Labels

Thursday, 20 October 2011

Lelaki Tua dan Tas Kresek

cerpen : Wayan Sunarta

 

            Hampir semua penduduk di kota kecil itu, terutama kusir dokar dan penjaja batu akik, mengenal lelaki tua yang suka menenteng tas kresek itu. Di kalangan kusir dokar, lelaki tua yang tubuhnya masih sehat dan tegap itu, biasa dipanggil Randu. Sedangkan di kalangan penjaja batu akik, lelaki yang topinya hampir tidak pernah lepas dari kepalanya yang setengah botak itu, suka dipanggil Rimbu.
Begitulah, lelaki yang cenderung pendiam itu, memiliki dua nama kesayangan: Randu dan Rimbu. Randu adalah Rimbu, dan Rimbu tiada lain adalah Randu. Namun, sesungguhnya tak seorang pun penghuni kota yang tahu nama asli lelaki tua yang berwajah bersih namun melankolis itu. Meski Randu sudah hampir setahun menghuni kota itu.
Sebagaimana nama aslinya, tak seorang pun penghuni kota yang tahu apakah Randu memiliki keluarga atau sanak famili, apakah punya anak atau cucu, apa pekerjaannya. Bahkan penghuni kota tidak tahu menahu rumah lelaki tua itu. Memang penghuni kota yang ramah-ramah itu tidak begitu mempersoalkannya. Yang penting Rimbu tidak membuat keonaran atau mengganggu ketenteraman kota.
Namun kemisteriusan Randu bukannya tidak mengundang rasa ingin tahu dan penasaran. Mereka tahu lelaki tua yang sudah pantas disebut kakek itu termasuk orang yang sangat baik, ramah, sabar dan santun pada penghuni kota. Misalnya, ketika berpapasan di jalan dengan warga kota, Randu selalu senyum kecil, dan setelah itu dengan tergesa-gesa melanjutnya langkahnya yang panjang-panjang. Tidak banyak cakap, hanya senyum kecil saja. Dan warga kota sudah lama memakluminya. Namun rasa penasaran terhadap sosok Randu telah menghinggapi pikiran anak-anak muda kota itu.
Namanya juga anak muda, seringkali suka pada hal-hal yang berbau petualangan dan misteri. Maka beberapa anak muda pernah melacak jejak Randu, untuk sekadar mengetahui di mana lelaki tua itu menghentikan langkahnya, membuka daun pintu dan disambut oleh cucu-cucunya yang mungkin saja masih kecil-kecil. Namun sayangnya, kaki Rimbu bukannya melangkah ke arah rumah atau yang menyerupai rumah. Dari kejauhan, dengan kecewa anak-anak muda itu melihat Randu menghentikan langkahnya pada sebuah tikungan, dan asyik bercengkerama dengan beberapa kusir dokar.
 Di pangkalan dokar itulah Randu biasanya menghabiskan waktunya, hanya dengan ngobrol, atau sekadar mengusap-usap kepala kuda. Dan biasanya, kuda-kuda itu selalu menanti belaian lembut tangan Randu. Pada saat-saat seperti itu nampak darah keayahan Randu mengalir memenuhi wajahnya yang bersih. Di hadapan Randu, kuda-kuda itu seperti anak-anak yang mengeluh pada ayah, karena letih dipaksa bekerja seharian oleh para kusir.
Randu lebih memahami perasaan kuda ketimbang para kusir yang kerjanya hanya melecut dan memaksa kuda-kuda itu bekerja siang-malam. Namun Randu tidak terlalu berani, atau lebih tepatnya tidak sampai hati, menyampaikan keluhan kuda-kuda itu kepada kusirnya. Baginya, kuda dan kusir sama-sama menderita, hanya berbeda peranan saja. Apalagi ketika bemo dan tukang ojek mulai menggeser peranan dokar di kota kecil itu, pendapatan kusir menurun drastis, dan mereka sering pula mengeluh kepada Randu yang dianggapnya lebih bijaksana memandang suatu hal. Dan biasanya Randu akan menampung keluhan mereka dalam diam, atau hanya sekadar manggut-manggut saja, untuk menyenangkan hati para kusir.
  Beberapa anak muda yang masih memeram rasa penasaran belum mau menyerah, ingin mengetahui siapa sebenarnya Randu yang misterius itu. Maka suatu hari, mereka kembali mengikuti jejak Randu. Namun mereka tetap menemui kekecewaan. Mereka tidak pernah menemukan di mana rumah Randu sebenarnya. Mereka hanya melihat jejak Randu berakhir di kerumunan orang yang asyik meneliti batu-batu akik di sebuah pasar kecil.
Rimbu sangat menyukai batu-batu akik. Ia suka menikmati warna-warninya, syukur-syukur di antaranya ada yang bertuah, misalnya bisa menyembuhkan suatu penyakit, mengusir roh jahat, atau membuat pemakainya bisa menghilang sesuai keinginan. Namun Rimbu belum pernah menemui batu akik yang memiliki khasiat khusus seperti itu. Ia malah lebih suka menikmati warna-warni batu-batu akik yang mengingatkannya pada lukisan-lukisan abstrak karya seorang pelukis kenalannya.
Penjaja batu akik tidak pernah kesal, meski Rimbu tidak pernah membeli sebutir akik pun. Beberapa penjaja batu akik sering mengajak Rimbu berdiskusi tentang makna-makna batu akik yang dijualnya. Mereka mengira Rimbu seorang tokoh atau penganut aliran spiritual tertentu yang telah mencapai tingkat ilmu tinggi karena wajahnya yang seakan bercahaya itu. Rimbu berkali-kali menjelaskan bahwa ia hanya manusia biasa yang tidak memiliki kelebihan apa-apa. Namun, justru sikap rendah hati yang seakan berlebihan itu malah meyakinkan para penjaja batu akik bahwa Rimbu bukan manusia sembarangan. Maka terpaksa Rimbu harus meladeni pertanyaan-pertanyaan berbau magis penjual batu akik dengan menjawab sekenanya saja.
Ke mana pun Randu melangkah, tas kresek berwarna hitam selalu setia menemani tangannya. Tak seorang pun tahu apa isi tas kresek itu. Bahkan, ketika Randu lewat di depan segerombolan anak muda pengangguran yang asyik main gitar sambil minum arak, beberapa anak muda malah membuat tebak-tebakan mengenai isi tas kresek itu.
“Ayo, siapa yang tahu, apa isi tas kresek kakek itu!” anak muda setengah gondrong melontarkan tebakan itu.
“Mana kita tahu! Periksa saja sendiri!” jawab kawannya yang bermata sipit.
“Paling-paling juga sirih dan tembakau!” ujar yang bermain gitar.
“Jangan-jangan uang! Siapa tahu kakek itu orang kaya yang lagi menyamar!” ujar anak muda yang lengannya penuh tatto.
“Ya. Bisa jadi ia seorang investor, atau mungkin mantan koruptor yang sedang sembunyi di kota kita!” kata anak muda kurus berkacamata agak tebal.
Maka begitulah, tak seorang pun tahu apa isi tas kresek warna hitam yang suka ditenteng Randu ke mana-mana itu. Dan sungguh suatu pekerjaan yang tidak ada gunanya menebak-nebak isi tas yang dibawa seseorang. Namun, lambat laun rasa penasaran terhadap isi tas kresek itu sama kuatnya dengan keingintahuan perihal asal-usul lelaki tua aneh itu.
Di luar dugaan, beberapa anak muda yang terkenal bandel dan suka bikin onar di kota itu, merencanakan suatu niat. Mereka akan mencegat lelaki tua itu di jalan sepi dan merampok tas kresek yang suka ditentengnya ke mana-mana itu. Dua anak muda bandel menguntit si lelaki tua. Mereka mengawasi Randu yang bersiul-siul keluar dari sebuah toko sambil menenteng tas kresek. Keyakinan mereka bertambah kuat bahwa tas kresek itu berisi uang, mungkin jutaan rupiah.
“Apa kubilang! Tas kresek itu pasti berisi uang!” ujar yang bertatto kepada kawannya yang setengah gondrong.
“Bila berhasil merebut tas kresek itu, kita akan kaya dan bisa minum berbotol-botol bir di kafe dengan ditemani wanita-wanita cantik!” sahut kawannya tak kalah seru.
Anak-anak muda bandel itu terus menguntit. Merasa ada yang mengikuti, Randu terus mempercepat langkahnya. Di sebuah pertigaan anak-anak muda bandel itu kehilangan jejak. Merasa buruannya hilang, mereka mengumpat tidak karuan. Yang lengannya bertatto merasa yakin kalau lelaki tua itu memilki ilmu menghilang.
Namun, keberuntungan tidak selamanya berpihak pada Randu.
Maka, pada hari yang naas itu, ketika Randu sedang asyik menikmati ayunan langkahnya di jalan kota yang sepi, dua pengendara motor menyambar tas kreseknya. Belum tuntas kagetnya, pengendara motor yang mengenakan helm cerobong telah tancap gas dengan kecepatan yang sulit diikuti mata, apalagi mata tua Randu yang mulai rabun. Beberapa menit Randu hanya bisa terpana di pinggir jalan yang meninggalkan kepulan debu dari motor yang ngebut itu. 
Randu merasakan tubuhnya lemas. Sembari membetulkan letak topinya yang agak miring, tampak wajahnya penuh kemurungan. Sesuatu yang sangat berharga, seakan melebihi uang jutaan rupiah, telah dirampas oleh pengendara motor itu.

***

Di sebuah tegalan yang agak jauh dari keramaian, beberapa anak muda dengan harap-harap cemas membelalakkan mata pada tas kresek hasil rampasan itu. Anak muda yang lengannya bertatto tidak sabaran merobek tas kresek. Beberapa bendel kertas menyembul.
“Setan! Kita telah ditipu. Tidak ada uang!” umpatnya.
 Kemudian, anak muda yang setengah gondrong mencoba mengorek-orek isi kresek. Ia juga menggerutu seraya menendang tas kresek hingga kertas-kertas berhamburan.
“Sialan! Hanya sebendel puisi! Agaknya kita telah merampok seorang penyair tua. Sial!”
Kejadian dramatis itu diakhiri dengan lumayan indah oleh anak muda yang berkacamata tebal. Dengan sigap ia memungut selembar kertas yang berserakan di tanah. Kemudian, ia membaca isinya dengan gaya deklamasi:  cintalah yang membuat diri betah untuk sesekali bertahan…sewaktu-waktu mesti berjaga dan pergi, membawa langkah ke mana saja.1***


Denpasar, 2003




1 dipetik dari puisi Melodia karya penyair legendaris Umbu Landu Paranggi. Ke mana pun pergi, penyair ini suka sekali menenteng tas kresek warna hitam yang biasanya berisi kertas-kertas puisi.



(Sinar Harapan, 19 Juni 2004)

No comments:

Post a Comment