cerpen : Wayan Sunarta
Lagu
dangdut mengalun lirih. Lampu di ruang itu menyala temaram. Aku duduk di sudut
remang. Sebotol bir hitam di meja dan rokok kretek kukepit di jari tangan.
Malam minggu kulalui bersama uap alkohol dan rayuan-rayuan manja perempuan
penjaja cinta. Mungkin dengan cara ini aku bisa mengobati luka batin dan
kesepian-kesepianku. Sudah hampir lima tahun aku meninggalkan rumah keparat
itu. Walau aku selalu merasa rindu untuk pulang, terutama rindu pada Ibu, namun
perasaan itu berusaha kutepis.
Setiap
aku memikirkan kampung halaman, selalu saja bermunculan rindu dendam pada
jiwaku. Ayah yang pemabuk. Ibu yang sakit-sakitan. Adik perempuanku yang
berangkat remaja. Seribu rindu dendam bergumul dalam batinku.
Bagaimana
nasib Ibu saat ini? Bagaimana sekolah adik perempuanku? Sampai saat ini aku
hanya memikirkan kedua perempuan yang sangat kucintai itu. Aku tidak peduli
pada ayahku, pemabuk keparat itu.
Mengingat
Ayah serasa mengingat beribu keparat yang melubangi otakku. Sejak pertengkaran
itu, sejak diusirnya aku dari rumah, sejak itulah rindu dan dendam menjadi satu
dalam jiwaku. Sejak itu pula aku terlunta-lunta menyabung nasib sampai ke kota
ini. Segala pekerjaan kasar telah kulakoni demi menyambung hidup di perantauan.
Aku telah menjadi orang merdeka dan berusaha hidup dari tetesan keringatku
sendiri.
Kuteguk
bir dalam gelas. Kuhembuskan asap rokok. Tawa cekikikan perempuan-perempuan itu
terdengar sayup-sayup dalam keremangan. Lelaki hidung belang dengan mata
jelalatan mondar-mandir mencari pasangan yang cocok dikencani.
Seorang
perempuan menghampiriku. “Boleh ditemani, Mas?”
Aku
mengisap rokok dalam-dalam. Terasa bau wangi dari tubuhnya, begitu menyengat
hidungku. “Sebentar. Saya mau nongkrong dulu.”
Setelah
bosan merayu, perempuan itu pun pergi sambil menggerutu. Aku ketawa kecil dan
maklum. Memang dalam setiap tempat seperti ini, para penjaja cinta bersaing
ketat menggaet pelanggan. Begitulah kehidupan malam.
Para penjaja
cinta itu mungkin tidak tahu bahwa tidak semua laki-laki yang nongkrong di tempat
seperti ini berkeinginan kencan. Banyak juga yang hanya sekedar duduk-duduk
melepas malam. Atau minum-minum sambil mengusir sepi. Atau ada juga mahasiswa
yang datang ke tempat seperti ini untuk keperluan penelitian.
Bir
dalam gelas hampir tandas. Telah tiga botol kuhabiskan. Perasaanku mengatakan
ada sepasang mata yang menatapku tajam-tajam dari sebuah sudut remang. Namun,
aku bersikap acuh tidak acuh. Sangat biasa perempuan-perempuan di tempat
seperti ini suka mengamati mangsanya. Aku minum sisa bir dalam gelas. Aku balas
menatap perempuan di sudut remang itu. Dia kembali menatapku lekat-lekat. Aku
penasaran dibuatnya. Tapi mengapa dia tidak menghampiriku seperti
perempuan-perempuan lainnya? Mengapa dia hanya menatap dari sudut remang? Atau
dia ingin aku yang lebih dulu menghampirinya? Baru kali ini aku dibuat
penasaran dengan tingkah perempuan di tempat seperti ini. Biasanya aku
nongkrong dan minum bir tanpa pernah mempedulikan mereka.
Aku
menghampiri perempuan itu. Aku duduk di sampingnya dan diam seribu bahasa.
Dalam keremangan lampu aku dapat merasakan betapa kikuknya dia.
“Hai,” sapanya
ramah dengan suara sedikit gemetar. Serasa jantungku berdegup lebih kencang
dari biasanya. Rasa-rasanya aku pernah akrab dengan nada suara itu. Entah di
mana aku pernah mendengar suaranya.
Selama
beberapa menit kami hanya berdiam diri. Aku ingin tahu siapa yang lebih kuat
berdiam diri. Akhirnya, dengan suara masih gemetar ia menawarkan cinta
kilatnya, seperti yang sudah kuduga.
“Kita
ngobrol di kamar aja, Mas?!”
Serasa
bulu tubuhku bergetar. Aku sepertinya pernah akrab dengan suara itu. Ya, itu
seperti getar suara Aryati. Ah, tidak mungkin, aku menguatkan perasaanku.
Aku
tatap wajah perempuan itu lekat-lekat. Astaga. Wajah itu sangat mirip wajah
Aryati yang beranjak remaja. Aku berusaha bertahan dengan pikiran sehatku.
Tidak mungkin Aryati berada di tempat seperti ini. Mungkin aku sudah agak mabuk
sehingga mata menjadi kabur melihat sesuatu.
“Siapa
namamu?” tanyaku. Perasaanku bergejolak.
“Leli,”
dia menjawab, berusaha setenang dan selembut mungkin.
“Baru
ya di sini?” aku berbasa-basi.
“Sudah
sebulan, Mas.”
Perasaanku
sudah agak tenang. Rinduku pada kampung, terutama pada adikku, sedikit terobati
dengan menatap wajah Leli lekat-lekat.
“Leli
dari mana?” tanyaku agak penasaran.
Dan, betapa
kagetnya aku, dia menyebut nama sebuah desa yang sangat kuakrabi, desa
kelahiranku. Seribu rindu seribu dendam kembali bergemuruh dalam jiwaku.
Kembali aku teringat Ibu, dan juga wajah adikku. Tiba-tiba saja dendamku pada
Ayah kembali menguat.
“Kenapa,
Mas? Kok diam? Mas dari sana juga, ya?”
“Ndak..ndak
apa-apa. Ya, saya memang dari sana. Saya kangen dengan kampung,” ujarku. Rasa
penasaran dan rindu pada kampung bertambah kuat menggelayuti jiwaku.
Akhirnya,
kuraih tangan Leli dan segera beranjak menuju kamar yang ditunjuknya. Kamar itu
tidak begitu besar, namun rapi dan bersih. Agaknya dia sangat telaten merawat
kamarnya, seperti adikku di kampung. Dandanan Leli juga tidak begitu norak,
tidak seperti perempuan lainnya. Penampilannya
sangat sederhana.
“Matikan
lampu, ya?” Dia beranjak menuju tombol sakelar.
“Biarkan
saja terang. Aku takut gelap,” aku mencegah tangannya menekan sakelar di
tembok. Bau tubuhnya begitu wangi dan asli.
Dalam
terang itu aku leluasa mengamati seisi kamar, dari sudut ke sudut. Foto-foto
berjejer rapi di tembok. Foto dirinya. Foto bintang sinetron favoritnya.
“Kamu
suka bintang sinetron itu, ya?” tanyaku basa-basi. Dia mengangguk malu.
“Adikku
juga suka bintang sinetron itu,” ujarku sambil lalu. ”Dulu waktu masih di
kampung, adikku selalu merengek-rengek minta dibelikan poster seperti itu.”
Tanpa
kusadari sejak tadi, mata Leli basah. Jangan-jangan aku telah menyinggung
perasaannya. “Kamu kenapa? Maafkan bila aku menyinggung perasaanmu.”
“Tidak
apa-apa kok. Saya terharu, Mas begitu baik dan lembut seperti kakak saya.”
“Kamu
punya kakak?” tanyaku heran.
Aku
menatap Leli lekat-lekat. Dia betul-betul mirip Aryati. Bentuk dagunya,
hidungnya, matanya, bibirnya. Oh, aku tak tega mengencani perempuan ini.
Bayangan dan kenangan masa lalu kembali menggangguku. Kenangan yang begitu
menyiksa yang selalu datang pada malam-malam sepiku.
Entah
mengapa Leli begitu percaya padaku. Tanpa kuminta, Leli bercerita tentang
kehidupannya di masa lalu, mengapa dan bagaimana dia sampai terjerumus ke
tempat ini. Aku serasa tidak percaya mendengar ceritanya. Aku kaget dan seperti
mimpi.
“Jadi,
kamu Aryati?” aku tidak percaya. “Benarkah kamu Aryati?”
“Ya, Mas.
Saya Aryati. Berbulan-bulan saya mencari Mas. Saya mendengar kalau Mas sudah
lama tinggal di kota ini. Ayah kawin lagi, Mas. Saya benar-benar kecewa dengan
sikap Ayah. Saya putuskan untuk menyusul Mas ke sini, meski saya tidak tahu Mas
berada di mana. Saya diantar tukang ojek dan akhirnya saya dibawa ke tempat
ini. Sekarang saya bahagia bisa ketemu Mas. Maafkan saya, Mas....” Aryati
memelukku dan menangis tiada henti.
O,
Tuhan, apakah aku mampu menerima kenyataan ini? Beribu rasa melanda batinku.
Bahagia, rindu, sakit hati, marah bercampur jadi satu. Aku memeluk Aryati lebih
erat, seakan aku tidak ingin melepaskannya lagi.
Di luar, malam
berlalu seperti biasa.***
Denpasar, 1999
(Suara
Pembaruan, 29 Mei 2005)
No comments:
Post a Comment