Labels

Thursday, 20 October 2011

Penggalan Kepala Patung


cerpen : Wayan Sunarta


Pada sebuah pelataran candi tua di tepian sungai yang juga tua, aku menyaksikan patung tua berlumut. Patung setinggi tubuhku itu mencitrakan sosok dewi (atau bidadari?). Meski berlumut dan nyaris lapuk, wajah patung itu begitu anggun dengan mahkotanya yang terukir indah. Kedua tangannya di dada mencakup kendi yang terus mengucurkan air bening, mengairi sebuah telaga di bawahnya yang ditumbuhi seroja berbagai warna.
Air dari dada patung itu laksana air susu ibu yang mampu memberi kehidupan. Dan, patung itu seperti wujud masa silam yang kembali menjelma, yang pernah meleleh ke dalam genang kenangan seorang bocah gembala; kenanganku.
Ya, kenanganku. Dulu, di sela-sela waktu istirahatnya, dengan menggunakan sebatang lidi bocah gembala miskin itu suka menggambar di atas debu. Suatu waktu ia menggambar sosok bidadari anggun. Atas perkenanMu, gambar itu mewujud dalam kenyataan, berdaging dan berjiwa. Bocah gembala girang bercampur tegang. Suatu mukjizat telah terhampar di depan matanya.
Gambar bidadari itu sungguh-sungguh menjadi sosok yang hidup. Bidadari itu menyapa si bocah gembala yang gemetar ketakutan. “Kau telah membuatku ada. Bersamamu aku mengada di dalam dunia yang bukan duniaku. Sebagai tanda terimakasihku, aku senantiasa akan menemani dan menjagamu, sampai tiba akhir waktuku.”
Seperti telah dikisahkan dalam berbagai kitab, bidadari itu menemani si bocah gembala dalam berbagai suka dan duka. Bidadari itu menjadi guru, ibu, kawan, sekaligus kekasih hati. Si bocah gembala tumbuh menjadi sosok dewasa; ia menjadi aku. Hingga tiba pada suatu malam yang kelam, bidadari itu lenyap, menghilang entah kemana. Aku bersedih, merasa jiwaku dibawa serta, entah kemana.
Kini, di pelataran candi tua ini, aku sendiri merasakan desir sunyi. Gemercik air seperti mantram yang diucapkan tanpa henti oleh para pertapa tua. Terpesona oleh patung bidadari berlumut itu, aku menatapnya lekat-lekat. Seakan tersihir. Namun, mendadak kepala patung itu terjatuh, menimpa bunga seroja putih di telaga. Masih diselimuti keheranan, aku bergegas mengambil dan meneliti kepala patung itu. Agaknya seorang bromocorah telah menetak pangkal lehernya, mungkin tadi malam. Mata patung itu seperti mencoba menilik senja yang baru saja menyuguhkan selengkung bianglala yang bagai selendang bidadari. Mata patung itu seperti berjiwa. Ada pesona wangi yang aneh mengambang dalam udara. Tiba-tiba, aku merasakan getar-getarMu di setiap pepucuk dedaun lontar. Perlahan kucoba memasang kembali kepala patung itu pada pangkal lehernya.
Mengapa bromocorah itu tidak jadi mencuri kepala patung itu? Tentu ketika menetak kepala patung itu dalam benaknya telah berkelebat berlembar-lembar ratusan ribu rupiah. Melihat hasil tetakannya yang tidak rapi, mungkin saja tangannya gemetar ketika menetak karena menyadari kawasan ini keramat. Mungkin suatu peristiwa telah membuat bromocorah itu membatalkan niat jahatnya membawa kepala patung itu pergi dan menjualnya kepada penadah barang antik.
Patung itu begitu anggun dan agung dan terkesan angker. Siapakah yang memahat patung itu? Apakah patung itu sosok yang lahir dari citraMu, seperti bidadari yang hidup dari gambarku? Mungkin beratus-ratus tahun lalu ketika sunyi kali pertama tersentuh tangan Sang Kawi, patung itu telah berdiri, terpancang di pelataran candi, mengalirkan air kehidupan ke telaga seroja dan mengukur umurnya sendiri. Kini, kepalanya telah ditetak bromocorah.
Di pelataran candi, masih bisa kudengar merdu suara tekukur. Ada sejumlah tangga batu berlumut yang membawa peziarah menuju puncak candi. Sejumlah kera menjaga kawasan keramat ini. Kera-kera itu suka bergelantungan di dahan-dahan pohon, mengawasi patung yang hampir kehilangan kepalanya itu. Pada malam-malam tertentu, sayup-sayup sering kudengar angin melantunkan mantram gayatri. Bunga-bunga seroja di telaga serentak akan bermekaran. Debur sukmaku mengantar kembara doaku, hingga ke tebing karang, menggapai bentangan langit yang diliputi kekosongan.
Mungkin ratusan tahun silam bunga-bunga seroja wangi dalam kakawin Sang Kawi. Kau semayam dalam kerang mutiara, dari pantai ke pantai menetaskan sunyi, hingga ke pesanggrahan dewata, dimana kesuir angin menemukan Ibu.
Namun, mengapa harus ruhku menuju ruhMu? Aku ternganga di tepi cadas, memandang cemas pada burung-burung yang mematahkan sayapnya di udara. Pada pusaran langit adakah keabadian?
Kau temukan aku pada tekstur cadas, pada lempung yang kusam, yang tercebur dari jeram. Aku meresap ke rekah batu. Tidur seperti batu. Bercinta dengan batu. Mati dalam batu. Namun, mengapa harus ruhku menuju ruhMu? Suatu waktu Kau juga akan memahatku menjadi patung berlumut yang setia menunggu kehancurannya.
Gemetar menjalar dari alir nadiku. Ketakutan yang tiba-tiba muncul dari kerumunan kelam. Sungguh terasa sunyi pelataran candi ini. Aku seperti dituntun memasuki setapak masa silam. Dosa apakah yang telah meranggaskan aku ke bumi beribu-ribu kali? Apakah aku jatuh seperti penggalan kepala patung itu? Apakah aku telah menjelma Brahmana, Ksatria, Waisya, Sudra, atau Paria? Atau bisa jadi aku menjelma berbagai rupa hewan, dari yang melata sampai yang berkaki, yang menghuni tepian sungai tua ini. Mengapa harus kulakoni semua itu? Sejumlah tanya menyerbu benakku. Kau telah membuatku bertanya pada diri sendiri: dari mana aku, hendak ke mana aku?
Pada telaga yang dipenuhi bunga seroja itu, kubasuh wajah, tangan, kaki. Kulebur jiwa dalam wangi bunga, harum dupa, hening tirta. Terkenang kembali kisah Mayadenawa, raja-raja, Sri Masula-Masuli, dewa-dewi, Datonta yang kini menguap bersama gemerincing uang kepeng. Mungkin suatu ketika nanti ada juga taburan lembar-lembar dolar dari para peziarah asing yang berkunjung ke pelataran candi ini.
Sungguh sunyi seperti suara-suara gema tebing-tebing cadas. Aku sendiri menciumi wangi batu paras, pahatan purba yang bangkitkan sayup-sayup masa silam. Ada nelangsa doa yang terus berpantulan di petilasan tua itu: “Aku asing di mataMu. Kau pun asing di mataku. Namun, Kau dan aku selalu saling belit, serupa sepasang naga kasmaran. Tunggal, hening.”
Akhirnya, diantara gurat-gurat dan retak candi, kulihat bayang-bayang tubuhMu meleleh. Di sebuah jalan setapak Kau menguap serupa embun. Kita terpisah dalam dunia yang beda. Namun satu hal yang mutlak: aku selalu terperangkap dalam ruang dalam waktu, karena karma, karena punarbhawa. Tak paham kapan awal, kapan akhir letih ini?
Tetapi aku yakin, kerinduan kepada Ibu, mula denyut waktu; kerinduan kepada sosok yang pernah menjelma dari gambarku, lebih suci dari beribu sajen, beribu upacara yang menuntaskan wujudMu. O, candi-candi tua, arca-arca dewa, penggalan kepala patung dewi terkasih. Semua akan meleleh bagai cairan darah tabuh rah yang digelar di pelataran candi. Darah meleleh dari pangkal leherku yang Kau tetak. Meleleh dan mengalir ke palung paling kasih dalam semestaMu.***


Denpasar, 2004

 (Jurnal Cerpen Indonesia, Edisi 05/Desember 2004)


No comments:

Post a Comment