Cerpen: Wayan Sunarta
Sudah lebih
dua puluh lima
tahun Pak Tabah bekerja sebagai penjaga kamar mayat. Rentang waktu yang lumayan
panjang itu, dia lewati dengan penuh ketekunan, kegembiraan serta rasa tanggung
jawab sebagai penjaga kamar mayat. Ia pun telah menerima penghargaan atas
pengabdiannya yang lama dari rumah sakit tempatnya bekerja. Penjaga-penjaga
kamar mayat yang junior bangga dan hormat kepadanya. Mereka telah menganggap
Pak Tabah sebagai bapak mereka sendiri.
Namun, akhir-akhir
ini, Pak Tabah berubah menjadi pemurung. Seakan-akan hari-hari terasa berat
dalam kepalanya yang tua. Hari-hari terasa kelabu dalam hatinya yang resah.
Hari-hari terasa begitu menekan pundaknya, begitu menyiksa.
Pak Tabah yang
dikenal tabah dan ceria tiba-tiba menjadi orang tua yang muram. Bukan karena
urusan dengan mayat ia menjadi begitu pemurung. Bukan pula karena tugas-tugas
rumah sakit yang tidak becus dia kerjakan. Bukan. Bukan karena pekerjaannya.
Tapi kemurungannya telah membuat sistem di kamar mayat jadi sedikit kacau.
Bayangkan,
sudah lebih dua puluh lima
tahun ia mengurusi segala persoalan dan keperluan mayat-mayat yang masuk ke
kantornya. Setiap mayat yang masuk dan yang keluar ia data dengan telaten. Dia
tidak bersikap diskriminatif pada mayat-mayat itu. Semua jenis mayat, baik
mayat korban kecelakaan lalu-lintas, korban pembunuhan, korban perkosaan,
korban narkoba, semuanya diurus dengan baik. Bahkan mayat yang sudah membusuk
atau yang tinggal rangka saja juga diurus dengan sangat baik dan telaten.
Semuanya dicatat dalam buku yang mirip buku tamu. ''Semuanya ini untuk
memudahkan petugas visum dan keluarga si mayat,'' ujarnya suatu kali dengan
nada datar.
Namun, kali
ini, Pak Tabah benar-benar nampak tidak begitu bersemangat mengurus mayat yang
masuk maupun yang keluar. Wajahnya yang tua masih nampak murung. Pak Tabah
melewatkan waktunya dengan melamun di meja kantornya. Matanya yang letih
memandang kosong ke tumpukan peti-peti mati.
Kembali ia
terkenang pada istri tercintanya. Kembali ia teringat pada putra semata wayang
yang juga dicintainya. Dua orang yang dicintainya telah pergi meninggalkannya
dalam kesepian dan kepedihan yang meletihkan. Istrinya telah lama pergi ke alam
baka. Sedangkan anaknya entah pergi ke mana setelah peristiwa seminggu yang
lalu.
''Bos Tua, ada
mayat baru lagi. Masih segar dan hangat,'' goda Badil, petugas junior di kamar
mayat. Pak Tabah hanya tersenyum hambar menanggapi lelucon juniornya itu. Tidak
ada gairah bercanda pada wajahnya. Hanya bola matanya yang sudah rabun masih
terus menerawang kosong pada tumpukan peti-peti mati di ruangan itu.
Badil mencoba
mendekati Pak Tabah, mencoba mencari sebab kenapa seniornya menjadi begitu
murung. Sudah dua tahun Badil bekerja di rumah sakit itu sebagai penjaga kamar
mayat. Badil sudah merasa akrab dengan Pak Tabah, seniornya. Seperti kebanyakan
petugas di rumah sakit itu, Badil mengenal Pak Tabah sebagai orang tua yang
tabah dan periang. Itulah sebabnya Badil merasa aneh dengan kondisi Pak Tabah
sekarang. Seniornya banyak mengajarinya bagaimana memegang mayat agar tidak
takut atau jijik. Bagaimana memandikan mayat korban AIDS agar tidak tertular.
Bagaimana membungkus mayat dengan rapi. Dan masih banyak hal lain yang
diwariskan seniornya kepadanya.
Dulu sebelum
Pak Tabah menjadi begitu murung, Badil suka sekali mengajak Pak Tabah bermain
catur. Begitulah, kalau kebetulan mereka dapat tugas malam mereka selalu
melewati malam dengan bermain catur. Walaupun Badil pernah menjadi juara catur
di kotanya, namun ia tidak berdaya menghadapi serangan-serangan Pak Tabah yang
alot dan mematikan. Seniornya selalu bisa menyudahi perlawanannya dengan
beberapa langkah saja.
Tapi hari-hari
belakangan ini tidak ada lagi permainan catur. Pak Tabah yang biasanya periang
kini lebih suka memandang kosong ke peti-peti mati yang bersusun di ruangan
itu.
''Aku tidak
menduga, putraku yang semata wayang, yang sangat kucintai dan kubanggakan itu,
kini begitu menyakitkan hatiku,'' Pak Tabah mulai membuka mulut. Badil yang
dari tadi menemaninya hanya diam mendengarkan ia berkeluh kesah. ''Hampir semua
barang-barang berharga di rumah dijualnya tanpa sepengetahuanku. Televisi,
tape, sepeda motor, sampai kalung dan cincin mendiang ibunya, semua ludes
dijualnya. Uang hasil penjualan barang-barang tersebut dihabiskannya, entah
untuk apa. Dan, hampir setiap hari dia minta uang, entah untuk keperluan apa. Aku
pun merasa bodoh tidak menanyakan untuk keperluan apa uang itu.''
Mata Pak Tabah
yang tua masih terus menerawang. Badil masih berdiam diri.
''Aku sangat
mencintainya melebihi cintaku kepada diriku sendiri. Tapi kini dia benar-benar
menyakiti hatiku. Dia yang dulunya penurut mulai berani melawanku. Mulai berani
kurang ajar pada ayahnya.''
Badil masih
terus dengan posisi diamnya, namun mencoba menerka ke mana arah keluh kesah Pak
Tua itu.
''Seminggu lalu
dia minggat dari rumah dan mengancam tidak akan pulang untuk selamanya jika aku
tidak bisa menyediakan uang satu juta untuknya.''
''Bapak sudah
mendapatkan uang sebanyak itu?'' tanya Badil sedikit kaget.
''Dari mana
aku mesti mendapatkan uang sebanyak itu. Bahkan gajiku pun tidak cukup untuk
menuruti permintaannya.'' Orang tua itu mendesah, seakan ingin menghembuskan
semua beban berat yang menghuni relung jiwanya.
''Nanti juga
putra Bapak kembali,'' Badil mencoba menghibur kegundahan
seniornya. Tapi Pak Tabah sudah seperti kehilangan ketabahannya. Semangat kerjanya juga sudah menurun sejak kepergian putranya itu.
seniornya. Tapi Pak Tabah sudah seperti kehilangan ketabahannya. Semangat kerjanya juga sudah menurun sejak kepergian putranya itu.
''Aku sangat
hafal tabiat anak itu. Dia begitu keras kepala dengan sikapnya. Sangat tipis kemungkinan
dia kembali ke rumah. Itulah sebabnya kenapa aku menjadi gundah begini.''
''Bapak sudah
lapor polisi?''
''Sudah, tapi
belum ada jawaban.''
''Apa yang
bisa saya bantu, Pak?'' Badil mencoba berbasa-basi menawarkan tenaga untuk
mencari putra Pak Tabah. Tapi dalam hati kecilnya ia sendiri tidak merasa yakin
bisa membantu Pak Tabah.
''Terima
kasih, Dik Badil. Saya akan terus menungggu sampai dia kembali. Saya juga ingin
tahu sampai sejauh mana dia tega menyakiti hati ayahnya.''
Hari-hari
terus berjalan. Minggu-minggu terus merangkak. Pak Tabah dan Badil bekerja
sebagaimana biasanya. Mengurusi segala persoalan dan keperluan mayat-mayat yang
keluar-masuk ke kantornya. Hanya saja Pak Tabah masih tetap dengan wajahnya
yang tua dan murung. Kondisi tubuhnya juga semakin menurun. Ia jadi sering
sakit. Putranya belum juga kembali. Sudah hampir tiga minggu anak semata
wayangnya minggat dari rumahnya. Berbagai jenis mayat setiap hari berdatangan
diantar petugas rumah sakit atau pihak kepolisian. Pak Tabah dan Badil, seperti
biasa, sibuk dengan tugas-tugasnya mengurusi mayat-mayat itu. Memandikan,
mencatat dan mengemasnya dalam peti mati. Hingga akhirnya Pak Tabah benar-benar
jatuh sakit.
Suatu senja,
ketika Badil sedang enak-enaknya istirahat, datang mayat baru diantar petugas
rumah sakit dan beberapa polisi. Menurut petugas yang mengantar, mayat tersebut
ditemukan di sebuah kamar kos di tepi kota.
Mayat berjenis kelamin laki-laki itu tidak berindentitas. Dari perawakannya
diperkirakan mayat tersebut berusia kurang-lebih 20 tahun. Dari mulut mayat
keluar buih. Dokter yang melakukan visum memperkirakan mayat tersebut sebagai
korban over dosis heroin atau sejenisnya.
Badil dan
petugas rumah sakit mengantar mayat yang akan digelari Mr. X tersebut ke
''kamar kos''-nya yang baru. Kalau tidak ada keluarga yang mengakui mayat itu,
sudah dapat dipastikan si mayat akan berjasa besar dalam ilmu anatomi yang
dipelajari oleh para mahasiswa fakultas kedokteran.
Setelah
mengemasi mayat dalam peti es, Badil termenung sendiri di kamar mayat itu.
Pikirannya melayang menjelajahi sosok mayat Mr.X yang telah dikemasnya itu.
Mayat korban over dosis narkoba baginya sudah biasa di kota ini. Tapi mayat yang satu ini mengganggu
pikirannya. Ia teringat cerita Pak Tabah tentang anaknya yang minggat. Ia
terkenang wajah tua yang selalu murung sejak kepergian anak yang sangat
dicintainya.
Badil masih
termenung. Kini wajahnya tambah murung.
''Mudah-mudahan
besok Pak Tabah sudah bisa bekerja kembali. Aku akan memperkenalkannya dengan
Mr.X,” gumam Badil.
Tapi, Pak
Tabah telah jatuh sakit. Sejak mengurus sekian banyak mayat yang datang
beruntun, kondisi tubuhnya mulai menurun. Kini ia hanya bisa terbaring di kamarnya
ditemani keponakannya. Pak Tabah masih setia menunggu putra yang sangat
dicintainya itu kembali ke rumah. Ia hanya bisa menunggu.
Tiga hari
kemudian, Pak Tabah sudah bisa masuk kantor lagi. Meski kondisi tubuhnya belum
sepenuhnya sehat, namun dia merasa tidak enak membiarkan Badil bekerja
sendirian. Tiba di kantor, Badil menyambutnya dengan suka cita. Setelah
menanyakan kondisi kesehatan Pak Tabah, Badil mengajak seniornya itu menjenguk
Mr.X yang selama ini mengusik pikirannya. Mr.X yang berumur 20 tahun itu telah
membeku dalam peti es.
Badil membuka
peti. Kemudian, perlahan tangannya menyingkap plastik yang membungkus mayat itu.
“Ini, Pak, mayat korban over dosis itu. Mayat ini belum ada yang mengakui. Apa
Bapak kenal dengan mayat ini?”
Pak Tabah terkesiap. Wajahnya yang pucat
karena sakit, kini semakin pucat saja. Matanya yang tua meneliti dengan seksama
raut wajah mayat yang telah kisut itu. “Aku kenal mayat ini! Ya, aku pernah
mengenalnya. Dia beberapa kali pernah main ke rumah. Dia salah satu kawan anakku!”
Tubuh Pak
Tabah gemetar. Badil membantunya duduk di kursi rotan. Wajah tuanya semakin
pucat. “Anakku…anakku…di mana kamu, Nak?!” gumamnya. Badan Pak Tabah kembali
demam. Badil menatap wajah seniornya dengan sedih. Dia mencoba menghibur Pak
Tabah, meski dia tahu kata-kata hiburan yang menguatkan hati itu tidak akan
berguna lagi. Maka, dibiarkannya Pak Tabah tertidur di kursi. Mungkin
kesehatannya belum pulih, pikir Badil.
Menjelang
sore, petugas rumah sakit kembali disibukkan dengan mayat yang sudah membiru
dan bengkak, diantar mobil ambulance dan polisi. Mayat itu ditemukan di sebuah
rumah kosong di tepian kota,
tidak jauh dari penemuan mayat Mr.X
tempo hari.
Badil
membangunkan Pak Tabah agar bisa segera mengurus mayat setengah busuk itu.
Dengan tubuh masih lemas, Pak Tabah meneliti mayat itu, dan tiba-tiba saja dia
meraung, kemudian menangis histeris. “Ini anakku…! Ini anakku…!!”
Pak Tabah
rebah. Badil berusaha menahan tubuh Pak Tabah dan membaringkannya di lantai.
Beberapa saat, Badil dan petugas rumah sakit panik. Mereka tambah panik ketika
mengetahui denyut nadi dan detak jantung Pak Tabah telah berhenti. Bapak dan
anak bertemu di kamar mayat. Keduanya telah menjadi mayat.***
Denpasar, 2001
(Bali Post, 4 Mei 2003)
No comments:
Post a Comment