Labels

Thursday, 20 October 2011

Aryati

cerpen : Wayan Sunarta


            Lagu dangdut mengalun lirih. Lampu di ruang itu menyala temaram. Aku duduk di sudut remang. Sebotol bir hitam di meja dan rokok kretek kukepit di jari tangan. Malam minggu kulalui bersama uap alkohol dan rayuan-rayuan manja perempuan penjaja cinta. Mungkin dengan cara ini aku bisa mengobati luka batin dan kesepian-kesepianku. Sudah hampir lima tahun aku meninggalkan rumah keparat itu. Walau aku selalu merasa rindu untuk pulang, terutama rindu pada Ibu, namun perasaan itu berusaha kutepis.
            Setiap aku memikirkan kampung halaman, selalu saja bermunculan rindu dendam pada jiwaku. Ayah yang pemabuk. Ibu yang sakit-sakitan. Adik perempuanku yang berangkat remaja. Seribu rindu dendam bergumul dalam batinku.
            Bagaimana nasib Ibu saat ini? Bagaimana sekolah adik perempuanku? Sampai saat ini aku hanya memikirkan kedua perempuan yang sangat kucintai itu. Aku tidak peduli pada ayahku, pemabuk keparat itu.
            Mengingat Ayah serasa mengingat beribu keparat yang melubangi otakku. Sejak pertengkaran itu, sejak diusirnya aku dari rumah, sejak itulah rindu dan dendam menjadi satu dalam jiwaku. Sejak itu pula aku terlunta-lunta menyabung nasib sampai ke kota ini. Segala pekerjaan kasar telah kulakoni demi menyambung hidup di perantauan. Aku telah menjadi orang merdeka dan berusaha hidup dari tetesan keringatku sendiri.
            Kuteguk bir dalam gelas. Kuhembuskan asap rokok. Tawa cekikikan perempuan-perempuan itu terdengar sayup-sayup dalam keremangan. Lelaki hidung belang dengan mata jelalatan mondar-mandir mencari pasangan yang cocok dikencani.
            Seorang perempuan menghampiriku. “Boleh ditemani, Mas?”
            Aku mengisap rokok dalam-dalam. Terasa bau wangi dari tubuhnya, begitu menyengat hidungku. “Sebentar. Saya mau nongkrong dulu.”
            Setelah bosan merayu, perempuan itu pun pergi sambil menggerutu. Aku ketawa kecil dan maklum. Memang dalam setiap tempat seperti ini, para penjaja cinta bersaing ketat menggaet pelanggan. Begitulah kehidupan malam.
Para penjaja cinta itu mungkin tidak tahu bahwa tidak semua laki-laki yang nongkrong di tempat seperti ini berkeinginan kencan. Banyak juga yang hanya sekedar duduk-duduk melepas malam. Atau minum-minum sambil mengusir sepi. Atau ada juga mahasiswa yang datang ke tempat seperti ini untuk keperluan penelitian.
            Bir dalam gelas hampir tandas. Telah tiga botol kuhabiskan. Perasaanku mengatakan ada sepasang mata yang menatapku tajam-tajam dari sebuah sudut remang. Namun, aku bersikap acuh tidak acuh. Sangat biasa perempuan-perempuan di tempat seperti ini suka mengamati mangsanya. Aku minum sisa bir dalam gelas. Aku balas menatap perempuan di sudut remang itu. Dia kembali menatapku lekat-lekat. Aku penasaran dibuatnya. Tapi mengapa dia tidak menghampiriku seperti perempuan-perempuan lainnya? Mengapa dia hanya menatap dari sudut remang? Atau dia ingin aku yang lebih dulu menghampirinya? Baru kali ini aku dibuat penasaran dengan tingkah perempuan di tempat seperti ini. Biasanya aku nongkrong dan minum bir tanpa pernah mempedulikan mereka.
            Aku menghampiri perempuan itu. Aku duduk di sampingnya dan diam seribu bahasa. Dalam keremangan lampu aku dapat merasakan betapa kikuknya dia.
“Hai,” sapanya ramah dengan suara sedikit gemetar. Serasa jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya. Rasa-rasanya aku pernah akrab dengan nada suara itu. Entah di mana aku pernah mendengar suaranya.
Selama beberapa menit kami hanya berdiam diri. Aku ingin tahu siapa yang lebih kuat berdiam diri. Akhirnya, dengan suara masih gemetar ia menawarkan cinta kilatnya, seperti yang sudah kuduga.
            “Kita ngobrol di kamar aja, Mas?!”
            Serasa bulu tubuhku bergetar. Aku sepertinya pernah akrab dengan suara itu. Ya, itu seperti getar suara Aryati. Ah, tidak mungkin, aku menguatkan perasaanku.
            Aku tatap wajah perempuan itu lekat-lekat. Astaga. Wajah itu sangat mirip wajah Aryati yang beranjak remaja. Aku berusaha bertahan dengan pikiran sehatku. Tidak mungkin Aryati berada di tempat seperti ini. Mungkin aku sudah agak mabuk sehingga mata menjadi kabur melihat sesuatu.
            “Siapa namamu?” tanyaku. Perasaanku bergejolak.
            “Leli,” dia menjawab, berusaha setenang dan selembut mungkin.
            “Baru ya di sini?” aku berbasa-basi.
            “Sudah sebulan, Mas.”
            Perasaanku sudah agak tenang. Rinduku pada kampung, terutama pada adikku, sedikit terobati dengan menatap wajah Leli lekat-lekat.
            “Leli dari mana?” tanyaku agak penasaran.
Dan, betapa kagetnya aku, dia menyebut nama sebuah desa yang sangat kuakrabi, desa kelahiranku. Seribu rindu seribu dendam kembali bergemuruh dalam jiwaku. Kembali aku teringat Ibu, dan juga wajah adikku. Tiba-tiba saja dendamku pada Ayah kembali menguat.
            “Kenapa, Mas? Kok diam? Mas dari sana juga, ya?”
            “Ndak..ndak apa-apa. Ya, saya memang dari sana. Saya kangen dengan kampung,” ujarku. Rasa penasaran dan rindu pada kampung bertambah kuat menggelayuti jiwaku.
            Akhirnya, kuraih tangan Leli dan segera beranjak menuju kamar yang ditunjuknya. Kamar itu tidak begitu besar, namun rapi dan bersih. Agaknya dia sangat telaten merawat kamarnya, seperti adikku di kampung. Dandanan Leli juga tidak begitu norak, tidak seperti perempuan lainnya. Penampilannya  sangat sederhana.
            “Matikan lampu, ya?” Dia beranjak menuju tombol sakelar.
            “Biarkan saja terang. Aku takut gelap,” aku mencegah tangannya menekan sakelar di tembok. Bau tubuhnya begitu wangi dan asli.
            Dalam terang itu aku leluasa mengamati seisi kamar, dari sudut ke sudut. Foto-foto berjejer rapi di tembok. Foto dirinya. Foto bintang sinetron favoritnya.
            “Kamu suka bintang sinetron itu, ya?” tanyaku basa-basi. Dia mengangguk malu.
            “Adikku juga suka bintang sinetron itu,” ujarku sambil lalu. ”Dulu waktu masih di kampung, adikku selalu merengek-rengek minta dibelikan poster seperti itu.”
           Tanpa kusadari sejak tadi, mata Leli basah. Jangan-jangan aku telah menyinggung perasaannya. “Kamu kenapa? Maafkan bila aku menyinggung perasaanmu.”
            “Tidak apa-apa kok. Saya terharu, Mas begitu baik dan lembut seperti kakak saya.”
            “Kamu punya kakak?” tanyaku heran.
         Aku menatap Leli lekat-lekat. Dia betul-betul mirip Aryati. Bentuk dagunya, hidungnya, matanya, bibirnya. Oh, aku tak tega mengencani perempuan ini. Bayangan dan kenangan masa lalu kembali menggangguku. Kenangan yang begitu menyiksa yang selalu datang pada malam-malam sepiku.
      Entah mengapa Leli begitu percaya padaku. Tanpa kuminta, Leli bercerita tentang kehidupannya di masa lalu, mengapa dan bagaimana dia sampai terjerumus ke tempat ini. Aku serasa tidak percaya mendengar ceritanya. Aku kaget dan seperti mimpi.
            “Jadi, kamu Aryati?” aku tidak percaya. “Benarkah kamu Aryati?”
            “Ya, Mas. Saya Aryati. Berbulan-bulan saya mencari Mas. Saya mendengar kalau Mas sudah lama tinggal di kota ini. Ayah kawin lagi, Mas. Saya benar-benar kecewa dengan sikap Ayah. Saya putuskan untuk menyusul Mas ke sini, meski saya tidak tahu Mas berada di mana. Saya diantar tukang ojek dan akhirnya saya dibawa ke tempat ini. Sekarang saya bahagia bisa ketemu Mas. Maafkan saya, Mas....” Aryati memelukku dan menangis tiada henti.
            O, Tuhan, apakah aku mampu menerima kenyataan ini? Beribu rasa melanda batinku. Bahagia, rindu, sakit hati, marah bercampur jadi satu. Aku memeluk Aryati lebih erat, seakan aku tidak ingin melepaskannya lagi.
Di luar, malam berlalu seperti biasa.***
             

Denpasar, 1999


(Suara Pembaruan, 29 Mei 2005)

No comments:

Post a Comment