhi berbagai pelancong dari berbagai jenis warna kulit yang
haus hiburan malam. Apa sih menariknya Legian? Si Gondrong lebih suka
seandainya Birgit langsung mengajaknya pulang ke hotel. Tentu saja untuk
menikmati malam perpisahan, minum bir, bercengkerama, dan kalau berkenan:
bercinta…!
Seperti
biasa, malam Minggu, Jalan Legian padat dengan para pelancong yang lalu lalang.
Badan jalan yang tidak begitu lebar itu dipenuhi mobil dan motor yang bergerak
merangkak. Macet sekali. Belum lagi mobil-mobil pribadi yang parkir sembarangan
di kanan kiri jalan. O, Legian yang bising. Deru knalpot dan klakson kendaraan
bercampur aduk dengan hentakan musik hingar bingar dari pub, club dan diskotik yang berjejer di kanan kiri
jalan.
Setelah
memarkir motor di tempat yang aman, Si Gondrong menggandeng tangan Birgit
berjalan menyusuri Legian, dari utara ke selatan. Meski mereka nampak seperti
pengantin baru yang sedang berbulan madu, sesungguhnya Dika merasa tersiksa
terjebak dalam suasana hingar bingar seperti itu. Tapi kali ini ia harus rela
dan mengalah. Ia tidak ingin mengecewakan Birgit yang diam-diam dicintainya
itu.
Lelah
menyusuri jalan, Birgit menghentikan langkahnya di depan sebuah club elit yang
konon hanya boleh dikunjungi turis-turis asing saja.
“Dika,
aku harus menemui kawan lamaku di club ini. Kami janjian di sini.”
“Aku
boleh ikut masuk”
“Why
not? Tidak apa-apa kok. Ia hanya kawan biasa.”
Mendengar
pengakuan yang diharap-harapkannya itu, wajah Si Gondrong seketika sumringah.
Itu artinya ia masih memiliki harapan untuk menyatakan perasaannya kepada
Birgit. Perasaan yang selama sekian hari hanya mampu diperamnya dalam hati.
Namun, sial, belum sempat melangkah lebih jauh, ia telah dicegat oleh dua
security berbadan kekar.
“Mas
sebaiknya tunggu di luar saja! Club ini khusus untuk tamu asing,” ujar seorang
yang badannya paling kekar.
“Tapi
saya harus menemaninya. Saya kawannya, bukan guide!”
“Ya.
Tapi aturan di sini memang begitu, Mas. Maaf, kami hanya menjalankan tugas.”
Dengan
perasaan kecewa dan terhina, Si Gondrong terpaksa mundur. Sekilas ia masih bisa
melihat wajah Birgit yang keheranan dan tidak mengerti dengan perlakuan penjaga
yang diskriminatif itu. Namun dia tidak bisa berbuat banyak, sebab dia harus
segera menemui kawan lamanya dalam club.
“I
am Sorry, Dika,” ujar Birgit lirih. Nampak sekali kekecewaan pada wajahnya.
“Tidak
apa-apa, Birgit. Kalau urusanmu sudah selesai, tolong segera telpon aku agar
bisa secepatnya menjemputmu. Aku mau nongkrong di pantai saja. Sumpek di sini!”
“Thanks, Dika!”
***
Sambil
menikmati udara pantai, Si Gondrong menghisap kreteknya. Entah berapa batang
kretek telah disedotnya sejak tadi. Ponsel di saku jaket lusuhnya belum juga
berbunyi. Beberapa kali ia mencoba menelpon Birgit, namun ponselnya ternyata
tidak diaktifkan. Dika mulai gelisah. Dari wajahnya kelihatan ia sibuk bergulat
dengan pikirannya.
Apa
saja yang dikerjakan Birgit dengan kawannya itu? Lama betul dia di sana! Kenapa
dia belum menelpon? Jangan-jangan dia mabuk, lalu berjingkrak-jingkrak
mengikuti irama musik yang menghentak-hentak. Atau asyik bercumbuan sambil
ketawa-ketawa di sudut club yang remang. Dasar wanita bule, semuanya sama saja!
Dika sangat dongkol. Batinnya berkecamuk. Ia menyedot kreteknya dalam-dalam
kemudian menghembuskan asapnya kuat-kuat.
Debur
ombak Pantai Kuta bersahut-sahutan dalam kelam malam. Sayup-sayup terdengar
buih berbisik-bisik, seakan ingin menyampaikan sesuatu.
Si Gondrong
tidak begitu mempedulikan panggilan debur ombak atau pun bisikan buih. Ia
merasa sangat terhina. Ia masih tidak habis pikir mengapa club itu menolak tamu
pribumi? Mengapa hanya orang asing yang boleh masuk? Apa anjing-anjing penjaga
itu mengira pribumi tidak sanggup membayar? Ia sangat tersinggung dengan
perlakuan diskriminatif yang diterimanya.
“Kalau aku
bisa bikin bom, sudah kuledakkan club brengsek itu!” gerutu Si Gondrong dengan
hati masih panas menyala. Namun gerutuannya hanya membentur debur ombak.
Dika memeriksa
penunjuk waktu pada ponselnya. Sialan, lama sekali wanita itu! Sebenarnya ia
tidak terlalu bermimpi nongkrong dalam club itu. Hanya saja ia harus menemani
Birgit. Sebagai guide dadakan ia merasa bertanggung jawab kalau terjadi suatu
hal yang menimpa tamu istimewa yang diam-diam dicintainya itu. Tapi agaknya
bukan itu alasan utamanya. Ia merasa telah memiliki Birgit, dan tidak bisa
berpisah dengannya, apalagi melepaskannya untuk bertemu dengan lelaki lain.
Ketika sedang
hanyut dengan pikirannya, tiba-tiba Si
Gondrong dikejutkan suara gelegar guntur. Ia merasa pasir bergeser dan ombak
membuncah-buncah seperti panik. Selang beberapa menit suara guntur itu kembali
menggelegar dan membuat bumi bergetar hebat. Bukan, bukan guntur! Tapi suara
ledakan gardu listrik! Tapi bukan…
Dika mencari
arah sumber ledakan. Dan betapa kagetnya ia ketika menyaksikan langit di timur
merah menyala disertai asap hitam tebal.
“Kebakaran!”
teriaknya spontan.
Orang-orang
yang ditemui Dika juga nampak kaget dan panik.
“Gardu listrik
meledak!”
“Legian
terbakar!”
“Bukan gardu
listrik! Itu ledakan bom!”
“Bom!? Di Kuta
ada bom!?”
“Sari Club
meledak!”
Langit masih
merah menyala. Beberapa dentuman kecil semakin membuat pucat pasi wajah Si
Gondrong. Ia teringat Birgit. Secepat kilat ia melesat menyambar motor bututnya
dan ngebut menuju Jalan Legian. Dalam hati, ia masih belum bisa percaya bom
telah meledak di Kuta.
Memasuki
Jalan Legian yang macet dan dipenuhi orang-orang panik yang berlarian tak tentu
arah dan berlomba menyelamatkan diri, Dika merasa melewati neraka jahanam.
Mayat-mayat tak berbentuk bergelimpangan. Mayat gosong yang masih mengepulkan
asap. Mayat tanpa kepala. Mayat dengan dada koyak, isi perut terburai. Mayat
yang nyangkut di tiang listrik. Potongan tangan, kaki, kepala. Isi perut, isi
dada, otak berceceran, darah dimana-mana. Mobil-mobil ringsek, terbakar,
hangus. Para penumpang yang gosong bersama mobilnya. Sopir taxi dengan dada
koyak. Jerit histeris pelacur jalanan yang menyaksikan kakinya tiba-tiba
buntung, tangis ketakutan anak-anak gelandangan, jerit menyayat seorang lelaki
mendekap mayat kekasihnya yang setengah hangus, teriak kesakitan pengendara
motor yang matanya tertancap pecahan kaca, darah, darah, darah…Ya. Legian telah
menjelma neraka pada malam paling jahanam sepanjang sejarah malam di Kuta.
Dika tidak
sanggup lagi mengendarai motornya. Ia panik, ngeri, takut, cemas, marah,
dendam, kesal, muak, murka. Pikirannya kacau balau seperti suasana Jalan Legian
yang carut marut! Akhirnya, Si Gondrong jatuh tersungkur di tepi jalan yang
dipenuhi ceceran darah, isi perut, lelehan otak, potongan dan serpihan
bagian-bagian tubuh manusia.
***
Sementara itu,
Bandara Ngurah Rai dipenuhi turis-turis panik yang bergegas ingin segera
meninggalkan Bali. Birgit duduk lemas di lantai dan bersandar pada sebuah
pilar, berkali-kali bibirnya gemetar menyebut nama Tuhan. Dia selamat dari
malapetaka mengerikan itu karena kawan lamanya tiba-tiba membatalkan janji. Dan
segera setelah itu dia kebingungan mencari Si Gondrong di Pantai Kuta yang luas
itu.
Wajah Birgit
yang putih-pucat semakin pucat. Dengan tangan masih gemetar dia berulang-ulang
memencet-mencet ponselnya, berusaha keras menghubungi Si Gondrong yang terkapar
pingsan di tepi Jalan Legian.***
No comments:
Post a Comment