Cerpen: Wayan Sunarta
Lebih dari lima kali Ratih menatap jam
tangannya, namun wisatawan yang ditunggunya
belum juga tiba. Kini jam di pergelangan tangannya telah menunjuk angka dua
dini hari. Mestinya pesawat yang mengangkut wisatawan itu telah mendarat di
Bali sejam lalu. Ah, mungkin ada gangguan teknis atau keterlambatan
pemberangkatan, gumam Ratih lirih.
Meski diliputi gelisah, perempuan berusia
30 tahun itu berusaha sabar menunggu. Bandara Ngurah Rai menggigil dalam
balutan angin dini hari. Sambil menahan kantuk, Ratih duduk selonjor dan
tidur-tidur ayam di ruang tunggu bandara. Berbagai masalah lama kembali
berkelebat dalam benaknya, terlebih lagi sejak dia memutuskan bekerja menjadi guide di sebuah biro perjalanan di
Denpasar.
Bagi Ratih menjadi guide merupakan cita-citanya sejak kuliah Sastra Inggris di sebuah
perguruan tinggi swasta di Bali. Selain memperoleh penghasilan yang lumayan,
Ratih memang menyukai pekerjaan yang mengutamakan interaksi dan komunikasi
dengan orang asing. Ratih juga menyadari profesi guide merupakan pekerjaan yang tidak teratur waktu dan jadwalnya.
Seperti menunggu wisatawan menjelang
dini hari, seperti yang sekarang dilakukannya. Kadang seharian menemani
wisatawan mengunjungi sejumlah objek wisata di Bali. Atau mengantar wisatawan
ke bandara tengah malam. Namun Ratih telah siap dengan tugas-tugas seperti itu,
meski seringkali harus bertengkar dengan suaminya.
Suaminya hanyalah seorang karyawan biasa
dengan gaji yang juga biasa. Bagi Ratih itu tidaklah menjadi soal utama. Dia
masih bisa membantu menggelembungkan ekonomi keluarga, bahkan mampu membeli
berbagai barang, seperti televisi, mesin cuci, kulkas, sofa empuk, dan
sebagainya.. Namun yang menjadi masalah dan seringkali berakhir pada
pertengkaran adalah kecemburuan suaminya yang terlalu berlebihan. Seperti
kejadian suatu malam ketika Ratih pulang agak larut karena harus mengantar
wisatawan ke bandara. Sampai di rumah, telinga Ratih dengan pasrah harus
menerima kata-kata kasar dari suaminya.
"Kau selalu pulang larut malam. Apa
saja kerjamu dengan bule-bule itu!"
Meski tidak ada gunanya, Ratih mencoba
membela diri. "Saya bekerja bukan untuk diri sendiri, tetapi untuk
keluarga juga. Pekerjaan guide ya
memang seperti ini, waktu dan jadwal serba tidak tentu!"
"Ah! Banyak omong kau.
Mentang-mentang gajimu besar, beraninya kau melawanku. Aku suamimu, kepala
keluarga di rumah ini. Berapa kali kubilang agar minta tugas siang, kau tidak
pernah menggubrisnya!"
“Bukan begitu. Kebetulan beberapa hari
terakhir ini saya kebagian tugas malam terus. Penggantinya juga tidak ada.
Nanti juga dapat tugas siang lagi!”
“Ahh…sudah! Sudah! Percuma ngomong
denganmu!”
Kalau sudah menyembur kata-kata seperti
itu, Ratih tidak bisa berbuat apa lagi. Lebih baik dia diam atau langsung
tidur. Penjelasan sudah tidak ada gunanya, itu hanya akan memicu pertengkaran
yang lebih parah.
Sopir travel yang menemani Ratih ke
bandara telah tidur nyenyak di dalam mobilnya. Sedangkan Ratih sambil
tidur-tidur ayam masih harus sabar menunggu wisatawan yang belum juga tiba.
Bekerja menjadi guide memang berat
dan harus mampu beradaptasi dengan jadwal kerja yang tidak teratur. Apalagi
Ratih seorang perempuan Bali, yang selain bertanggung jawab dengan hampir semua
pekerjaan rumah tangga, juga terkadang disibukkan oleh berbagai kegiatan agama
dan adat.
Kalau ada upacara kematian atau perkawinan
atau kegiatan adat dan agama lainnya, Ratih harus mampu menyiasati waktunya
untuk hadir dan terlibat dalam upacara itu. Ketidakhadirannya akan membuka
peluang menjadi bahan gunjingan para tetangga. Biasanya kalau upacara agama
atau adat bersamaan dengan tugasnya sebagai guide,
maka dengan terpaksa Ratih memohon ijin dari kantornya untuk ikut dalam
kegiatan tersebut. Namun Ratih seringkali merasa malu kalau terlalu sering
minta ijin. Mengatasi hal itu, kadang-kadang Ratih tukaran jadwal dengan kawan
sekantornya, itu pun kalau ada kawan yang bersedia.
Desir angin di bandara begitu dingin. Mata
Ratih bertambah berat menahan kantuk. Suaminya tentu sedang mendengkur dalam
selimut hangat. Namun yang seringkali menjadi beban pikiran Ratih bila tugas
malam adalah anak perempuannya yang baru berumur 3 tahun. Ratih seringkali
merasa bersalah meninggalkan anaknya di rumah. Anak itu masih terlalu kecil
untuk ditinggal sampai larut malam.
Suatu kali ketika Ratih pulang malam,
anaknya terbangun dari tidurnya. "Mama ke mana aja, kok pulangnya malam
terus?”
Pertanyaan polos anak itu seperti gugatan
yang menekan jiwa Ratih. Sekejap saja pelupuk matanya telah basah tak kuasa
menahan haru.
"Mama kerja, sayang. Cari duit buat
beliin sayang boneka-boneka lucu. Kalau Mama tidak kerja, Mama gak bisa beliin sayang boneka." Sambil mengucapkan kata-kata hiburan
itu, biasanya Ratih membelai kepala anaknya hingga tertidur kembali.
Bandara Ngurah Rai terjaga 24 jam. Selalu
saja ada orang yang datang dan pergi. Terkadang Ratih suka bertanya-tanya
sendiri, entah dari mana asal mereka dan mau ke mana sesungguhnya mereka? Namun
agaknya begitulah kehidupan ini, manusia tidak pernah tahu ke mana sesungguhnya
mereka berangkat.
Sejak Bandara Ngurah Rai dibuka untuk
penerbangan internasional makin banyak wisatawan mengunjungi pulau
mungil ini. Pariwisata telah membawa banyak perubahan pada kehidupan masyarakat
Bali. Anak-anak muda Bali memang banyak yang bekerja di sektor pariwisata,
namun bisa dihitung dengan jari yang mampu menduduki posisi penting. Kebanyakan
harus puas menjadi karyawan biasa. Kemakmuran dan kesejahteraan meningkat
seiring kegamangan menghadapi berbagai benturan budaya yang belum tentu selaras
dengan budaya setempat.
Dulu sekitar tahun 1980-an, pekerjaan guide biasanya hanya dilakoni oleh kaum
lelaki saja. Perempuan merasa risih terjun dalam pekerjaan ini karena berbagai
nilai sosial dan budaya Bali yang seringkali menjadi penghalang. Masyarakat
saat itu masih memandang miring kepada perempuan yang bekerja sampai larut
malam. Ratih menilai hal itu terlalu menyudutkan kaum perempuan.
Bahkan ketika Ratih melamar menjadi guide, suaminya dengan keras menentang.
Setelah melalui berbagai penjelasan, akhirnya suaminya mengijinkannya bekerja
menjadi guide, meski dengan berat
hati. Terbukti suaminya menjadi lebih sering curiga bila Ratih pulang larut
malam.
Namun Ratih berusaha realitis memandang
kehidupan. Kalau hanya mengandalkan gaji suami yang tidak seberapa, tentu
keuangan keluarga akan morat-marit. Apalagi harga-harga sembako semakin
menjerat leher. Dengan pertimbangan itulah Ratih memutuskan bekerja untuk ikut
menopang perekonomian keluarga.
Seringkali Ratih menerima perlakuan ganda
dari suaminya. Di satu sisi suaminya merasa enggan kalau Ratih pindah pekerjaan
karena penghasilannya terbukti mampu mendukung perekonomian keluarga. Tetapi di
sisi lain Ratih tidak jarang mendapat teguran dan kata-kata kasar dari suaminya
karena pulang larut malam. Ratih menjadi serba salah. Namun dia hanya bisa
memendam sakit hatinya lebih dalam lagi.
Taksi-taksi mulai berseliweran mencari
muatan. Ada sejumlah guide yang juga
sedang melakukan tugas yang sama. Menurut rencana yang telah disusun kantornya,
wisatawan yang dijemputnya akan diantar ke hotel yang telah dipesan untuk
mereka. Setelah itu dengan mobil travel kantor, mereka mengadakan perjalanan ke
beberapa objek wisata sesuai jadwal.
Risiko sebagai guide perempuan seringkali harus dihadapi Ratih dengan kepala
dingin dan ketabahan. Selain perlakuan suami yang tidak mengenakkan hatinya,
kadang-kadang Ratih juga menerima perlakuan kurang sopan dari beberapa
wisatawan yang dipandunya. Ada saja yang iseng ingin mengajaknya kencan. Bahkan
ada juga yang sampai berani mencoba menyentuh tubuhnya. Menghadapi wisatawan
yang tidak sopan seperti itu, Ratih selalu menahan diri agar tidak marah karena
khawatir menyinggung perasaan tamunya.
Dalam menjalankan tugas malam, beberapa
teman sekantor juga pernah berbuat atau berkata-kata bernada pelecehan seksual,
seperti mengajak selingkuh, dan sebagainya. Ratih seringkali merasa risih dan
jijik dengan sikap mereka itu. Bukannya Ratih berlagak alim atau munafik,
tetapi dia menyadari siapa dirinya, dia berusaha setia dengan suami dan
keluarganya.
Suatu kali Ratih pernah digosipkan
selingkuh dengan sopir kantornya karena sering menjemput dan mengantar
wisatawan bersama. Ratih tidak tahu entah dari mana datangnya gosip itu.
Mungkin dari teman kantor yang iri dengan karirrnya yang terus menanjak. Gosip
itu sampai ke telinga suaminya. Suaminya yang pencemburu dengan mudah termakan
gosip itu. Dan suaminya tambah percaya setelah berhasil mengintip Ratih diantar
pulang oleh sopir kantor tersebut.
“Siapa lelaki itu!?” selidik suaminya.
“Pak Made, sopir kantor,” jawab Ratih
tanpa beban, apalagi gugup. Ratih merasa tidak berbuat suatu kesalahan apa pun.
“Kau pasti selingkuh sama lelaki itu!?”
tuduh suaminya.
Ratih terperanjat. Meski Ratih sadar
suaminya mengidap penyakit cemburu yang parah, namun dia tidak menyangka
suaminya bisa melontarkan tuduhan sekeji itu. Meski berusaha terus mengalah,
namun kali ini Ratih benar-benar tidak kuasa menahan emosinya. Harga dirinya
sebagai perempuan merasa diinjak-injak, justru oleh orang yang sangat
dicintainya.
“Jangan seenaknya menuduhku seperti itu!
Beberapa kali aku minta kau menjemputku, tapi kau tidak mau. Tapi ketika aku
diantar sopir kantor pulang, kau marah-marah. Maumu apa, heh!? Mentang-mentang
kau suamiku, jangan semena-mena begitu!” Ratih benar-benar tidak mampu lagi
menahan sakit hatinya.
“Diam! Banyak omong lagi!” bentak
suaminya.
Wajah suaminya memerah mendengar kata-kata
yang menyembur dari mulut Ratih. Dia tidak menyangka Ratih berani melawan
dirinya. Tangan suaminya gemetar menahan amarah, dan sebuah tamparan mendarat
pada pipi Ratih. Ratih terjerembab di ranjang. Anaknya sudah sejak dari tadi
menangis ketakutan menyaksikan pertengkaran orang tuanya. Tertekan dengan
keadaan itu, suaminya membanting pintu dan pergi meninggalkan Ratih yang
menangis terisak-isak.
Karena stress dengan berbagai tekanan yang
dialaminya, Ratih sempat memutuskan berhenti bekerja. Tetapi suaminya malah
menolak dan memohon agar Ratih tetap bekerja sebagai guide. Suaminya sempat menawari diri mengantar atau menjemput Ratih
di kantor. Namun hanya berlangsung beberapa hari saja. Suaminya capek sendiri
karena pagi-pagi harus berangkat kerja.
Perlahan suaminya mulai mengerti akan
posisi Ratih sebagai guide.
Gosip-gosip mengenai dirinya pun perlahan menghilang. Namun karena suaminya
sering cemburu tanpa alasan jelas, tetap saja pertengkaran-pertengkaran kecil
tidak bisa dihindari, seperti menjadi duri yang menyakitkan dalam kehidupan
rumah tangga mereka.
Hampir jam setengah tiga dini hari.
Orang-orang makin ramai keluar masuk bandara dengan berbagai kepentingan. Udara
terasa basah. Ratih merindukan anaknya. Mungkin dia telah terbuai dalam
mimpi-mimpi kecilnya. Atau mungkin terbangun dan tidak mendapati ibunya di
sisinya.
Bandara Ngurah Rai menggigil dalam cuaca
dini hari. Waktu terasa lambat. Sudah dua jam lebih Ratih menunggu. Wisatawan
yang ditunggunya belum juga tiba. Apa mungkin terjadi keterlambatan
pemberangkatan? Atau ada suatu masalah dengan pesawat mereka? Ratih berusaha
menepis pikiran-pikiran buruknya. Selain Ratih, sejumlah orang yang juga
menunggu kedatangan pesawat itu, sejak tadi telah merasakan kecemasan yang
sama.
Akhirnya, Ratih memutuskan untuk pulang.
Dia merasa sangat letih. Sekali lagi dia bertanya kepada petugas bandara
mengenai kedatangan pesawat yang ditunggunya. Namun, jawaban yang didapat
sungguh mengejutkannya. “Sejak dua jam lalu, kami kehilangan kontak dengan
pesawat itu.…” ujar petugas bandara, berusaha tenang.
Denpasar, 2003
No comments:
Post a Comment