Labels

Thursday, 20 October 2011

Ratih


Cerpen: Wayan Sunarta


Lebih dari lima kali Ratih menatap jam tangannya, namun wisatawan yang ditunggunya belum juga tiba. Kini jam di pergelangan tangannya telah menunjuk angka dua dini hari. Mestinya pesawat yang mengangkut wisatawan itu telah mendarat di Bali sejam lalu. Ah, mungkin ada gangguan teknis atau keterlambatan pemberangkatan, gumam Ratih lirih.
Meski diliputi gelisah, perempuan berusia 30 tahun itu berusaha sabar menunggu. Bandara Ngurah Rai menggigil dalam balutan angin dini hari. Sambil menahan kantuk, Ratih duduk selonjor dan tidur-tidur ayam di ruang tunggu bandara. Berbagai masalah lama kembali berkelebat dalam benaknya, terlebih lagi sejak dia memutuskan bekerja menjadi guide di sebuah biro perjalanan di Denpasar.
Bagi Ratih menjadi guide merupakan cita-citanya sejak kuliah Sastra Inggris di sebuah perguruan tinggi swasta di Bali. Selain memperoleh penghasilan yang lumayan, Ratih memang menyukai pekerjaan yang mengutamakan interaksi dan komunikasi dengan orang asing. Ratih juga menyadari profesi guide merupakan pekerjaan yang tidak teratur waktu dan jadwalnya. Seperti menunggu wisatawan menjelang dini hari, seperti yang sekarang dilakukannya. Kadang seharian menemani wisatawan mengunjungi sejumlah objek wisata di Bali. Atau mengantar wisatawan ke bandara tengah malam. Namun Ratih telah siap dengan tugas-tugas seperti itu, meski seringkali harus bertengkar dengan suaminya.
Suaminya hanyalah seorang karyawan biasa dengan gaji yang juga biasa. Bagi Ratih itu tidaklah menjadi soal utama. Dia masih bisa membantu menggelembungkan ekonomi keluarga, bahkan mampu membeli berbagai barang, seperti televisi, mesin cuci, kulkas, sofa empuk, dan sebagainya.. Namun yang menjadi masalah dan seringkali berakhir pada pertengkaran adalah kecemburuan suaminya yang terlalu berlebihan. Seperti kejadian suatu malam ketika Ratih pulang agak larut karena harus mengantar wisatawan ke bandara. Sampai di rumah, telinga Ratih dengan pasrah harus menerima kata-kata kasar dari suaminya.
"Kau selalu pulang larut malam. Apa saja kerjamu dengan bule-bule itu!"
Meski tidak ada gunanya, Ratih mencoba membela diri. "Saya bekerja bukan untuk diri sendiri, tetapi untuk keluarga juga. Pekerjaan guide ya memang seperti ini, waktu dan jadwal serba tidak tentu!"
"Ah! Banyak omong kau. Mentang-mentang gajimu besar, beraninya kau melawanku. Aku suamimu, kepala keluarga di rumah ini. Berapa kali kubilang agar minta tugas siang, kau tidak pernah menggubrisnya!"
“Bukan begitu. Kebetulan beberapa hari terakhir ini saya kebagian tugas malam terus. Penggantinya juga tidak ada. Nanti juga dapat tugas siang lagi!”
“Ahh…sudah! Sudah! Percuma ngomong denganmu!”
Kalau sudah menyembur kata-kata seperti itu, Ratih tidak bisa berbuat apa lagi. Lebih baik dia diam atau langsung tidur. Penjelasan sudah tidak ada gunanya, itu hanya akan memicu pertengkaran yang lebih parah.
Sopir travel yang menemani Ratih ke bandara telah tidur nyenyak di dalam mobilnya. Sedangkan Ratih sambil tidur-tidur ayam masih harus sabar menunggu wisatawan yang belum juga tiba. Bekerja menjadi guide memang berat dan harus mampu beradaptasi dengan jadwal kerja yang tidak teratur. Apalagi Ratih seorang perempuan Bali, yang selain bertanggung jawab dengan hampir semua pekerjaan rumah tangga, juga terkadang disibukkan oleh berbagai kegiatan agama dan adat.
Kalau ada upacara kematian atau perkawinan atau kegiatan adat dan agama lainnya, Ratih harus mampu menyiasati waktunya untuk hadir dan terlibat dalam upacara itu. Ketidakhadirannya akan membuka peluang menjadi bahan gunjingan para tetangga. Biasanya kalau upacara agama atau adat bersamaan dengan tugasnya sebagai guide, maka dengan terpaksa Ratih memohon ijin dari kantornya untuk ikut dalam kegiatan tersebut. Namun Ratih seringkali merasa malu kalau terlalu sering minta ijin. Mengatasi hal itu, kadang-kadang Ratih tukaran jadwal dengan kawan sekantornya, itu pun kalau ada kawan yang bersedia.
Desir angin di bandara begitu dingin. Mata Ratih bertambah berat menahan kantuk. Suaminya tentu sedang mendengkur dalam selimut hangat. Namun yang seringkali menjadi beban pikiran Ratih bila tugas malam adalah anak perempuannya yang baru berumur 3 tahun. Ratih seringkali merasa bersalah meninggalkan anaknya di rumah. Anak itu masih terlalu kecil untuk ditinggal sampai larut malam.
Suatu kali ketika Ratih pulang malam, anaknya terbangun dari tidurnya. "Mama ke mana aja, kok pulangnya malam terus?”
Pertanyaan polos anak itu seperti gugatan yang menekan jiwa Ratih. Sekejap saja pelupuk matanya telah basah tak kuasa menahan haru.
"Mama kerja, sayang. Cari duit buat beliin sayang boneka-boneka lucu. Kalau Mama tidak kerja, Mama gak bisa beliin sayang boneka." Sambil mengucapkan kata-kata hiburan itu, biasanya Ratih membelai kepala anaknya hingga tertidur kembali.
Bandara Ngurah Rai terjaga 24 jam. Selalu saja ada orang yang datang dan pergi. Terkadang Ratih suka bertanya-tanya sendiri, entah dari mana asal mereka dan mau ke mana sesungguhnya mereka? Namun agaknya begitulah kehidupan ini, manusia tidak pernah tahu ke mana sesungguhnya mereka berangkat.
Sejak Bandara Ngurah Rai dibuka untuk penerbangan internasional makin banyak wisatawan mengunjungi pulau mungil ini. Pariwisata telah membawa banyak perubahan pada kehidupan masyarakat Bali. Anak-anak muda Bali memang banyak yang bekerja di sektor pariwisata, namun bisa dihitung dengan jari yang mampu menduduki posisi penting. Kebanyakan harus puas menjadi karyawan biasa. Kemakmuran dan kesejahteraan meningkat seiring kegamangan menghadapi berbagai benturan budaya yang belum tentu selaras dengan budaya setempat.
Dulu sekitar tahun 1980-an, pekerjaan guide biasanya hanya dilakoni oleh kaum lelaki saja. Perempuan merasa risih terjun dalam pekerjaan ini karena berbagai nilai sosial dan budaya Bali yang seringkali menjadi penghalang. Masyarakat saat itu masih memandang miring kepada perempuan yang bekerja sampai larut malam. Ratih menilai hal itu terlalu menyudutkan kaum perempuan.
Bahkan ketika Ratih melamar menjadi guide, suaminya dengan keras menentang. Setelah melalui berbagai penjelasan, akhirnya suaminya mengijinkannya bekerja menjadi guide, meski dengan berat hati. Terbukti suaminya menjadi lebih sering curiga bila Ratih pulang larut malam.
Namun Ratih berusaha realitis memandang kehidupan. Kalau hanya mengandalkan gaji suami yang tidak seberapa, tentu keuangan keluarga akan morat-marit. Apalagi harga-harga sembako semakin menjerat leher. Dengan pertimbangan itulah Ratih memutuskan bekerja untuk ikut menopang perekonomian keluarga.
Seringkali Ratih menerima perlakuan ganda dari suaminya. Di satu sisi suaminya merasa enggan kalau Ratih pindah pekerjaan karena penghasilannya terbukti mampu mendukung perekonomian keluarga. Tetapi di sisi lain Ratih tidak jarang mendapat teguran dan kata-kata kasar dari suaminya karena pulang larut malam. Ratih menjadi serba salah. Namun dia hanya bisa memendam sakit hatinya lebih dalam lagi.
Taksi-taksi mulai berseliweran mencari muatan. Ada sejumlah guide yang juga sedang melakukan tugas yang sama. Menurut rencana yang telah disusun kantornya, wisatawan yang dijemputnya akan diantar ke hotel yang telah dipesan untuk mereka. Setelah itu dengan mobil travel kantor, mereka mengadakan perjalanan ke beberapa objek wisata sesuai jadwal.
Risiko sebagai guide perempuan seringkali harus dihadapi Ratih dengan kepala dingin dan ketabahan. Selain perlakuan suami yang tidak mengenakkan hatinya, kadang-kadang Ratih juga menerima perlakuan kurang sopan dari beberapa wisatawan yang dipandunya. Ada saja yang iseng ingin mengajaknya kencan. Bahkan ada juga yang sampai berani mencoba menyentuh tubuhnya. Menghadapi wisatawan yang tidak sopan seperti itu, Ratih selalu menahan diri agar tidak marah karena khawatir menyinggung perasaan tamunya.
Dalam menjalankan tugas malam, beberapa teman sekantor juga pernah berbuat atau berkata-kata bernada pelecehan seksual, seperti mengajak selingkuh, dan sebagainya. Ratih seringkali merasa risih dan jijik dengan sikap mereka itu. Bukannya Ratih berlagak alim atau munafik, tetapi dia menyadari siapa dirinya, dia berusaha setia dengan suami dan keluarganya.
Suatu kali Ratih pernah digosipkan selingkuh dengan sopir kantornya karena sering menjemput dan mengantar wisatawan bersama. Ratih tidak tahu entah dari mana datangnya gosip itu. Mungkin dari teman kantor yang iri dengan karirrnya yang terus menanjak. Gosip itu sampai ke telinga suaminya. Suaminya yang pencemburu dengan mudah termakan gosip itu. Dan suaminya tambah percaya setelah berhasil mengintip Ratih diantar pulang oleh sopir kantor tersebut.
“Siapa lelaki itu!?” selidik suaminya.
“Pak Made, sopir kantor,” jawab Ratih tanpa beban, apalagi gugup. Ratih merasa tidak berbuat suatu kesalahan apa pun.
“Kau pasti selingkuh sama lelaki itu!?” tuduh suaminya.
Ratih terperanjat. Meski Ratih sadar suaminya mengidap penyakit cemburu yang parah, namun dia tidak menyangka suaminya bisa melontarkan tuduhan sekeji itu. Meski berusaha terus mengalah, namun kali ini Ratih benar-benar tidak kuasa menahan emosinya. Harga dirinya sebagai perempuan merasa diinjak-injak, justru oleh orang yang sangat dicintainya.
“Jangan seenaknya menuduhku seperti itu! Beberapa kali aku minta kau menjemputku, tapi kau tidak mau. Tapi ketika aku diantar sopir kantor pulang, kau marah-marah. Maumu apa, heh!? Mentang-mentang kau suamiku, jangan semena-mena begitu!” Ratih benar-benar tidak mampu lagi menahan sakit hatinya.
“Diam! Banyak omong lagi!” bentak suaminya.
Wajah suaminya memerah mendengar kata-kata yang menyembur dari mulut Ratih. Dia tidak menyangka Ratih berani melawan dirinya. Tangan suaminya gemetar menahan amarah, dan sebuah tamparan mendarat pada pipi Ratih. Ratih terjerembab di ranjang. Anaknya sudah sejak dari tadi menangis ketakutan menyaksikan pertengkaran orang tuanya. Tertekan dengan keadaan itu, suaminya membanting pintu dan pergi meninggalkan Ratih yang menangis terisak-isak.
Karena stress dengan berbagai tekanan yang dialaminya, Ratih sempat memutuskan berhenti bekerja. Tetapi suaminya malah menolak dan memohon agar Ratih tetap bekerja sebagai guide. Suaminya sempat menawari diri mengantar atau menjemput Ratih di kantor. Namun hanya berlangsung beberapa hari saja. Suaminya capek sendiri karena pagi-pagi harus berangkat kerja.
Perlahan suaminya mulai mengerti akan posisi Ratih sebagai guide. Gosip-gosip mengenai dirinya pun perlahan menghilang. Namun karena suaminya sering cemburu tanpa alasan jelas, tetap saja pertengkaran-pertengkaran kecil tidak bisa dihindari, seperti menjadi duri yang menyakitkan dalam kehidupan rumah tangga mereka.
Hampir jam setengah tiga dini hari. Orang-orang makin ramai keluar masuk bandara dengan berbagai kepentingan. Udara terasa basah. Ratih merindukan anaknya. Mungkin dia telah terbuai dalam mimpi-mimpi kecilnya. Atau mungkin terbangun dan tidak mendapati ibunya di sisinya.
Bandara Ngurah Rai menggigil dalam cuaca dini hari. Waktu terasa lambat. Sudah dua jam lebih Ratih menunggu. Wisatawan yang ditunggunya belum juga tiba. Apa mungkin terjadi keterlambatan pemberangkatan? Atau ada suatu masalah dengan pesawat mereka? Ratih berusaha menepis pikiran-pikiran buruknya. Selain Ratih, sejumlah orang yang juga menunggu kedatangan pesawat itu, sejak tadi telah merasakan kecemasan yang sama.
Akhirnya, Ratih memutuskan untuk pulang. Dia merasa sangat letih. Sekali lagi dia bertanya kepada petugas bandara mengenai kedatangan pesawat yang ditunggunya. Namun, jawaban yang didapat sungguh mengejutkannya. “Sejak dua jam lalu, kami kehilangan kontak dengan pesawat itu.…” ujar petugas bandara, berusaha tenang.


Denpasar, 2003


No comments:

Post a Comment