cerpen : Wayan Sunarta
Pada sebuah pelataran candi tua di
tepian sungai yang juga tua, aku menyaksikan patung tua berlumut. Patung
setinggi tubuhku itu mencitrakan sosok dewi (atau bidadari?). Meski berlumut
dan nyaris lapuk, wajah patung itu begitu anggun dengan mahkotanya yang terukir
indah. Kedua tangannya di dada mencakup kendi yang terus mengucurkan air
bening, mengairi sebuah telaga di bawahnya yang ditumbuhi seroja berbagai
warna.
Air dari dada patung itu laksana air
susu ibu yang mampu memberi kehidupan. Dan, patung itu seperti wujud masa silam
yang kembali menjelma, yang pernah meleleh ke dalam genang kenangan seorang
bocah gembala; kenanganku.
Ya, kenanganku. Dulu, di sela-sela waktu
istirahatnya, dengan menggunakan sebatang lidi bocah gembala miskin itu suka
menggambar di atas debu. Suatu waktu ia menggambar sosok bidadari anggun. Atas
perkenanMu, gambar itu mewujud dalam kenyataan, berdaging dan berjiwa. Bocah
gembala girang bercampur tegang. Suatu mukjizat telah terhampar di depan
matanya.
Gambar bidadari itu sungguh-sungguh
menjadi sosok yang hidup. Bidadari itu menyapa si bocah gembala yang gemetar
ketakutan. “Kau telah membuatku ada. Bersamamu aku mengada di dalam dunia yang
bukan duniaku. Sebagai tanda terimakasihku, aku senantiasa akan menemani dan
menjagamu, sampai tiba akhir waktuku.”
Seperti telah dikisahkan dalam berbagai
kitab, bidadari itu menemani si bocah gembala dalam berbagai suka dan duka.
Bidadari itu menjadi guru, ibu, kawan, sekaligus kekasih hati. Si bocah gembala
tumbuh menjadi sosok dewasa; ia menjadi aku. Hingga tiba pada suatu malam yang
kelam, bidadari itu lenyap, menghilang entah kemana. Aku bersedih, merasa
jiwaku dibawa serta, entah kemana.
Kini, di pelataran candi tua ini, aku
sendiri merasakan desir sunyi. Gemercik air seperti mantram yang diucapkan
tanpa henti oleh para pertapa tua. Terpesona oleh patung bidadari berlumut itu,
aku menatapnya lekat-lekat. Seakan tersihir. Namun, mendadak kepala patung itu
terjatuh, menimpa bunga seroja putih di telaga. Masih diselimuti keheranan, aku
bergegas mengambil dan meneliti kepala patung itu. Agaknya seorang bromocorah
telah menetak pangkal lehernya, mungkin tadi malam. Mata patung itu seperti
mencoba menilik senja yang baru saja menyuguhkan selengkung bianglala yang
bagai selendang bidadari. Mata patung itu seperti berjiwa. Ada pesona wangi yang aneh mengambang dalam
udara. Tiba-tiba, aku merasakan getar-getarMu di setiap pepucuk dedaun lontar.
Perlahan kucoba memasang kembali kepala patung itu pada pangkal lehernya.
Mengapa bromocorah itu tidak jadi
mencuri kepala patung itu? Tentu ketika menetak kepala patung itu dalam
benaknya telah berkelebat berlembar-lembar ratusan ribu rupiah. Melihat hasil
tetakannya yang tidak rapi, mungkin saja tangannya gemetar ketika menetak
karena menyadari kawasan ini keramat. Mungkin suatu peristiwa telah membuat
bromocorah itu membatalkan niat jahatnya membawa kepala patung itu pergi dan
menjualnya kepada penadah barang antik.
Patung itu begitu anggun dan agung dan
terkesan angker. Siapakah yang memahat patung itu? Apakah patung itu sosok yang
lahir dari citraMu, seperti bidadari yang hidup dari gambarku? Mungkin
beratus-ratus tahun lalu ketika sunyi kali pertama tersentuh tangan Sang Kawi,
patung itu telah berdiri, terpancang di pelataran candi, mengalirkan air
kehidupan ke telaga seroja dan mengukur umurnya sendiri. Kini, kepalanya telah
ditetak bromocorah.
Di pelataran candi, masih
bisa kudengar merdu suara tekukur. Ada
sejumlah tangga batu berlumut yang membawa peziarah menuju puncak candi.
Sejumlah kera menjaga kawasan keramat ini. Kera-kera itu suka bergelantungan di
dahan-dahan pohon, mengawasi patung yang hampir kehilangan kepalanya itu. Pada
malam-malam tertentu, sayup-sayup sering kudengar angin melantunkan mantram gayatri.
Bunga-bunga seroja di telaga serentak akan bermekaran. Debur sukmaku mengantar
kembara doaku, hingga ke tebing karang, menggapai bentangan langit yang
diliputi kekosongan.
Mungkin ratusan tahun silam bunga-bunga
seroja wangi dalam kakawin Sang Kawi. Kau semayam dalam kerang mutiara, dari
pantai ke pantai menetaskan sunyi, hingga ke pesanggrahan dewata, dimana kesuir
angin menemukan Ibu.
Namun, mengapa harus ruhku menuju ruhMu?
Aku ternganga di tepi cadas, memandang cemas pada burung-burung yang mematahkan
sayapnya di udara. Pada pusaran langit adakah keabadian?
Kau temukan aku pada tekstur cadas, pada
lempung yang kusam, yang tercebur dari jeram. Aku meresap ke rekah batu. Tidur
seperti batu. Bercinta dengan batu. Mati dalam batu. Namun, mengapa harus ruhku
menuju ruhMu? Suatu waktu Kau juga akan memahatku menjadi patung berlumut yang
setia menunggu kehancurannya.
Gemetar menjalar dari alir
nadiku. Ketakutan yang tiba-tiba muncul dari kerumunan kelam. Sungguh terasa
sunyi pelataran candi ini. Aku seperti dituntun memasuki setapak masa silam.
Dosa apakah yang telah meranggaskan aku ke bumi beribu-ribu kali? Apakah aku
jatuh seperti penggalan kepala patung itu? Apakah aku telah menjelma Brahmana,
Ksatria, Waisya, Sudra, atau Paria? Atau bisa jadi aku menjelma berbagai rupa
hewan, dari yang melata sampai yang berkaki, yang menghuni tepian sungai tua
ini. Mengapa harus kulakoni semua itu? Sejumlah tanya menyerbu benakku. Kau
telah membuatku bertanya pada diri sendiri: dari mana aku, hendak ke mana aku?
Pada telaga yang dipenuhi
bunga seroja itu, kubasuh wajah, tangan, kaki. Kulebur jiwa dalam wangi bunga,
harum dupa, hening tirta. Terkenang kembali kisah Mayadenawa, raja-raja, Sri Masula-Masuli, dewa-dewi, Datonta
yang kini menguap bersama gemerincing uang kepeng. Mungkin suatu ketika nanti
ada juga taburan lembar-lembar dolar dari para peziarah asing yang berkunjung
ke pelataran candi ini.
Sungguh sunyi seperti
suara-suara gema tebing-tebing cadas. Aku sendiri menciumi wangi batu paras,
pahatan purba yang bangkitkan sayup-sayup masa silam. Ada nelangsa doa yang terus berpantulan di
petilasan tua itu: “Aku asing di mataMu. Kau pun asing di mataku. Namun, Kau
dan aku selalu saling belit, serupa sepasang naga kasmaran. Tunggal, hening.”
Akhirnya, diantara gurat-gurat
dan retak candi, kulihat bayang-bayang tubuhMu meleleh. Di sebuah jalan setapak
Kau menguap serupa embun. Kita terpisah dalam dunia yang beda. Namun satu hal
yang mutlak: aku selalu terperangkap dalam ruang dalam waktu, karena karma,
karena punarbhawa. Tak paham
kapan awal, kapan akhir letih ini?
Tetapi aku yakin, kerinduan
kepada Ibu, mula denyut waktu; kerinduan kepada sosok yang pernah menjelma dari
gambarku, lebih suci dari beribu sajen, beribu upacara yang menuntaskan
wujudMu. O, candi-candi tua, arca-arca dewa, penggalan kepala patung dewi
terkasih. Semua akan meleleh bagai cairan darah tabuh rah yang digelar di pelataran candi. Darah meleleh dari pangkal
leherku yang Kau tetak. Meleleh dan mengalir ke palung paling kasih
dalam semestaMu.***
No comments:
Post a Comment