Hampir
semua penduduk di kota kecil itu, terutama kusir dokar dan penjaja batu akik,
mengenal lelaki tua yang suka menenteng tas kresek itu. Di kalangan kusir
dokar, lelaki tua yang tubuhnya masih sehat dan tegap itu, biasa dipanggil
Randu. Sedangkan di kalangan penjaja batu akik, lelaki yang topinya hampir
tidak pernah lepas dari kepalanya yang setengah botak itu, suka dipanggil
Rimbu.
Begitulah,
lelaki yang cenderung pendiam itu, memiliki dua nama kesayangan: Randu dan
Rimbu. Randu adalah Rimbu, dan Rimbu tiada lain adalah Randu. Namun,
sesungguhnya tak seorang pun penghuni kota yang tahu nama asli lelaki tua yang
berwajah bersih namun melankolis itu. Meski Randu sudah hampir setahun menghuni
kota itu.
Sebagaimana
nama aslinya, tak seorang pun penghuni kota yang tahu apakah Randu memiliki
keluarga atau sanak famili, apakah punya anak atau cucu, apa pekerjaannya.
Bahkan penghuni kota tidak tahu menahu rumah lelaki tua itu. Memang penghuni
kota yang ramah-ramah itu tidak begitu mempersoalkannya. Yang penting Rimbu
tidak membuat keonaran atau mengganggu ketenteraman kota.
Namun
kemisteriusan Randu bukannya tidak mengundang rasa ingin tahu dan penasaran.
Mereka tahu lelaki tua yang sudah pantas disebut kakek itu termasuk orang yang
sangat baik, ramah, sabar dan santun pada penghuni kota. Misalnya, ketika
berpapasan di jalan dengan warga kota, Randu selalu senyum kecil, dan setelah
itu dengan tergesa-gesa melanjutnya langkahnya yang panjang-panjang. Tidak
banyak cakap, hanya senyum kecil saja. Dan warga kota sudah lama memakluminya.
Namun rasa penasaran terhadap sosok Randu telah menghinggapi pikiran anak-anak
muda kota itu.
Namanya juga
anak muda, seringkali suka pada hal-hal yang berbau petualangan dan misteri.
Maka beberapa anak muda pernah melacak jejak Randu, untuk sekadar mengetahui di
mana lelaki tua itu menghentikan langkahnya, membuka daun pintu dan disambut
oleh cucu-cucunya yang mungkin saja masih kecil-kecil. Namun sayangnya, kaki
Rimbu bukannya melangkah ke arah rumah atau yang menyerupai rumah. Dari
kejauhan, dengan kecewa anak-anak muda itu melihat Randu menghentikan
langkahnya pada sebuah tikungan, dan asyik bercengkerama dengan beberapa kusir
dokar.
Di pangkalan dokar itulah Randu biasanya
menghabiskan waktunya, hanya dengan ngobrol, atau sekadar mengusap-usap kepala
kuda. Dan biasanya, kuda-kuda itu selalu menanti belaian lembut tangan Randu.
Pada saat-saat seperti itu nampak darah keayahan Randu mengalir memenuhi
wajahnya yang bersih. Di hadapan Randu, kuda-kuda itu seperti anak-anak yang
mengeluh pada ayah, karena letih dipaksa bekerja seharian oleh para kusir.
Randu lebih
memahami perasaan kuda ketimbang para kusir yang kerjanya hanya melecut dan
memaksa kuda-kuda itu bekerja siang-malam. Namun Randu tidak terlalu berani,
atau lebih tepatnya tidak sampai hati, menyampaikan keluhan kuda-kuda itu
kepada kusirnya. Baginya, kuda dan kusir sama-sama menderita, hanya berbeda
peranan saja. Apalagi ketika bemo dan tukang ojek mulai menggeser peranan dokar
di kota kecil itu, pendapatan kusir menurun drastis, dan mereka sering pula
mengeluh kepada Randu yang dianggapnya lebih bijaksana memandang suatu hal. Dan
biasanya Randu akan menampung keluhan mereka dalam diam, atau hanya sekadar
manggut-manggut saja, untuk menyenangkan hati para kusir.
Beberapa anak muda yang masih memeram rasa
penasaran belum mau menyerah, ingin mengetahui siapa sebenarnya Randu yang
misterius itu. Maka suatu hari, mereka kembali mengikuti jejak Randu. Namun
mereka tetap menemui kekecewaan. Mereka tidak pernah menemukan di mana rumah
Randu sebenarnya. Mereka hanya melihat jejak Randu berakhir di kerumunan orang
yang asyik meneliti batu-batu akik di sebuah pasar kecil.
Rimbu sangat
menyukai batu-batu akik. Ia suka menikmati warna-warninya, syukur-syukur di
antaranya ada yang bertuah, misalnya bisa menyembuhkan suatu penyakit, mengusir
roh jahat, atau membuat pemakainya bisa menghilang sesuai keinginan. Namun
Rimbu belum pernah menemui batu akik yang memiliki khasiat khusus seperti itu.
Ia malah lebih suka menikmati warna-warni batu-batu akik yang mengingatkannya
pada lukisan-lukisan abstrak karya seorang pelukis kenalannya.
Penjaja batu
akik tidak pernah kesal, meski Rimbu tidak pernah membeli sebutir akik pun.
Beberapa penjaja batu akik sering mengajak Rimbu berdiskusi tentang makna-makna
batu akik yang dijualnya. Mereka mengira Rimbu seorang tokoh atau penganut
aliran spiritual tertentu yang telah mencapai tingkat ilmu tinggi karena
wajahnya yang seakan bercahaya itu. Rimbu berkali-kali menjelaskan bahwa ia
hanya manusia biasa yang tidak memiliki kelebihan apa-apa. Namun, justru sikap
rendah hati yang seakan berlebihan itu malah meyakinkan para penjaja batu akik
bahwa Rimbu bukan manusia sembarangan. Maka terpaksa Rimbu harus meladeni
pertanyaan-pertanyaan berbau magis penjual batu akik dengan menjawab sekenanya
saja.
Ke mana pun
Randu melangkah, tas kresek berwarna hitam selalu setia menemani tangannya. Tak
seorang pun tahu apa isi tas kresek itu. Bahkan, ketika Randu lewat di depan
segerombolan anak muda pengangguran yang asyik main gitar sambil minum arak,
beberapa anak muda malah membuat tebak-tebakan mengenai isi tas kresek itu.
“Ayo, siapa
yang tahu, apa isi tas kresek kakek itu!” anak muda setengah gondrong
melontarkan tebakan itu.
“Mana kita
tahu! Periksa saja sendiri!” jawab kawannya yang bermata sipit.
“Paling-paling
juga sirih dan tembakau!” ujar yang bermain gitar.
“Jangan-jangan
uang! Siapa tahu kakek itu orang kaya yang lagi menyamar!” ujar anak muda yang
lengannya penuh tatto.
“Ya. Bisa jadi
ia seorang investor, atau mungkin mantan koruptor yang sedang sembunyi di kota
kita!” kata anak muda kurus berkacamata agak tebal.
Maka
begitulah, tak seorang pun tahu apa isi tas kresek warna hitam yang suka
ditenteng Randu ke mana-mana itu. Dan sungguh suatu pekerjaan yang tidak ada
gunanya menebak-nebak isi tas yang dibawa seseorang. Namun, lambat laun rasa
penasaran terhadap isi tas kresek itu sama kuatnya dengan keingintahuan perihal
asal-usul lelaki tua aneh itu.
Di luar
dugaan, beberapa anak muda yang terkenal bandel dan suka bikin onar di kota
itu, merencanakan suatu niat. Mereka akan mencegat lelaki tua itu di jalan sepi
dan merampok tas kresek yang suka ditentengnya ke mana-mana itu. Dua anak muda
bandel menguntit si lelaki tua. Mereka mengawasi Randu yang bersiul-siul keluar
dari sebuah toko sambil menenteng tas kresek. Keyakinan mereka bertambah kuat
bahwa tas kresek itu berisi uang, mungkin jutaan rupiah.
“Apa kubilang!
Tas kresek itu pasti berisi uang!” ujar yang bertatto kepada kawannya yang
setengah gondrong.
“Bila berhasil
merebut tas kresek itu, kita akan kaya dan bisa minum berbotol-botol bir di
kafe dengan ditemani wanita-wanita cantik!” sahut kawannya tak kalah seru.
Anak-anak muda
bandel itu terus menguntit. Merasa ada yang mengikuti, Randu terus mempercepat
langkahnya. Di sebuah pertigaan anak-anak muda bandel itu kehilangan jejak.
Merasa buruannya hilang, mereka mengumpat tidak karuan. Yang lengannya bertatto
merasa yakin kalau lelaki tua itu memilki ilmu menghilang.
Namun,
keberuntungan tidak selamanya berpihak pada Randu.
Maka, pada hari yang naas itu, ketika Randu sedang
asyik menikmati ayunan langkahnya di jalan kota yang sepi, dua pengendara motor
menyambar tas kreseknya. Belum tuntas kagetnya, pengendara motor yang
mengenakan helm cerobong telah tancap gas dengan kecepatan yang sulit diikuti
mata, apalagi mata tua Randu yang mulai rabun. Beberapa menit Randu hanya bisa
terpana di pinggir jalan yang meninggalkan kepulan debu dari motor yang ngebut
itu.
Randu
merasakan tubuhnya lemas. Sembari membetulkan letak topinya yang agak miring,
tampak wajahnya penuh kemurungan. Sesuatu yang sangat berharga, seakan melebihi
uang jutaan rupiah, telah dirampas oleh pengendara motor itu.
***
Di sebuah
tegalan yang agak jauh dari keramaian, beberapa anak muda dengan harap-harap
cemas membelalakkan mata pada tas kresek hasil rampasan itu. Anak muda yang
lengannya bertatto tidak sabaran merobek tas kresek. Beberapa bendel kertas
menyembul.
“Setan! Kita
telah ditipu. Tidak ada uang!” umpatnya.
Kemudian, anak muda yang setengah gondrong
mencoba mengorek-orek isi kresek. Ia juga menggerutu seraya menendang tas
kresek hingga kertas-kertas berhamburan.
“Sialan! Hanya
sebendel puisi! Agaknya kita telah merampok seorang penyair tua. Sial!”
Kejadian dramatis
itu diakhiri dengan lumayan indah oleh anak muda yang berkacamata tebal. Dengan
sigap ia memungut selembar kertas yang berserakan di tanah. Kemudian, ia
membaca isinya dengan gaya deklamasi: cintalah
yang membuat diri betah untuk sesekali bertahan…sewaktu-waktu mesti berjaga dan
pergi, membawa langkah ke mana saja.1***
Denpasar, 2003
1
dipetik dari puisi Melodia karya penyair legendaris Umbu Landu Paranggi.
Ke mana pun pergi, penyair ini suka sekali menenteng tas kresek warna hitam
yang biasanya berisi kertas-kertas puisi.
No comments:
Post a Comment