cerpen: Wayan Sunarta
Sejak kedatangan
orang-orang berbadan tegap itu ke desanya, wajah keriput Mangku Teguh sering
terlihat murung. Sakit rematiknya juga sering kambuh. Bahkan rambutnya yang
separuh uban banyak yang rontok. Sementara itu, wajah-wajah warga desa tampak
sumringah.
Orang-orang berbadan
tegap itu sejak tiga bulan lalu telah melakukan survei dan pendekatan dengan
tetua adat dan masyarakat desa. Mereka mengincar sejumlah tanah milik warga dan
tanah yang berlokasi di pinggiran pantai. Di atas tanah desa itu investor yang
memiliki hubungan baik dengan pemerintah pusat akan membangun fasilitas
pariwisata yang konon memberikan kemakmuran bagi desa. Tentu sebagian besar
warga menyambut baik rencana investor, apalagi mereka juga berkepentingan
dengan industri pariwisata itu.
Warga desa beramai-ramai menjual
tanah miliknya. Dan, dalam waktu yang tidak begitu lama, hampir separuh tanah
desa telah jatuh ke tangan investor. Orang-orang kaya baru bermunculan di desa
yang sebelumnya dikenal terbelakang itu. Beberapa warga menggunakan uang hasil
penjualan tanah untuk membiayai upacara ngaben yang tertunda, merenovasi
rumah menjadi lebih modern, menyekolahkan anak-anak, modal usaha kecil-kecilan,
membeli mobil untuk anaknya yang sudah dewasa atau membeli tanah baru di desa
lain. Warga yang kecanduan judi menghabiskan uang mereka di arena sabungan
ayam. Ada juga warga yang bingung melihat uang melimpah. Mereka bersaing
membeli mobil keluaran terbaru. Karena tidak bisa menyetir, mobil-mobil baru
itu dibiarkan mangkrak di bawah pohon waru di halaman rumah.
Bukan cuma tanah milik warga yang diincar
investor, tetapi juga tanah milik adat dan pelaba pura yang berlokasi di
pinggiran pantai berpasir putih. Tanah pelaba pura seluas satu hektar itu
sangat menggiurkan investor karena cocok dipakai untuk kawasan hotel. Tapi
rencana investor terganjal oleh ketidaksediaan Mangku Teguh menandatangani
surat persetujuan pembebasan tanah. Padahal satu minggu lalu dalam sebuah paruman
(rapat) desa tokoh-tokoh adat dan warga telah setuju dan bersedia menjual tanah
adat dan pelaba pura yang ditaksir investor. Sayangnya, ketika paruman digelar
Mangku Teguh tidak hadir karena sakit rematiknya kambuh.
Keputusan paruman itu juga yang
membuat Mangku Teguh murung. Ia kecewa dengan tindakan tetua adat. Ia merasa
dilangkahi dan disepelekan, merasa nasehatnya tidak didengar. Namun sebelum
paruman tetua adat pun telah melakukan pendekatan pada Mangku Teguh agar ia
bersedia menandatangani surat pembebasan tanah pelaba pura. Karena ia tetap
kukuh pada pendiriannya bahwa tanah pelaba pura tidak bisa dijual, para tetua
adat yang kecewa tidak melibatkannya dalam paruman.
Meski sebagian besar warga telah
setuju, rencana investor tetap macet di tengah jalan. Investor ngotot agar
semua warga menandatangani surat persetujuan itu untuk menghindari hal-hal yang
tidak diinginkan kelak. Dan, sudah beberapa kali investor menugaskan
orang-orang suruhannya datang ke rumah Mangku Teguh untuk meminta tanda tangan
dan dukungan agar tanah pelaba pura bisa dijual. Pagi tadi orang-orang suruhan
itu kembali mendatangi rumahnya.
“Hanya Bapak yang belum tanda
tangan. Tanpa ijin Bapak, kami tidak akan bisa melaksanakan pembangunan di desa
ini,” ujar orang suruhan dengan nada ancaman yang halus.
“Itu tanah pelaba pura. Kalian tidak
bisa mengambilnya. Tanah itu milik pura yang hanya bisa dipergunakan untuk
kepentingan pura. Tidak bisa dijual!” tegas Mangku Teguh.
“Berarti Bapak tidak mendukung
pembangunan yang akan memakmurkan desa ini? Bapak menentang pemerintah!” ujar
orang suruhan itu kesal dan merasa telah kehilangan cara membujuknya.
“Jangan diartikan begitu. Saya
sama sekali tidak bermaksud menentang pemerintah. Tanah pelaba pura itu…”
Mangku Teguh tidak kuat melanjutkan
kata-katanya. Ia tercenung. Dahinya yang keriput berkerut. Jiwanya berontak.
Mangku Teguh sadar dengan siapa ia
berhadapan. Teror yang lebih menakutkan sewaktu-waktu akan mengancam dirinya.
“Coba pikirkan baik-baik, Pak! Besok pagi kami
akan kemari lagi.” Orang suruhan itu pun pergi dengan muka masam.
Mangku Teguh masih tercenung.
Lebih dari 20 tahun ia telah mengabdikan diri sebagai pemangku di pura dekat
pantai itu. Ia tidak habis pikir, mengapa orang-orang kota itu dengan seenaknya
datang ke desanya dan ingin mencaplok tanah pelaba pura. Selama ini warga desa
hidup dalam kesederhanaan dan kedamaian sebagai petani dan nelayan. Beberapa
anak muda desa juga ada yang bekerja sebagai pelayan dan tukang kebun di sebuah
hotel dekat desa. Itu sudah cukup. Tapi, sejak kedatangan investor itu, suasana
desa menjadi runyam. Kesederhanaan telah berubah wujud menjadi keserakahan.
Warga-warga desa telah tersihir oleh rupiah yang melimpah. Sekarang investor
ingin mencaplok tanah pelaba pura warisan leluhur yang hanya bisa dipergunakan
untuk kepentingan pura.
Mangku Teguh semakin sedih dan
pedih ketika anaknya juga ikut membujuk-bujuk dirinya agar bersedia
menandatangani surat itu. Bahkan tadi siang ia sempat bertengkar hebat dengan
anaknya yang mendukung rencana investor. Sebulan lalu, sebagian tanah miliknya
telah pula dijual oleh anaknya, meski ia sendiri dengan berat hati mengijinkan.
Begitulah wujud rasa sayangnya pada anak satu-satunya itu. Tapi kalau ia
dibujuk menandatangani surat persetujuan penjualan tanah pelaba pura, jelas ia
tersinggung dan marah.
“Pak, investor akan membuat desa kita makmur.
Kesempatan kerja akan terbuka lebar bagi anak-anak muda desa. Sudah tidak
jamannya lagi berpikiran kolot. Teken saja surat itu,” bujuk anaknya.
“Kau menuduhku berpikiran kolot?
Kau menyuruhku meneken surat itu?! Apa kau sudi melihat turis-turis setengah
telanjang berjemur di samping pura yang kita hormati itu? Uang telah
menyilaukan matamu, Nak!” bentak Mangku Teguh. Ia sudah tidak mampu lagi
mengendalikan emosinya. Kepalanya tiba-tiba pusing. Jantungnya berdetak lebih kencang.
“Tapi ini rencana besar, Pak.
Desa kita akan maju dan bisa bersaing dengan desa-desa sekitarnya yang lebih
dulu makmur karena pariwisata. Bapak tidak bisa menutup mata dengan kenyataan
ini. Dan, apa susahnya meneken surat itu!” debat anaknya.
Wajah tua Mangku Teguh merah
padam. Ia sangat tersinggung dengan omongan anaknya. Ia marah telah ditentang
oleh anaknya sendiri. “Kalau kau bersekongkol dengan investor itu, silakan kau
pergi dari rumah ini, dan jangan kembali lagi! Uruslah hidupmu sendiri!” bentaknya
lagi.
Dengan menggerutu anaknya pun
pergi dari rumah. Mangku Teguh semakin merasa disisihkan dan tidak dimengerti,
oleh tetua adat, warga, dan juga anaknya sendiri.
***
Memang, paruman desa telah
memutuskan menjual tanah pelaba pura kepada investor. Sebenarnya, pada mulanya
ada beberapa warga dan tetua adat yang tidak setuju. Namun, entah bagaimana,
warga yang tidak setuju menjadi manut dan ikut menandatangani surat pembebasan
tanah pelaba pura. Beberapa warga sempat mengadu pada Mangku Teguh bahwa mereka
diancam oleh orang-orang berbadan kekar dan berambut cepak.
“Saya ditodong pestol, Pak
Mangku. Diancam akan dibunuh kalau tidak setuju dengan rencana penjualan tanah
pelaba pura,” bisik seorang warga dengan wajah ketakutan.
“Rumah saya sering dilempari
batu. Dan setiap menjelang malam beberapa orang tak dikenal mondar-mandir di
depan rumah. Konon mereka intel, Pak,” ujar warga lainnya, masih dengan
berbisik.
Besok pagi orang-orang suruhan
akan datang lagi ke rumah Mangku Teguh. Mungkin ia akan diancam dan dipaksa
menandatangani surat itu di bawah todongan pestol. Tapi ia tidak takut.
Sekarang yang memenuhi pikirannya adalah menyelamatkan tanah pelaba pura dari
caplokan investor. Namun, apa yang bisa dilakukannya? Ia hanya seorang pemangku
yang hanya memiliki kekuasaan di lingkungan pura.
Mangku Teguh merupakan generasi
ketiga yang menjadi pemangku di pura itu, setelah ayah dan kakeknya.
Keluarganya memang secara garis keturunan merupakan keluarga pemangku yang
mengabdi untuk kepentingan pura itu. Dan menurut kebiasaan di desa itu,
pemangku diperbolehkan mengambil sebagian dari hasil pelaba pura yang berupa
kebun kelapa itu. Konsekuensinya Mangku Teguh wajib bertanggung jawab terhadap
kebersihan pura dan memimpin setiap ritual yang digelar di pura.
Namun, bukan itu masalahnya
Mangku Teguh tidak setuju dengan rencana investor. Ia membaca gelagat tidak
baik bagi kesucian pura kalau investor benar-benar membangun hotel dan lapangan
golf di situ. Karena di areal pelaba pura itu juga terdapat situs purbakala
yang dipakai sarana pemujaan oleh warga desa.
Sekarang Mangku Teguh merasa tidak bisa
berbuat apa-apa. Ia berhadapan dengan tangan-tangan kekuasaan yang akan
menggunakan segala cara untuk memenuhi keinginan sang pengusaha dan penguasa.
Lihat saja, sejumlah warga yang pada mulanya menolak rencana investor bisa
dibungkam dengan todongan pestol dan berbagai ancaman yang menakutkan.
***
Cahaya purnama menyelinap di
antara pelepah-pelepah kelapa dan membasuh bangunan suci pura. Seperti biasa,
Mangku Teguh melakukan kewajibannya memimpin umat melakukan persembahyangan
purnama. Malam itu tidak banyak umat yang hadir ke pura. Sejak penolakan Mangku
Teguh menandatangani surat pembebasan tanah, banyak warga yang menjadi tidak
suka padanya. Bahkan dalam paruman desa minggu depan, pimpinan adat telah
berencana akan nyepekang (mengucilkan) dan memecat Mangku Teguh dari
jabatan pemangkunya. Tentu saja atas persetujuan warga yang memang tidak berani
terang-terangan membantah keputusan tetua adat.
Persembahyangan usai lebih awal
dari biasanya. Bulan purnama kini tepat berada di atas pura. Malam telah larut.
Setelah pura sepi, Mangku Teguh pergi ke tanah pelaba yang bersebelahan dengan
pura. Bayang-bayang pohon kelapa saling silang di bawah cahaya purnama. Deru
laut sayup-sayup terdengar bagai mantra yang biasa dilantunkannya saat memimpin
persembahyangan umat.
Kebun kelapa itu diselingi beberapa pohon waru
yang rindang. Ada juga sepetak kebun bangkuang dan ketela rambat. Mangku Teguh
duduk tercenung di bawah pohon waru. Kenangan masa remaja kembali berkelebat
dalam benaknya yang telah tua. Dulu ayahnya sering mengajaknya memetik kelapa
di kebun itu untuk keperluan upacara di pura. Sambil memungut kelapa, ayahnya
sering berpesan bahwa tanah pelaba pura merupakan kawasan yang wajib dijaga
dari orang-orang serakah yang ingin memperebutkannya.
“Suatu saat nanti, mungkin kau
yang akan dipilih menjadi pemangku. Kau pun akan mengemban tanggung jawab
menjaga dan merawat tanah pelaba pura. Tapi ingat, tanah itu milik pura dan
hasilnya dipergunakan untuk keperluan pura. Sebagai imbalan atas pengabdianmu
jadi pemangku, kau juga berhak sedikit dari hasil tanah itu untuk menghidupi
keluargamu nantinya,” tutur ayahnya.
Ketika pikirannya ruwet ia juga
sering menyepi di kebun kelapa itu. Terkadang juga bengong sendiri di pinggiran
pantai berpasir putih dekat pura. Bunyi ombak serupa kidung mampu menenangkan
jiwanya.
Tapi kini pikirannya diliputi
kegalauan. Cepat atau lambat tanah pelaba pura
akan dicaplok investor. Besok pagi orang-orang suruhan itu akan datang
ke rumahnya. Mungkin dengan berbagai ancaman. Namun Mangku Teguh tidak takut
dengan ancaman apa pun.
“Aku tidak akan sudi meneken
surat itu. Biar aku diancam pakai pestol, aku tidak akan mundur,” seru Mangku
Teguh, seakan mengadu pada jejeran pohon kelapa di depannya. Pohon-pohon kelapa
hanya diam dan muram, seperti paham kegalauan hatinya.
Malam makin larut. Cahaya purnama
membias di permukaan laut. Mangku Teguh semakin merasa kesepian menatap cahaya
purnama yang berbinar-binar dipermainkan ombak. Kenangan pada istri tercinta
tiba-tiba melintas di benaknya.
“Seandainya kau masih hidup,
tentu kau yang paling mengerti kegalauan hatiku,” keluh Mangku Teguh. “Bahkan
anak kita satu-satunya itu telah berani menentangku. Maafkan aku karena tidak
mampu mendidiknya. Dia lebih silau gemerlap duniawi ketimbang menjaga tanah
warisan leluhurnya. Hanya kau, istriku, yang mau dan mampu memahami segala
keluh kesahku…”
Kesunyian menyelimuti kebun
kelapa. Burung hantu yang kesepian melantunkan suaranya yang mengharukan.
Cahaya purnama masih menari-nari di hamparan laut dan di pelepah-pelepah
kelapa. Perlahan Mangku Teguh melilitkan selendang di cabang pohon waru.
Mulutnya bergetar seperti mengucapkan sesuatu mantra. Pohon-pohon kelapa hanya
diam saat selendang yang biasa dipakai Mangku Teguh ke pura menjerat lehernya.
Suara debur ombak memenuhi kebun kelapa, serupa kidung yang menyejukkan
jiwa.***
Denpasar, 2005
Dimuat di Media Indonesia, 17 April 2005, dan di buku Purnama di Atas Pura (Grasindo, 2005)
No comments:
Post a Comment