Labels

Tuesday, 18 October 2011

Mangku Teguh

cerpen: Wayan Sunarta


Sejak kedatangan orang-orang berbadan tegap itu ke desanya, wajah keriput Mangku Teguh sering terlihat murung. Sakit rematiknya juga sering kambuh. Bahkan rambutnya yang separuh uban banyak yang rontok. Sementara itu, wajah-wajah warga desa tampak sumringah.

Orang-orang berbadan tegap itu sejak tiga bulan lalu telah melakukan survei dan pendekatan dengan tetua adat dan masyarakat desa. Mereka mengincar sejumlah tanah milik warga dan tanah yang berlokasi di pinggiran pantai. Di atas tanah desa itu investor yang memiliki hubungan baik dengan pemerintah pusat akan membangun fasilitas pariwisata yang konon memberikan kemakmuran bagi desa. Tentu sebagian besar warga menyambut baik rencana investor, apalagi mereka juga berkepentingan dengan industri pariwisata itu.

Warga desa beramai-ramai menjual tanah miliknya. Dan, dalam waktu yang tidak begitu lama, hampir separuh tanah desa telah jatuh ke tangan investor. Orang-orang kaya baru bermunculan di desa yang sebelumnya dikenal terbelakang itu. Beberapa warga menggunakan uang hasil penjualan tanah untuk membiayai upacara ngaben yang tertunda, merenovasi rumah menjadi lebih modern, menyekolahkan anak-anak, modal usaha kecil-kecilan, membeli mobil untuk anaknya yang sudah dewasa atau membeli tanah baru di desa lain. Warga yang kecanduan judi menghabiskan uang mereka di arena sabungan ayam. Ada juga warga yang bingung melihat uang melimpah. Mereka bersaing membeli mobil keluaran terbaru. Karena tidak bisa menyetir, mobil-mobil baru itu dibiarkan mangkrak di bawah pohon waru di halaman rumah.

Bukan cuma tanah milik warga yang diincar investor, tetapi juga tanah milik adat dan pelaba pura yang berlokasi di pinggiran pantai berpasir putih. Tanah pelaba pura seluas satu hektar itu sangat menggiurkan investor karena cocok dipakai untuk kawasan hotel. Tapi rencana investor terganjal oleh ketidaksediaan Mangku Teguh menandatangani surat persetujuan pembebasan tanah. Padahal satu minggu lalu dalam sebuah paruman (rapat) desa tokoh-tokoh adat dan warga telah setuju dan bersedia menjual tanah adat dan pelaba pura yang ditaksir investor. Sayangnya, ketika paruman digelar Mangku Teguh tidak hadir karena sakit rematiknya kambuh.

Keputusan paruman itu juga yang membuat Mangku Teguh murung. Ia kecewa dengan tindakan tetua adat. Ia merasa dilangkahi dan disepelekan, merasa nasehatnya tidak didengar. Namun sebelum paruman tetua adat pun telah melakukan pendekatan pada Mangku Teguh agar ia bersedia menandatangani surat pembebasan tanah pelaba pura. Karena ia tetap kukuh pada pendiriannya bahwa tanah pelaba pura tidak bisa dijual, para tetua adat yang kecewa tidak melibatkannya dalam paruman.

Meski sebagian besar warga telah setuju, rencana investor tetap macet di tengah jalan. Investor ngotot agar semua warga menandatangani surat persetujuan itu untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan kelak. Dan, sudah beberapa kali investor menugaskan orang-orang suruhannya datang ke rumah Mangku Teguh untuk meminta tanda tangan dan dukungan agar tanah pelaba pura bisa dijual. Pagi tadi orang-orang suruhan itu kembali mendatangi rumahnya.

“Hanya Bapak yang belum tanda tangan. Tanpa ijin Bapak, kami tidak akan bisa melaksanakan pembangunan di desa ini,” ujar orang suruhan dengan nada ancaman yang halus.

“Itu tanah pelaba pura. Kalian tidak bisa mengambilnya. Tanah itu milik pura yang hanya bisa dipergunakan untuk kepentingan pura. Tidak bisa dijual!” tegas Mangku Teguh.

“Berarti Bapak tidak mendukung pembangunan yang akan memakmurkan desa ini? Bapak menentang pemerintah!” ujar orang suruhan itu kesal dan merasa telah kehilangan cara membujuknya.

“Jangan diartikan begitu. Saya sama sekali tidak bermaksud menentang pemerintah. Tanah pelaba pura itu…”  

 Mangku Teguh tidak kuat melanjutkan kata-katanya. Ia tercenung. Dahinya yang keriput berkerut. Jiwanya berontak. Mangku Teguh  sadar dengan siapa ia berhadapan. Teror yang lebih menakutkan sewaktu-waktu akan mengancam dirinya.

 “Coba pikirkan baik-baik, Pak! Besok pagi kami akan kemari lagi.” Orang suruhan itu pun pergi dengan muka masam.

Mangku Teguh masih tercenung. Lebih dari 20 tahun ia telah mengabdikan diri sebagai pemangku di pura dekat pantai itu. Ia tidak habis pikir, mengapa orang-orang kota itu dengan seenaknya datang ke desanya dan ingin mencaplok tanah pelaba pura. Selama ini warga desa hidup dalam kesederhanaan dan kedamaian sebagai petani dan nelayan. Beberapa anak muda desa juga ada yang bekerja sebagai pelayan dan tukang kebun di sebuah hotel dekat desa. Itu sudah cukup. Tapi, sejak kedatangan investor itu, suasana desa menjadi runyam. Kesederhanaan telah berubah wujud menjadi keserakahan. Warga-warga desa telah tersihir oleh rupiah yang melimpah. Sekarang investor ingin mencaplok tanah pelaba pura warisan leluhur yang hanya bisa dipergunakan untuk kepentingan pura.

Mangku Teguh semakin sedih dan pedih ketika anaknya juga ikut membujuk-bujuk dirinya agar bersedia menandatangani surat itu. Bahkan tadi siang ia sempat bertengkar hebat dengan anaknya yang mendukung rencana investor. Sebulan lalu, sebagian tanah miliknya telah pula dijual oleh anaknya, meski ia sendiri dengan berat hati mengijinkan. Begitulah wujud rasa sayangnya pada anak satu-satunya itu. Tapi kalau ia dibujuk menandatangani surat persetujuan penjualan tanah pelaba pura, jelas ia tersinggung dan marah.
  
“Pak, investor akan membuat desa kita makmur. Kesempatan kerja akan terbuka lebar bagi anak-anak muda desa. Sudah tidak jamannya lagi berpikiran kolot. Teken saja surat itu,” bujuk anaknya.

“Kau menuduhku berpikiran kolot? Kau menyuruhku meneken surat itu?! Apa kau sudi melihat turis-turis setengah telanjang berjemur di samping pura yang kita hormati itu? Uang telah menyilaukan matamu, Nak!” bentak Mangku Teguh. Ia sudah tidak mampu lagi mengendalikan emosinya. Kepalanya tiba-tiba pusing. Jantungnya berdetak lebih kencang.

“Tapi ini rencana besar, Pak. Desa kita akan maju dan bisa bersaing dengan desa-desa sekitarnya yang lebih dulu makmur karena pariwisata. Bapak tidak bisa menutup mata dengan kenyataan ini. Dan, apa susahnya meneken surat itu!” debat anaknya.

Wajah tua Mangku Teguh merah padam. Ia sangat tersinggung dengan omongan anaknya. Ia marah telah ditentang oleh anaknya sendiri. “Kalau kau bersekongkol dengan investor itu, silakan kau pergi dari rumah ini, dan jangan kembali lagi! Uruslah hidupmu sendiri!” bentaknya lagi.

Dengan menggerutu anaknya pun pergi dari rumah. Mangku Teguh semakin merasa disisihkan dan tidak dimengerti, oleh tetua adat, warga, dan juga anaknya sendiri.

***

Memang, paruman desa telah memutuskan menjual tanah pelaba pura kepada investor. Sebenarnya, pada mulanya ada beberapa warga dan tetua adat yang tidak setuju. Namun, entah bagaimana, warga yang tidak setuju menjadi manut dan ikut menandatangani surat pembebasan tanah pelaba pura. Beberapa warga sempat mengadu pada Mangku Teguh bahwa mereka diancam oleh orang-orang berbadan kekar dan berambut cepak.

“Saya ditodong pestol, Pak Mangku. Diancam akan dibunuh kalau tidak setuju dengan rencana penjualan tanah pelaba pura,” bisik seorang warga dengan wajah ketakutan.

“Rumah saya sering dilempari batu. Dan setiap menjelang malam beberapa orang tak dikenal mondar-mandir di depan rumah. Konon mereka intel, Pak,” ujar warga lainnya, masih dengan berbisik.

Besok pagi orang-orang suruhan akan datang lagi ke rumah Mangku Teguh. Mungkin ia akan diancam dan dipaksa menandatangani surat itu di bawah todongan pestol. Tapi ia tidak takut. Sekarang yang memenuhi pikirannya adalah menyelamatkan tanah pelaba pura dari caplokan investor. Namun, apa yang bisa dilakukannya? Ia hanya seorang pemangku yang hanya memiliki kekuasaan di lingkungan pura.

Mangku Teguh merupakan generasi ketiga yang menjadi pemangku di pura itu, setelah ayah dan kakeknya. Keluarganya memang secara garis keturunan merupakan keluarga pemangku yang mengabdi untuk kepentingan pura itu. Dan menurut kebiasaan di desa itu, pemangku diperbolehkan mengambil sebagian dari hasil pelaba pura yang berupa kebun kelapa itu. Konsekuensinya Mangku Teguh wajib bertanggung jawab terhadap kebersihan pura dan memimpin setiap ritual yang digelar di pura.

Namun, bukan itu masalahnya Mangku Teguh tidak setuju dengan rencana investor. Ia membaca gelagat tidak baik bagi kesucian pura kalau investor benar-benar membangun hotel dan lapangan golf di situ. Karena di areal pelaba pura itu juga terdapat situs purbakala yang dipakai sarana pemujaan oleh warga desa.
  
Sekarang Mangku Teguh merasa tidak bisa berbuat apa-apa. Ia berhadapan dengan tangan-tangan kekuasaan yang akan menggunakan segala cara untuk memenuhi keinginan sang pengusaha dan penguasa. Lihat saja, sejumlah warga yang pada mulanya menolak rencana investor bisa dibungkam dengan todongan pestol dan berbagai ancaman yang menakutkan.

***

Cahaya purnama menyelinap di antara pelepah-pelepah kelapa dan membasuh bangunan suci pura. Seperti biasa, Mangku Teguh melakukan kewajibannya memimpin umat melakukan persembahyangan purnama. Malam itu tidak banyak umat yang hadir ke pura. Sejak penolakan Mangku Teguh menandatangani surat pembebasan tanah, banyak warga yang menjadi tidak suka padanya. Bahkan dalam paruman desa minggu depan, pimpinan adat telah berencana akan nyepekang (mengucilkan) dan memecat Mangku Teguh dari jabatan pemangkunya. Tentu saja atas persetujuan warga yang memang tidak berani terang-terangan membantah keputusan tetua adat.

Persembahyangan usai lebih awal dari biasanya. Bulan purnama kini tepat berada di atas pura. Malam telah larut. Setelah pura sepi, Mangku Teguh pergi ke tanah pelaba yang bersebelahan dengan pura. Bayang-bayang pohon kelapa saling silang di bawah cahaya purnama. Deru laut sayup-sayup terdengar bagai mantra yang biasa dilantunkannya saat memimpin persembahyangan umat.

 Kebun kelapa itu diselingi beberapa pohon waru yang rindang. Ada juga sepetak kebun bangkuang dan ketela rambat. Mangku Teguh duduk tercenung di bawah pohon waru. Kenangan masa remaja kembali berkelebat dalam benaknya yang telah tua. Dulu ayahnya sering mengajaknya memetik kelapa di kebun itu untuk keperluan upacara di pura. Sambil memungut kelapa, ayahnya sering berpesan bahwa tanah pelaba pura merupakan kawasan yang wajib dijaga dari orang-orang serakah yang ingin memperebutkannya.

“Suatu saat nanti, mungkin kau yang akan dipilih menjadi pemangku. Kau pun akan mengemban tanggung jawab menjaga dan merawat tanah pelaba pura. Tapi ingat, tanah itu milik pura dan hasilnya dipergunakan untuk keperluan pura. Sebagai imbalan atas pengabdianmu jadi pemangku, kau juga berhak sedikit dari hasil tanah itu untuk menghidupi keluargamu nantinya,” tutur ayahnya.

Ketika pikirannya ruwet ia juga sering menyepi di kebun kelapa itu. Terkadang juga bengong sendiri di pinggiran pantai berpasir putih dekat pura. Bunyi ombak serupa kidung mampu menenangkan jiwanya.

Tapi kini pikirannya diliputi kegalauan. Cepat atau lambat tanah pelaba pura  akan dicaplok investor. Besok pagi orang-orang suruhan itu akan datang ke rumahnya. Mungkin dengan berbagai ancaman. Namun Mangku Teguh tidak takut dengan ancaman apa pun.

“Aku tidak akan sudi meneken surat itu. Biar aku diancam pakai pestol, aku tidak akan mundur,” seru Mangku Teguh, seakan mengadu pada jejeran pohon kelapa di depannya. Pohon-pohon kelapa hanya diam dan muram, seperti paham kegalauan hatinya.

Malam makin larut. Cahaya purnama membias di permukaan laut. Mangku Teguh semakin merasa kesepian menatap cahaya purnama yang berbinar-binar dipermainkan ombak. Kenangan pada istri tercinta tiba-tiba melintas di benaknya.

“Seandainya kau masih hidup, tentu kau yang paling mengerti kegalauan hatiku,” keluh Mangku Teguh. “Bahkan anak kita satu-satunya itu telah berani menentangku. Maafkan aku karena tidak mampu mendidiknya. Dia lebih silau gemerlap duniawi ketimbang menjaga tanah warisan leluhurnya. Hanya kau, istriku, yang mau dan mampu memahami segala keluh kesahku…”

Kesunyian menyelimuti kebun kelapa. Burung hantu yang kesepian melantunkan suaranya yang mengharukan. Cahaya purnama masih menari-nari di hamparan laut dan di pelepah-pelepah kelapa. Perlahan Mangku Teguh melilitkan selendang di cabang pohon waru. Mulutnya bergetar seperti mengucapkan sesuatu mantra. Pohon-pohon kelapa hanya diam saat selendang yang biasa dipakai Mangku Teguh ke pura menjerat lehernya. Suara debur ombak memenuhi kebun kelapa, serupa kidung yang menyejukkan jiwa.***


Denpasar, 2005


Dimuat di Media Indonesia, 17 April 2005, dan di buku Purnama di Atas Pura (Grasindo, 2005)

No comments:

Post a Comment