cerpen : Wayan Sunarta
Kami
mendaki. Masih terus mendaki. Puncak ketujuh, yang kami rindukan selama hidup
kami, belum juga terlihat. Kakiku terasa gemetar. Tubuhku menggigil menahan
dingin yang dihembus angin kabut. Aku baru tiba di lambung gunung. Puncak
ketujuh masih jauh, teramat jauh, seakan tak mampu kami jangkau. Namun, kami
terus mendaki.
Saudara
seperjalananku yang berjumlah lima orang tampak tertinggal di belakangku.
Mereka seakan tidak mampu mengikuti jejak dan jalan setapak yang telah
kurintis. Tenaga mereka seperti terkuras dalam pendakian yang menjenuhkan. Pada
setiap langkah yang kami tempuh, sering kami berpikir, apa yang ingin kami
capai dalam pendakian ini? Ketenaran? Cita-cita? Atau, tidak untuk apa-apa?
Kembali
aku terkenang saat kami meninggalkan desa kelahiran, lima hari silam. Di
halaman balai desa, tetua adat, orang-orang tua kami dan warga desa melepas
kepergian kami dengan mata berkaca-kaca. Kami saling berpelukan, mengucapkan
selamat tinggal. Kami menatap mereka satu per satu dengan mata penuh keyakinan,
mohon restu agar perjalanan mulus dan tiba di puncak dengan selamat. Kami
adalah orang-orang yang dipilih dan dilatih untuk membuktikan bahwa puncak
ketujuh, puncak tertinggi sejagat, bisa digapai manusia.
Kami
telah melewati masa-masa latihan yang sulit. Kami digembleng sejumlah pelatih
yang telah terkenal kehebatannya di seluruh negeri. Kami dilatih olah raga dan
jiwa agar kekuatan tenaga selama pendakian terjaga. Kami dilatih keterampilan
dan ketangkasan menghadapi keadaan darurat. Kami dilatih menghayati alam di
sepanjang perjalanan. Dan, beberapa orang bijak didatangkan khusus untuk
menggembleng kami tentang kebijaksanaan hidup, sikap rendah hati, dan
menghargai sesama. Ya, kami telah dipilih dan dilatih untuk sebuah misi yang
kami sendiri tidak tahu tingkat keberhasilannya.
“Tunggu!”
teriak Mabi, saudaraku yang berhasil menyusulku, nafasnya terengah-engah, meski
ia memiliki tenaga sekuat kuda. “Dipadru jauh tertinggal di belakang kita.”
Kami
menunggu Dipadru di bawah rindang pohon pinus. Puncak yang bercahaya putih
gemerlap diliputi salju abadi samar-samar tampak, begitu menggoda kami yang
kelelahan. Angin berdesir, memberi kesejukan pada tubuh kami.
Setengah jam
berlalu. Arju muncul dari jalan setapak yang membelah hutan pinus. Di
belakangnya, Dipadru dipapah oleh Lakuna dan Saha. Wajah Dipadru begitu pucat
menahan lelah, haus dan lapar. Tubuhnya menggigil. Demam menyerangnya sejak
kemarin. Memang secara fisik Dipadru yang paling lemah diantara kami.
Cahaya
senja menerobos daun-daun pinus yang lancip. Kami memutuskan untuk menunda
perjalanan dan berkemah di tempat itu. Demam yang menyerang Dipadru tidak
kunjung turun, meski kami telah mengobatinya semampu kami. Dalam kecemasan,
kami berharap besok pagi Dipadru mampu melanjutkan pendakian.
Kokok
ayam hutan melengking nyaring. Aku terbangun. Fajar merekah sangat indah. Aku
memeriksa keadaan Dipadru yang tidur di sebelahku. Tubuhnya sedingin es. Aku
kaget dan segera membangunkan saudaraku yang lain. Kami mengelilingi Dipadru
yang telah tidak bernyawa. Kami tak mampu mengucapkan apa-apa. Kami terdiam
dalam kesedihan mendalam. Inilah kematian pertama yang kami temui dalam
perjalanan, dan kami tidak akan pernah tahu siapa yang akan menyusul kemudian.
Kami memutuskan melanjutkan pendakian dan meninggalkan mayat Dipadru yang telah
kami tutupi dengan kain dan dedaunan. Kelak, mayat Dipadru akan menjadi makanan
tanaman bunga-bunga perdu berwarna ungu di sekitarnya.
Matahari
telah berada di atas kepala ketika kami sampai pada puncak ketiga. Puncak
ketujuh yang merupakan puncak tertinggi yang ingin kami gapai seakan hilang
dari pandangan. Kami istirahat untuk makan siang. Kami buka perbekalan dengan
diliputi kesedihan dan kenangan akan Dipadru. Namun, akhirnya kami sadar tidak
ada gunanya larut dalam kesedihan. Sekian hari lalu kami telah memutuskan untuk
melakukan pendakian, dan itu harus terus dilanjutkan. Apa pun yang akan terjadi
nanti, tidak ada alasan untuk berhenti.
Kami
melanjutkan perjalanan mencapai puncak keempat. Hari sudah hampir senja.
Suara-suara hewan hutan terasa senyap. Mendadak dua saudara kami, Lakuna dan
Saha, mengeluh kram kaki. Aku tahu mereka begitu kelelahan. Sebentar kemudian
mereka kejang-kejang. Mabi dan Arju panik. Aku berusaha tenang.
“Bertindaklah
sesuatu. Kau yang paling pandai dan ahli diantara kami,” ujar Mabi kepadaku.
Aku
mengeluarkan ramuan obat-obatan dari kantong perbekalan. Namun agaknya dengan
ramuan obat itu Lakuna dan Saha tetap saja tidak tertolong. Mereka meregang
nyawa di pangkuan Mabi dan Arju yang kemudian menangis meratapi saudaranya itu.
Dalam sekejap, tiga saudara terkasih kami telah direnggut maut dalam perjalanan
ini.
“Sudah.
Tidak ada gunanya air mata tumpah di sini. Besok pagi kita akan lanjutkan
pendakian.,” bujukku pada Mabi dan Arju yang masih terus meratapi mayat Lakuna
dan Saha.
“Dharma,
kenapa kau begitu tega?!” teriak Mabi diantara isak tangisnya. “Kemarin kita
telah meninggalkan mayat Dipadru. Sekarang apakah kau benar-benar tega
meninggalkan mereka dimakan binatang buas di sini?”
Mabi
benar-benar tidak mampu mengendalikan emosinya. Aku tahu betul wataknya yang
keras dan seringkali grasa-grusu. Namun sesungguhnya Mabi memiliki rasa setia
kawan yang tinggi.
“Kita
tidak mungkin menggotong mayat mereka sampai ke puncak,” ujarku lembut.
“Kalau
tidak mungkin ke puncak, kita bawa turun saja. Kita batalkan pendakian gila
ini. Terlalu banyak hal telah kita korbankan untuk perjalanan yang kita sendiri
tidak akan pernah tahu entah sampai di mana. Kita pulang sekarang!”
“Mabi,
tenangkan dirimu. Kau masih ingat, sebelum memulai pendakian ini kita telah
bersumpah di hadapan tetua adat dan warga desa, bahkan di depan para orang tua
kita yang matanya berkaca-kaca melepas kepergian kita. Kita telah bersumpah,
kita harus bisa mencapai puncak ketujuh, meski nyawa taruhannya. Kita telah
dilatih untuk dewasa dalam perjalanan. Tiga saudara kita telah jadi tumbal
dalam perjalanan ini, lalu apakah kau akan berhenti sampai di sini? Tidakkah
kau menghormati pengorbanan mereka?”
Mabi
menunduk, mungkin teringat pada sumpah kami. Arju menatap mataku dengan berani.
“Kita
lanjutkan pendakian besok,” ujar Arju mantap.
Kami
kembali berkemah. Telah lima hari kami mendaki. Puncak ketujuh belum juga
terlihat jelas. Besok kami akan lanjutkan pendakian menuju puncak kelima. Kami
merasa mampu mencapai puncak ketujuh. Aku tahu Mabi dan Arju termasuk lelaki
tangguh di desa kami. Aku percaya mereka bisa meneruskan pendakian.
Jalan
mencapai puncak kelima termasuk sulit. Menurut warga desa di bawah gunung,
jarang ada pendaki yang mampu melewati puncak kelima dengan selamat. Jalan
setapak yang menghubungkan puncak keempat dengan kelima sangat terjal dengan
mulut jurang yang menganga di kanan-kirinya, siap menyantap tubuh para pendaki
yang lelah dan lengah. Angin yang tadinya diam dan tenang bisa tiba-tiba
berubah menjadi badai ganas yang diliputi kabut tebal.
Kini,
kami hanya bertiga. Kami menyusuri setapak dengan sangat hati-hati, bagai siput
yang merayap di bebatuan licin. Beberapa kali Mabi yang berbadan besar hampir
terpeleset. Malah Arju yang terlihat masih mampu menjaga keseimbangan badannya
yang ramping. Kami menempuh jalan setapak itu selama sehari penuh, berjuang
melawan badai kabut.
Akhirnya,
kami mampu mengatasi saat-saat rawan itu, dan tiba di puncak kelima dengan
selamat, meski kami merasa kesulitan bernafas. Udara semakin tipis. Hanya ada
pepohonan pinus dengan warna daunnya yang hijau pucat. Kami dikelilingi kabut
tebal, seperti berada dalam alam khayal. Kami memutuskan untuk berkemah di tempat
itu.
Pada tengah
malam, Arju meracau dalam tidurnya. Badannya menggigil menahan demam. Beberapa
kali ia terbatuk-batuk. Udara begitu tipis pada puncak malam. Mabi berusaha
menghangatkan badan Arju dengan badannya yang besar. Namun, usahanya itu tetap
tidak berarti apa-apa. Arju telah sekarat. Sebelum meregang nyawa, ia sempat
mengucapkan permohonan maaf karena tidak bisa menemani kami sampai puncak
ketujuh. Aku terdiam. Dadaku terasa sesak. Mabi juga terdiam. Suasana diliputi
keheningan yang mencekam. Nampak sekali kesedihan dan kemuakan membias pada
wajah Mabi yang keras dan kelam.
“Sekarang,
apa yang akan kau lakukan? Kita tinggal berdua saja. Bila aku pun tewas, kau
tidak akan punya siapa-siapa lagi dalam perjalanan ini? Apakah kau masih kukuh
ingin melanjutkan pendakian?”
“Aku
tidak punya pilihan lain lagi, Mabi. Pada akhirnya kehidupan ini harus dijalani
seorang diri. Kita tidak bisa menyalahkan siapa-siapa. Masing-masing manusia
memiliki keterbatasannya.”
Mabi
terdiam dalam rasa putus asa yang mencekam.. Api unggun meredup dan hampir
padam. Terdengar suara gemeretak kayu pinus terbakar, hampir mengakhiri puncak
malam.
Pagi-pagi
sekali kami melanjutkan pendakian menuju puncak keenam yang akan memakan waktu
dua hari. Perbekalan kami sudah hampir menipis. Namun tidak saatnya untuk
cengeng dalam perjalanan yang hampir selesai ini.
Menjelang
puncak keenam udara terasa semakin tipis, menyesakkan paru-paru. Kami harus
melewati hamparan salju yang menyilaukan mata. Beberapa kali Mabi terhalusinasi
melihat rumah dan ranjang yang hangat. Sepanjang perjalanan ia terbatuk-batuk.
Namun, anehnya, aku sendiri merasa sehat-sehat saja. Entah kekuatan atau
mukjizat macam apa yang semayam dalam jiwaku, aku mampu melewati hamparan salju
tanpa suatu masalah berarti pada tubuhku.
Tiba-tiba
Mabi roboh di hamparan salju. Tubuhnya menggigil. Nafasnya satu-satu. Aku
membantunya berdiri dan mencoba memapah badannya yang lebih besar dibanding
badanku.
“Dharma,
lebih baik kau tinggalkan aku di sini. Aku sudah tidak kuat lagi melanjutkan
pendakian. Tenagaku telah tersedot habis…” wajah Mabi pucat bagai mayat beku.
“Bertahanlah,
Mabi. Sebentar lagi kita akan sampai di puncak keenam,” aku menghibur.
Sejenak
kami beristirahat di hamparan salju yang dingin menggigit tulang. Kami
mendirikan tenda kecil untuk menahan serangan angin salju. Aku rebahkan tubuh
Mabi dalam tenda. Mabi terus meracau. Tiba-tiba saja ia ingin mencicipi secawan
anggur, ingin menyantap sepotong paha rusa panggang yang hangat mengepul. Aku
mencoba menghiburnya. Aku mengatakan di puncak ketujuh dia akan menemui makanan
kesukaannya itu.
Besok
paginya Mabi kelihatan lebih segar dan siap melanjutkan perjalanan menuju
puncak keenam. Namun aku sendiri ragu akan kemampuannya. Kulihat dia berjalan
tertatih-tatih. Dia seperti terpaksa menyeret kakinya yang terlihat gemetar.
Dan, seperti telah kuduga, sampai di puncak keenam Mabi roboh. Aku menyandarkan
kepalanya di pangkuanku. Nafasnya terengah-engah.
“Hai,
Dharma, ilmu apa yang kau miliki hingga kau begitu kuat bertahan,” Mabi
berusaha mengatur nafasnya, meski terasa sia-sia. “Aku sudah tidak kuat lagi.
Biarkan aku mati di sini.”
Puncak
keenam diselimuti hamparan salju. Langit keunguan. Namun anehnya aku tidak
melihat puncak lagi. Di mana puncak ketujuh? Aku menyampaikan keherananku
sekaligus kegembiraanku pada Mabi yang sedang sekarat.
“Mabi,
kita telah menginjak puncak terakhir!”
Mata
Mabi yang sedari tadi terkatup, perlahan membuka. Ia berusaha memandang ke
sekeliling. Hanya hamparan putih salju yang di beberapa bagian telah mengeras
menjadi es. Langit berwana ungu.
“Tidak,
Dharma. Masih ada puncak ketujuh yang harus kau capai,” ujarnya tersendat,
seirama nafasnya yang hampir padam. “Gapailah puncak itu demi saudara-saudaramu
yang telah mati, dan juga aku...”
Mabi
semakin susah menghirup udara yang tipis. Dan, akhirnya tubuhnya lemas tak
bernafas.
Di
puncak keenam aku tegak berdiri. Menatap dengan pandangan hampa ke hamparan
salju. Sunyi sekali di sini. Aku tidak menemukan puncak ketujuh seperti yang
ditulis dalam kitab-kitab warisan leluhur kami, seperti yang sering dikisahkan
dengan agung oleh para orang tua bijak.
Kembali aku
terkenang petuah tetua desa yang bijak saat mengiringi kepergian kami beberapa
hari silam. “Puncak ketujuh adalah puncak kebahagiaan,” kata tetua desa yang
kami hormati itu.
Tetapi,
apakah artinya puncak ketujuh bila harus digapai dengan kematian lima
saudaraku? Sunyi meliputi diriku, membungkusku dalam selubung rahasia. Aku
tafakur. Dalam keheningan semadi, aku menggapai puncak ketujuh, yang
samar-samar menjulang dalam jiwaku.***
Denpasar, 2004
(Nominasi Anugerah Sastra Majalah Horison 2004)
No comments:
Post a Comment