cerpen : Wayan Sunarta
Muli
sikep yang mengayuh perahu itu kembali muncul dari balik gumpalan kabut.
Dia mengayuh perahu sangat tenang, penuh irama, penuh rasa, seakan menghayati
gerak kabut yang perlahan tersibak oleh alunan laju perahu.
Dia terus mengayuh perahu menyibak permukaan danau. Air danau berkecipak bercumbu dengan dayung. Kabut masih setia membuntutinya. Bentangan gemunung penuh sapuan warna kabut seperti lukisan Cina kuno, menghamparkan keindahan yang ganjil di sekeliling danau. Tiga ekor walet melayang-layang di udara, sesekali menyambar permukaan air.
Dia terus mengayuh perahu menyibak permukaan danau. Air danau berkecipak bercumbu dengan dayung. Kabut masih setia membuntutinya. Bentangan gemunung penuh sapuan warna kabut seperti lukisan Cina kuno, menghamparkan keindahan yang ganjil di sekeliling danau. Tiga ekor walet melayang-layang di udara, sesekali menyambar permukaan air.
Namun, permukaan danau tampak kelam. Kabut masih
menyelimuti, putih, putih, putih. Kabut seperti resah. Muli sikep yang
berambut panjang terurai itu masih hanyut dengan kayuhan perahu. Entah apa yang
dipikirkannya? Parasnya yang anggun nampak murung. Sepasang matanya yang sendu
mengharukan setiap mata lelaki yang beradu tatap dengannya.
Muli sikep
itu telah sampai di tepi danau. Dia menarik perahunya dan menambatkan pada
sebatang pokok pohon. Betisnya yang kuning langsat sebagian terbenam dalam air
danau yang mulai diterpa cahaya matahari pagi yang mencoba menerobos kabut.
Dengan anggun dia meletakkan dayungnya di dalam perahu. Dia berjalan perlahan
menuju nuwo yang tak jauh dari pinggir danau.
***
Beberapa hari belakangan
ini aku suka mengamati muli sikep itu. Aku suka mengamati kehidupan
sehari-harinya. Mungkin saja aku suka mengamati bukan karena kehidupan
sehari-harinya. Bisa jadi karena parasnya yang ayu, namun seringkali mendung,
seakan menyimpan duka yang maha dalam, tak pernah terduga seperti lubuk danau
yang kelabu.
Tiyuh
di tepi danau tempat aku tinggal terdiri dari sekitar 66 kepala keluarga. Tidak
begitu banyak seperti tiyuh-tiyuh lainnya di lembah pegunungan
ini. Nuwo-nuwo mereka sangat sederhana. Dinding nuwo
disusun dari kayu yang memang mudah didapat di hutan di sekitar danau. Atapnya
juga dari pelepah kayu yang biasa dipakai atap oleh penduduk di daerah
pegunungan.
Aku
sudah mulai akrab dengan penduduk di tiyuh. Mungkin mereka merasa senang
tiyuhnya dikunjungi dan mau dihuni oleh orang seperti aku, yang kata
mereka orang kota. Aku pun sangat memanfaatkan keakraban itu untuk lebih
menyelami kehidupan tiyuh yang menarik hatiku. Terlebih lagi perangai muli
sikep yang suka mengayuh perahu setiap senja.
Hampir
setiap pagi atau senja aku nongkrong di sebuah warung kopi sederhana di pinggir
danau. Ah, alangkah nikmatnya kopi panas yang masih mengepul karena air
seduhannya langsung dituang dari panci yang masih berada di tungku menyala.
Seluruh tubuh panci itu hitam legam karena jelaga bekas asap pembakaran kayu.
Ah, seandainya kopi yang kuminum ini diseduh oleh muli sikep itu.
Aku
menghirup udara pagi dalam-dalam, menyerap suasana tiyuh yang terasa
masih murni. Sesekali mataku tertuju pada sebuah nuwo tempat muli
sikep itu menghilang. Apa yang sedang dikerjakannya di dalam biliknya
sepagi ini? Mengapa dia tidak pergi ke kebun? Mengapa sepagi ini dia sudah
mengurung diri dalam biliknya? Apa gerangan yang dipikirkannya? Ah, kenapa aku
jadi melamunkan muli sikep itu?
Kabut
masih terus turun menyungkupi tiyuh yang telah membuat aku jatuh cinta
ini. Kedatanganku ke tiyuh ini untuk suatu urusan penelitian sosiologi,
sekalian menghindar dari keramaian kota, dan berlibur di tiyuh mungil
ini. Entah mengapa kecintaanku pada keindahan begitu mencuat dalam jiwaku. Kota
yang sumpek begitu menyesakkan jiwaku.
Muli
sikep itu menyembulkan parasnya yang anggun namun muram dari balik pintu nuwo.
Aku terus memperhatikannya. Tapi dia sama sekali tidak menoleh ke arah warung
ini. Matanya yang indah dihiasi kantong mata yang lunak menatap sendu ke arah
danau yang seluruh permukaannya kelabu. Kabut masih betah menari di atas danau.
Apakah muli sikep itu punya kenangan khusus dengan danau itu?
Aku
mencoba melambaikan tangan memanggil muli sikep yang kini termangu di ijan
nuwo. Namun agaknya dia tidak memperhatikan lambaian tanganku. Matanya
yang sayu masih lekat menatap danau yang kelabu. Perilakunya yang ganjil
membuat aku semakin penasaran. Aku harus mencari keterangan tentang dirinya.
Namun setiap penduduk tiyuh yang aku tanya tentang dirinya selalu saja
mengalihkan obrolan. Penduduk seakan sengaja menghindari setiap pembicaraan
tentang muli sikep itu.
Apakah
muli sikep itu seorang yang bermasalah dalam tiyuh ini? Melihat
parasnya yang anggun apa mungkin dia bermasalah dengan warga tiyuh
sehingga harus dikucilkan? Aku menyeruput kopiku dan kembali ke nuwo,
sambil terus memikirkan muli sikep yang aneh itu. Aku memang pernah
mencoba mendekatinya dan mengajaknya ngobrol, namun dia selalu menjauh, seakan
menghindari orang. Hal inilah yang membuat aku heran, kenapa ada muli sikep
yang minder dan berusaha menghindar dari keramaian, padahal dia hidup dalam
sebuah tiyuh yang penuh tata krama dan memegang teguh tradisi Pi’il
Pesanggiri, seperti yang tersurat dalam kitab Kuntara Raja Niti
dan buku Handak.
Senja
tiba. Cahayanya begitu muram. Aku berdiri di tepi danau menikmati angin yang
memainkan kabut di permukaan danau. Kabut hadir seperti hantu, tidak mengenal
waktu, di danau kelabu ini. Muli sikep kembali muncul dari dalam nuwo.
Masih dengan rambutnya yang terurai hampir menyentuh betisnya. Dia mulai
menarik perahunya ke tengah danau. Dengan tenang dia duduk dalam perahu dan
mengayuh ke tengah danau. Perlahan. Sangat perlahan. Penuh irama. Lalu, kabut
yang pekat menelan perahu dan tubuhnya.
Aneh, ke mana muli
sikep itu pergi? Jelas dia tidak hendak menjala ikan seperti yang sering
dilakukan nelayan di tiyuh ini. Saat mengayuh perahu dia tidak membawa
peralatan menjala ikan. Muli sikep itu kini telah menghilang dalam kabut
senja. Apakah di balik kabut itu ada sebuah tiyuh, atau mungkin
kerajaan? Apa mungkin muli sikep itu peri danau yang menyamar, yang
datang ke tiyuh ini untuk suatu keperluan? Mencari tumbal?
Danau
hanya menyisakan kabut. Muli sikep itu telah lenyap dengan perahunya.
Aku kembali ke nuwo dengan perasaan yang tak menentu. Muli sikep
itu benar-benar telah menyita perhatianku. Senja telah pulang ke sarangnya, di
balik kegelapan malam. Nyanyian serangga hutan membuat tiyuh ini penuh
diliputi kegaiban.
Bulan
bercahaya penuh, mengambang di atas danau. Samar-samar terdengar talo balak
dan kulintang pekhing saling bersahutan. Mungkin sedang ada pesta canggot
bakha di sebuah sesat di tiyuh sebelah. Oh…alangkah cerianya
pesta itu. Muli mekhanai yang ayu dan cantik-cantik akan larut dalam
kegembiraan, berebut perhatian dan berlomba menunjukkan kepiwaian menyusun
kata-kata dalam pisaan. Dan tentu para bujang lelakinya akan sibuk
menata gerak menunjukkan jurus-jurus gemulai khakot. Tentu tiyuh
akan riuh dengan tetabuh talo balak dan kulintang pekhing saat
purnama penuh seperti malam ini. Kenapa aku tidak ke tiyuh sebelah saja
menghibur diri? Duh…kenapa pikiranku diliputi oleh muli sikep itu?
Cahaya
lampu minyak jarak begitu gigih berjuang menerangi ruang warung. Aku duduk di
pojok warung. Asap kopi mengepul dari cangkir tembikar di depanku. Seperti
biasa, aku nongkrong bersama lelaki tiyuh, baik yang tua maupun yang
muda. Ngobrol ngarol-ngidul. Dari orang tiyuh di warung ini, aku mencoba
menggali informasi perihal muli sikep aneh itu. Namun sia-sia. Aku tetap
tidak mendapatkan hasil apa-apa. Terasa sekali orang tiyuh sangat enggan
atau mungkin tabu membicarakan muli sikep itu.
Dengan pikiran
letih dan penasaran terhadap muli sikep itu, aku balik ke nuwo.
Lebih baik aku membawa semua kepenatan pikiran ini ke dalam tidur yang nyenyak.
Udara dingin diam-diam merayap turun. Apakah muli sikep itu tidak
kedinginan di tengah danau berkabut? Dasar perempuan sinting, pikirku.
"Kemana
saja tadi, Nak?" seorang tua yang agaknya aku kenal menyapaku. Pakaian
lelaki tua itu sangat lusuh, seperti baru tiba dari perjalanan yang sangat
jauh.
"Tidak
ke mana-mana, Pak. Cuma duduk-duduk di pinggir danau," sahutku sesopan
mungkin. Sebagai penghuni baru di tiyuh ini aku berusaha menjaga setiap
perkataan agar tidak menyinggung perasaan warga.
"Anak
tadi melihat perempuan yang mengayuh perahu itu?"
"Iya,
Pak. Dia mengayuh perahu ke tengah danau dan menghilang di balik kabut. Dia
mencari apa ya, kok mengayuh perahu ke tengah danau hingga malam?" aku
mencoba menggali perihal muli sikep aneh itu.
Seketika air muka lelaki tua itu berubah. Bibirnya yang
kelabu terlihat gemetar. Nampak sekali ia enggan berkomentar. Namun akhirnya,
agak terpaksa, meluncur juga penjelasan dari bibir yang gemetar itu.
"Nak,
perempuan itu sesungguhnya peri danau yang menyamar menjadi manusia. Peri danau
yang suka mengelabui laki-laki dengan parasnya yang selalu nampak anggun namun
muram. Hati-hati, Nak! Muli sikep
itu sangat berbahaya! Jangan sampai Anak terbujuk rayuannya di ajak berperahu
ke tengah danau!" bisik bapak tua itu, pelan sekali, takut kalau
kata-katanya didengar oleh orang, bahkan mungkin oleh kabut sekali pun.
Aku pun
semakin tertarik menggali lebih banyak informasi perihal muli sikep yang
setiap senja menghilang di balik kabut itu.
"Sudah
tiga orang pemuda mati tenggelam setelah ngobrol-ngobrol dengan muli sikep itu," ujar pak
tua itu, masih dengan berbisik, ia menoleh kiri-kanan, cemas kalau ada yang menguping
bisikannya.
"Kejadiannya
kapan, Pak?"
"Sebulan
lalu, sebelum Anak tinggal di tiyuh ini. Tiga pemuda itu tenggelam
ketika mencari ikan pada malam hari. Tiba-tiba saja perahunya bocor di tengah
danau dan badai muncul bersama kabut yang pekat. Tiga hari kemudian mayatnya
baru ditemukan di seberang danau oleh warga yang kebetulan mencari ikan. Saat
ditemukan mengapung, mayatnya hampir membusuk dengan mata yang seperti habis
dicungkil."
"Mengerikan!"
ujarku pelan bercampur heran. Aku bergidik mendengar cerita menyeramkan itu.
"Peri danau itu sedang mencari tumbal untuk
dipersembahkan kepada ratu di kerajaannya. Biasanya setiap menjelang bulan
purnama."
"Lalu apa yang dilakukan muli sikep
itu di balik kabut, Pak?" tanyaku penasaran.
Lelaki tua itu
sejenak terdiam. Dari keningnya yang berkerut, tampak ia sedang mengingat-ingat
sesuatu.
"Menurut
nelayan yang tidak sengaja melihatnya, sampai di tengah danau dia akan melepas
dayungnya dan menyelam ke dalam danau."
"Perahunya
ditambatkan di mana?"
"Perahu
itu akan menghilang dan muncul kembali dengan sendirinya, menjemputnya pagi
hari dan membawanya ke tiyuh."
"Kenapa
setiap dia muncul di pagi hari wajahnya selalu murung?"
"Rupanya
Anak sering mengamati peri danau itu, ya?" selidiknya.
"Tidak
juga, Pak. Saya hanya beberapa kali melihatnya muncul dari balik kabut danau
itu?" kataku sedikit berbohong.
"Anak
harus menghindari muli sikep itu. Berbahaya bagi jiwa Anak
sendiri," pinta lelaki tua itu. "Kami tidak ingin Anak bernasib
seperti tiga pemuda yang mati tenggelam itu."
Setelah
berkata begitu, perlahan lelaki tua itu lenyap ditelan kabut danau yang semakin
kelabu. Tiba-tiba saja tubuhku menggigil dan ada bagian dari tubuhku terasa
sangat dingin. Aku terbangun
tengah malam karena tetesan air hujan yang menerpa perutku. Ternyata atap nuwo
ini ada yang bocor dan belum sempat diperbaiki oleh yang punya. Hujan deras di
luar. Air leluasa menerobos atap nuwo yang bocor dan menerpa perutku.
Udara sangat dingin. Rupanya karena badan dan pikiran letih, rasa penasaranku
terhadap muli sikep itu terbawa sampai ke dalam mimpi. Aneh, siapa
lelaki tua yang muncul dalam mimpiku tadi?
Apa benar muli sikep itu peri danau?
Lama aku berpikir, apa sebenarnya yang sedang melanda tiyuh ini. Kenapa
pikiranku selalu saja tertuju kepada muli sikep yang mengayuh perahu
itu. Kalau benar muli sikep itu peri danau yang jahat, bisa saja selama
ini dia berusaha menghipnotisku, agar aku terjebak pada segala bujuk rayunya.
Kemudian nasibku akan sama dengan tiga pemuda tiyuh ini: mati tenggelam
di dasar danau, menjadi tumbal dewi danau!
Aku mencoba
mengamati danau dari balik tingkap nuwo. Namun aku tidak mampu melihat
apa-apa. Warna malam semakin kelam dan hujan deras di luar. Aku hanya mendengar
sesayup suara air hujan yang beradu dengan permukaan danau. Suara yang ganjil.
Apakah muli sikep itu sudah kembali ke daratan? Atau mungkin malam ini
dia tidur nyenyak, mungkin dalam dekapan hangat suaminya. Apakah dia bersuami?
Pikiranku telah direbut oleh muli sikep itu. Aku harus berusaha membebaskan
diri dari pengaruh sihir peri danau itu. Kuputuskan kembali tidur, tapi mataku
tidak juga mampu terpejam. Ah, hujan begitu rupa mengganggu tidurku. Ah, bukan
hujan, namun mimpi jahanam itu.
Pagi tiba dengan kokok nyaring ayam hutan. Aku
bangun dengan tubuh yang hampir luruh karena letih. Udara pagi begitu bersih
dan segar. Kabut tipis perlahan turun dari pegunungan yang mengelilingi tiyuh.
Cahaya matahari cerah. Aku mengamati permukaan danau yang diam dan mengandung
rahasia itu. Pagi ini aku tidak melihat sosok perahu muncul dari balik kabut. Muli
sikep yang mengayuh perahu tadi malam itu, ke manakah dia?
Siang datang perlahan. Tiyuh agak
terang karena kabut telah sirna diterpa cahaya matahari. Dari arah danau
kulihat seorang penduduk berlari ke arah tiyuh sambil berteriak-teriak
ngeri: "Ada mayat! Mayat!"
Penduduk tiyuh
yang sedang asyik bekerja di ladang seketika berhamburan ke arah suara itu. Aku
pun bergegas berjalan ke arah orang-orang yang mulai berkerumun, ingin
mengetahui apa yang terjadi.
"Ada
apa?!"
“Apa yang
terjadi?!”
"Ada
mayat! Ada mayat mengapung di danau!" ujar orang yang berlari tadi.
Kerumunan
penduduk tiyuh kemudian bergerak ke tepi danau tempat mayat itu
ditemukan.
"Ya,
Tuhan! Ini perempuan yang tinggal sendiri di pinggir tiyuh kita!"
seru seseorang.
"Perempuan
sinting yang sering mendayung perahu menjelang senja dan datang pagi-pagi itu kan?"
sahut yang lain
"Kasihan
ya!? Cantik-cantik kok gila!"
“Dia tidak
gila! Dia jadi pemurung sejak ditinggal mati suaminya. Sebulan lalu suaminya
tenggelam di tengah danau saat mencari ikan malam hari.”
"Rupanya
dia ingin menyusul suaminya. Tak tahan hidup sebatang kara."
“Jangan-jangan
dia jadi tumbal penguasa danau!”
“Jangan-jangan…”
Tepi danau
makin ramai dipenuhi warga yang ingin menyaksikan peristiwa tragis itu. Aku
hanya bisa melongo. Sepatah kata pun tak mampu meluncur dari mulutku. Aku
merasa kehilangan. Ada sesuatu yang terasa lenyap dari selaput jiwaku. Parasnya
yang anggun namun selalu muram. Rambutnya yang panjang tergerai hampir menyentuh
betis. Perahu yang dikayuhnya setiap senja tiba. Kabut kelabu yang menelan
tubuhnya di tengah danau. Kesepiannya. Kesendiriannya. Oh, perlahan kusadari,
aku ternyata mencintai muli sikep itu!***
Denpasar,
2003
Keterangan:
- muli sikep : sebutan khas Lampung untuk
perempuan cantik/anggun.
- tiyuh : kampung
- nuwo : rumah
- ijan : tangga rumah
- talo balak : perangkat alat musik
tradisional Lampung
- kulintang pekhing : perangkat alat musik tradisional
Lampung.
- canggot bakha : pesta adat muda-mudi Lampung
- sesat : balai adat
- muli mekhanai : gadis yang belum menikah
- pisaan : pantun khas Lampung
- khakot : pencak silat khas
Lampung
- Pi’ill Pesanggiri : falsafah hidup orang Lampung
No comments:
Post a Comment