cerpen : Wayan Sunarta
Walau agak ragu, namun akan saya kisahkan pada Anda,
sepenggal pengalaman saya menjadi tikus cerurut. Sejenis tikus yang tampangnya
paling tidak menarik, tidak lucu atau imut seperti tikus rumah atau tikus
sawah, tidak bersih dan putih seperti tikus percobaan di laboratorium, apalagi
menawan dan memesona seperti tikus kantor. Saya hanyalah tikus yang sangat
menjijikkan, yang hidup dan mencari sisa-sisa makanan di comberan berbau busuk.
Namun siapa yang menyangka, kalau saya adalah pemegang rahasia rencana-rencana
busuk dari sejumlah tikus…
Sampai saat ini pun saya masih diliputi kebingungan.
Apa yang harus saya lakukan dengan rahasia yang saya dapat dari hasil menguping
percakapan tikus-tikus itu. Saya terancam dan diliputi berbagai kecemasan
karena rahasia yang saya pegang. Cepat atau lambat, saya akan menjadi cerurut
yang dikejar-kejar oleh tikus yang lebih besar dan berkuasa.
Baiklah, saya akan segera membuka cerita saya.
Sebelum saya berubah menjadi cerurut, saya hanyalah
seorang waker di sebuah perusahaan milik negara, yang demi sopan santun dan
terlebih lagi keselamatan nyawaku sendiri, saya tidak akan menyebut nama
perusahaan itu. Tapi suatu saat nanti, kalau masih ada kesempatan, terutama
ketika saya tidak kuat lagi diteror oleh rahasia yang saya simpan serapi
mungkin dalam lipatan hatiku yang paling dalam, maka dengan terpaksa saya akan
bongkar semua yang menjadi rahasia saya di hadapan khalayak semua.
Anda sekalian pasti ingin tahu nama saya. Baiklah.
Untuk hal yang satu ini tidak ada rahasia-rahasiaan. Nama saya sederhana saja,
sesederhana penampilan saya sehari-hari. Maklum, saya bukanlah bos yang bisa
tampil perlente setiap hari. Saya hanyalah seorang waker.
Nama saya, Cilik. Memang, saya berasal dari trah wong
cilik. Namun bukan karena itu saya dinamai Cilik. Postur tubuh saya kecil dan
ceking. Karena postur tubuhku itulah saya sering dipanggil Cilik oleh
kawan-kawan saya di kampung. Bahkan di KTP pun saya memakai nama Cilik.
Saya sendiri sudah lupa siapa sebenarnya nama lengkap
yang diberikan orang tua kepadaku—mereka mati karena wabah diare ketika saya
berumur 7 tahun; aneh, saya sendiri selamat dari wabah itu. Dan sejak itu, saya
pergi dari kampung kelahiranku untuk menyabung untung di kota. Nama lengkap bagi saya tidaklah terlalu
penting. Sebagai salah satu penghuni kota
dari kelas urban ini, yang terpenting adalah asal bisa makan dan melanjutkan
hidup, itu sudah cukup, syukur-syukur kalau bisa melanjutkan keturunan.
Saya mengidap penyakit susah tidur yang parah.
Daripada terjebak melakukan pekerjaan yang tidak-tidak, saya memberanikan diri
melamar menjadi waker di kantor tempatku bekerja sekarang ini. Waktu itu umur
saya baru 17 tahun. Mungkin karena karunia tuhan atau anugrah leluhur, saya
akhirnya diterima menjadi waker. Meski gaji pas-pasan, bersyukur juga saya
tidak punya banyak mimpi untuk beli ini-itu.
Sekarang sudah hampir sepuluh tahun saya mengabdi
sebagai waker di kantor, yang demi sopan santun dan rasa terima kasihku, tidak
mau saya sebut namanya itu. Namun begitu, toh jabatan saya tidak pernah naik,
saya masih tetap sebagai waker, meski negeri ini telah lima kali mengganti presidennya. Tapi,
jabatan bagi saya tidak terlalu penting. Asal bisa hidup saja, itu sudah cukup.
Bahkan setahun lalu, saya berani melamar Iyem, pembantu bosku, sebagai istri
saya.
Asal tahu saja, saya telah mengenal dengan baik seluk
beluk kantor tempatku bekerja. Paling tidak saya tahu di mana meja bos, di mana
toilet, di mana brankas penyimpanan surat-surat penting, di mana pintu belakang
tempat bos sekali waktu memasukkan selingkuhannya, dan sebagainya.
Selama sepuluh tahun mengabdi, baru beberapa bulan
terakhir ini saya merasa tidak nyaman. Pekerjaan saya menjadi bertambah. Dari
hanya menjadi penjaga malam, mendapat kerja tambahan mengusir tikus. Sudah
berbagai macam obat dan racun tikus saya sebar, namun satu pun tak mempan.
Bahkan berbagai jenis perangkap sudah pula saya pasang di berbagai sudut
kantor. Tapi tikus-tikus itu seperti sudah mengenal dengan baik seluk beluk kantor.
Mereka semakin merajalela. Mereka menggerogoti arsip-arsip penting, disket,
kabel komputer, buku-buku utang-piutang, buku pajak, buku kas, bahkan tissu WC
yang sering nangkring di atas meja juga digerogoti. Sialan, dari mana datangnya
tikus-tikus itu.
Saya sering berkeluh kesah perihal kelakuan
tikus-tikus itu pada Karto, satpam kantor sebelah, yang hampir setiap malam
saya ajak bermain catur di kantor tempatku bekerja. Suatu kali, di sela-sela
keasyikan bermain catur, Karto menyuruh saya memasang perangkap. Padahal itu
sudah pernah saya lakukan.
“Pasang
perangkap saja!” ujar Karto.
“Tidak mempan. Sudah pernah kucoba. Tikus-tikus itu
agaknya punya naluri tajam untuk menghindari perangkap,” jawab saya jengkel.
Sejenak Karto terdiam, kemudian berkata lagi. “Sudah
coba pakai racun tikus? Pasang di setiap sudut kantor. Kalau perlu juga pasang
di setiap laci-laci meja.”
Saya tambah jengkel. “Sama saja. Aku sudah coba. Namun
tetap tidak mempan juga. Banyak arsip dan buku-buku penting kantor juga digerogoti
tikus-tikus keparat itu.”
“Apa bos-mu sudah tahu?” Wajah Karto nampak cemas.
“Belum sih,” jawab saya singkat.
Tiba-tiba saja Karto ketawa, mungkin dia lucu melihat
tampang saya yang kusut. “Kalau begitu kau tenang saja dulu. Perutku lapar nih,
makan bakmi dulu, yuk! Perut harus diisi dulu, baru kita bisa berpikir dengan
jernih. Tenang saja, aku punya saran bagus untukmu!”
Sialan. Masalah tikus belum selesai, Karto malah mengajak saya makan
bakmi. Tetapi, perut saya juga lapar, dari siang belum makan. Maka saya pun
setuju ajakan Karto. Kami memanggil tukang bakmi yang kebetulan lewat di depan
kantor.
Sambil menunggu bakmi, Karto nyerocos lagi. “Janganlah kau terlalu
bersedih, kawan. Aku tahu cara memberantas tikus-tikus itu”.
Saya tidak sabaran. “Gimana caranya?”
“Makan dulu bakmimu. Setelah itu, kau bayarin juga bakmiku ya..”
ujar Karto kalem.
“Sialan, dasar pemeras!” umpat saya.
“Lho,
Kawan, kau tahu ‘kan?
Sekarang ini jaman informasi. Kau tahu ‘kan,
informasi itu mahal. Informasiku ini termasuk paling murah karena hanya kau
tukar dengan semangkuk bakmi…” Karto membela diri.
Saya mulai kesal lagi. “Ya..sudah, jangan berkhotbah. Cepat katakan
apa saranmu itu? Aku sudah pusing ngurusin tikus-tikus sialan itu…”
“Sabar, bung! Sabar! Yaah…ini hanya saran saja. Kau
suka nonton TV ‘kan?
Di sana banyak
ditayangkan kisah-kisah misteri dan berbagai penampakan…”
“Lalu, apa hubungannya dengan tikus?”
“Nanti dulu. Sabar. Aku belum selesai bicara,” Karto senyum-senyum.
Saya melahap bakmi yang sudah terhidang di depan mataku yang lapar.
“Begini. Ada baiknya kau tanyakan perihal tikus-tikus
itu ke dukun. Siapa tahu dari sana
kau mendapatkan saran dan ramuan mujarab untuk memberantas tikus-tikus yang
meresahkan kantormu itu. Aku punya alamat dukun yang bisa kau hubungi. Gimana?”
Saya kaget mendengar saran Karto. “Gila kau. Masak
masalah tikus saja perlu ditanyakan ke dukun. Mending kalau masalah bos yang
kena santet, atau anak sakit, atau istri kena guna-guna, atau mohon jimat agar
disayang bos. Tapi ini ‘kan
masalah sepele…”
“Sepele gundulmu! Masalah tikus yang menyerang seperti
wabah itu, bukan masalah sepele, tapi masalah serius. Lebih serius dari
pemilihan presiden. Tikus-tikus itu harus diberantas, dibumihanguskan,
bagaimana pun caranya, termasuk memasukkan pengaduan ke dukun.”
Tapi akhirnya saya mencoba mengikuti saran
Karto.“Yahh, baiklah, kalau saranmu itu memang manjur, besok siang aku akan
menghubungi dukun itu.”
***
Saya mendatangi alamat dukun yang diberikan Karto. Setelah melewati
jalan-jalan kampung yang becek karena musim hujan berkepanjangan, saya tiba di
depan gubug yang cukup menyeramkan. Menurut beberapa orang kampung yang saya
tanya, memang benar itulah rumah dukun yang konon sakti itu, yang dalam sekejap
mampu mengusir tikus yang menyerang tanaman padi dan palawija para petani di
kampung itu.
Saya berdiri di pintu gubug. Mengetuk pintu.
“Permisi, Mbah!”
Tidak ada yang menyahut. Saya memanggil lagi.
Setelah sapaan yang kedua kalinya baru pintu gubug terbuka. Muncul
sosok lelaki tua berambut panjang ubanan. Pakaiannya hitam dan kumal. Kakinya
yang tampak selalu gemetaran disangga oleh tongkat berkepala ular.
“Hehh… rupanya ada tamu.
Silakan masuk, Nak. Maaf ruangannya berantakan. Belum sempat dibersihkan.
Silakan duduk.”
Dengan ragu-ragu saya duduk di atas tikar lusuh dan bolong di
sana-sini. Jangan-jangan karena digerogoti tikus. Ruang praktek dukun itu
sungguh menyeramkan. Di berbagai sudut penuh dengan pernak-pernik perdukunan,
seperti tengkorak manusia yang entah dari mana didapat, tempat hio yang terus
mengepulkan asap, jambangan berisi air suci, keris-keris kuno, batu-batu akik,
akar-akar kayu…
Saya asyik mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Mbah dukun
berdehem. Saya sedikit kaget, lalu buru-buru mengutarakan maksud kedatangan
saya.
“Eee…begini, Mbah…emm….maksud kedatangan saya…”
Mbah Dukun manggut-manggut.
“Tidak perlu dijelaskan. Mbah sudah tahu maksud kedatanganmu. Anak
ingin mencari jimat tikus yang mujarab ‘kan?”
Saya heran dengan tebakan dukun itu. Saya bukan mencari jimat,
tetapi mencari ramuan pemberantas tikus.
“Dari mana Mbah tahu?”
Mbah Dukun tertawa terkekeh-kekeh.
“Mbah ‘kan
dukun…Tetapi, itu tidak penting. Banyak orang kampung, dan bahkan lebih banyak
lagi orang kota
perlente, yang datang kemari untuk membeli jimat tikus. Agar orang itu bisa
menjelma tikus pada saat-saat yang diinginkannya. Dengan cara berubah wujud
itu, mereka akan leluasa menggerogoti
apa saja, merusak apa saja, tanpa orang lain tahu kelakuannya.”
“Tapi, Mbah, saya ke sini bukan
untuk memohon jimat yang bisa menyulap tubuh saya menjadi seekor tikus. Tapi,
saya justru memohon dan minta saran, bagaimana caranya memberantas tikus-tikus
yang menyerang kantor tempat saya bekerja. Saya ini hanyalah seorang waker,
Mbah. Setiap malam kerja saya ya…menjaga kantor agar aman dan tenteram,
termasuk dari gangguan tikus, Mbah.”
“Oo…Mbah keliru. Maafkan Mbah ya…Mbah salah
duga. Kadang-kadang dukun juga bisa keliru merumuskan tujuan kedatangan para
pasiennya he…he…he…”
“Tidak apa-apa, Mbah.”
Setelah terdiam sejenak, dukun itu kembali bicara.
“Ooo…jadi Anak ingin mencari ramuan pembasmi tikus, ya? Bukan jimat tikus toh.
Ehmm…Anak tidak tertarik mencoba jimat tikus Mbah?”
“Tidak, Mbah.
Saya hanya memohon ramuan pembasmi tikus yang paling mujarab sejagat.”
Mbah Dukun termenung agak lama. Ia nampak menggaruk-garuk kepalanya
yang mungkin saja penuh kutu dan ketombe. Tiba-tiba dukun itu seperti tersengat
kalajengking.
“Waduh, Nak! Mbah lupa, di mana ya…Mbah simpan ramuan pembasmi tikus
itu. Soalnya sudah lama Mbah lupakan ramuan itu. Akhir-akhir ini tidak ada lagi
orang yang mencari ramuan seperti itu. Kalau pun ada yang memerlukan,
paling-paling cuma orang kampung, untuk mengusir tikus sawah, bukan tikus
kantor he…he…he..Yang masih Mbah simpan malah jimat berbagai jenis dan ukuran.
Jimat macam ini yang paling sering dicari oleh orang-orang kota dan paling laris. Kalau Anak mau, boleh
dicoba kok, gratis he…he…he…”
Dasar dukun sableng! Saya datang jauh-jauh bukan ingin mengubah
wujud menjadi tikus, melainkan membasmi tikus…
“Jangan bilang Mbah sableng.
Jelek-jelek begini Mbah masih diperlukan oleh orang kampung di sini…dan juga
orang kota
he..he..he..”
Rupa-rupanya dukun ini bisa membaca isi hatiku. Saya buru-buru minta
maaf, sebelum dikutuk jadi kodok. “Maafkan saya Mbah. Maksud saya, orang-orang
yang membeli jimat yang mampu mengubah diri menjadi tikus itu memang sableng.”
Dukun itu mendekatkan kepalanya ke wajah saya. Saya
ngeri melihat wajahnya yang menyeramkan. Ia berkata, “Nak, perlu kamu ketahui,
Eyang Ronggowarsito pernah bilang bahwa sekarang ini jaman edan. Kalau tidak
ikut edan, maka akan cepat ketinggalan jaman. Lebih baik kamu coba saja jimat
tikus Mbah. Sekali-kali cobalah rasakan bagaimana enaknya menjadi tikus.
Gimana?”
Sialan betul Karto! Dia telah mempermainkan saya. Masak saya
ditunjukkan dukun konyol kayak begini! Awas nanti kalau saya balik ke kantor.
Tapi, boleh juga saran dukun ini kucoba…
Mbah Dukun melihat saya ngomel-ngomel sendiri. Saya buru-buru
menerima sarannya. “Baiklah, Mbah, saya akan coba jimat Mbah. Siapa tahu dengan
menjadi tikus saya bisa melihat tikus-tikus di kantor itu, apa benar-benar
tikus atau tikus jadi-jadian..”
Dukun itu terkekeh-kekeh, keras sekali. “Lha…justru itu yang Mbah
maksudkan. Percuma kamu memakai ramuan pembasmi tikus, sehebat apa pun ramuan
itu. Kamu harus menyamar jadi tikus untuk melihat tikus lainnya dan mencari
rahasia memberantas mereka. Paham?”
Mbah Dukun kemudian memberi saya bungkusan kecil
berwarna putih yang entah apa isinya. Saya ingin buru-buru pulang, dengan agak
ragu saya kemudian pamitan. “Baiklah, Mbah. Saya akan mematuhi nasehat Mbah.
Saya mohon pamit, Mbah.”
Saya sudah hampir keluar dari gubug ketika dukun itu
berkata dengan sedikit keras, “Eee...nanti dulu. Ingat, kalau kamu memakai
jimat itu, kamu hanya bisa menjadi tikus cerurut. Kodratmu memang hanya sampai
di situ. Kamu tidak akan mungkin bisa mengubah diri menjadi tikus kantor…”
Saya terkesiap dan sedikit merasa terhina. Tapi tak apalah, yang
penting bisa mengubah diri jadi tikus…
“Tidak apa-apa, Mbah. Saya terima dengan ikhlas. Saya pamit, Mbah.”
***
Saya pulang membawa jimat tikus yang dihadiahkan dukun itu. Jimat
itu hanya berupa buntelan kecil berwarna putih yang entah apa isinya. Dukun
melarang saya membukanya. Kalau saya ingin menjadi tikus, saya harus
mengalungkan buntelan itu dileherku dengan mengucapkan beberapa baris mantra
yang juga telah diberikan Mbah Dukun.
Ehmm…apa salahnya saya mencoba menjadi tikus? Siapa tahu dengan cara
ini saya malah mendapat banyak informasi yang berkaitan dengan wabah tikus di
kantor tempatku bekerja.
Jam sepuluh malam saya berangkat ke kantor. Saya memang bekerja dari
jam sepuluh hingga jam enam pagi. Saya mengantongi jimat yang diberikan dukun
itu. Saya penasaran ingin mencobanya.
Seperti biasa, setelah berkeliling memeriksa keamanaan kantor, saya
akan rebahan di kursi kayu depan kantor, atau main catur dengan Karto. Tetapi,
ketika saya memeriksa ruang kerja para pegawai, entah dari mana datangnya,
tiba-tiba saja tikus-tikus itu sudah memenuhi meja, menaiki komputer,
menyelinap ke dalam laci, menggerogoti kabel, buku-buku dan berbagai peralatan
penting kantor. Ini benar-benar pesta tikus. Tikus-tikus itu berpesta pora
sepuas-puasnya. Ada
yang bercicit seperti melantunkan nyanyian, ada yang minum dari sisa kopi pada
cangkir yang lupa dibersihkan oleh pelayan kantor, ada yang berjingkrak.
Perlahan saya mengambil sapu ijuk. Kemudian saya mengejar dan
memukul tikus-tikus yang berlarian pontang-panting itu. Tikus-tikus itu sekejap
ketakutan, tapi sebentar kemudian muncul lagi mengajak beberapa kawan baru.
Waduh…tikus-tikus itu makin banyak saja, mereka ada hampir di setiap ruang
kantor, hampir di setiap meja dan laci…
Saya teringat jimat yang diberikan Mbah Dukun. Saya mencari tempat
aman dan merafalkan mantra sambil mengenakan jimat itu dileherku.
Astaga…! Benar kata dukun itu. Saya melihat perut saya penuh
ditumbuhi bulu kelabu. Pantat saya keluar ekor yang menjijikkan seperti ekor
cerurut. Saya buru-buru mencari cermin. Ya, Tuhan, mulut saya telah tidak ada,
digantikan moncong lancip yang juga sangat menjijikkan. Oh…ada kumis yang
jarang dan kaku diantara moncong saya. Mata saya yang cekung kini malah melotot
dan hitam mengkilat seperti kancing baju. Ya, Tuhan, saya telah berubah menjadi
seekor cerurut!
Beberapa menit kemudian saya mulai bisa menguasai diri. Tiba-tiba di
depan saya lewat dua ekor tikus gemuk dan berperut buncit. Tikus-tikus itu
agaknya tidak memperhatikan saya. Sebagai tikus asing, saya buru-buru sembunyi
di kolong almari yang ada di ruang bosku. Tapi betapa kagetnya saya, dua tikus
gendut itu malah masuk ke ruangan bosku. Saya tidak terima, saya ingin segera
mengusir mereka. Tapi, menyadari keadaan saya yang telah berubah wujud, saya
urungkan niat saya untuk mengusir mereka.
Aneh, saya mengerti percakapan tikus-tikus itu. Kenapa saya bisa
mengerti bahasa tikus? Apa karena saya telah berubah menjadi tikus? Ya, Tuhan,
tikus-tikus itu agaknya membicarakan suatu masalah yang gawat. Saya menguping
pembicaraan mereka.
Tikus yang paling gendut berkata, agak cemas, “Wakermu itu perlu
diwaspadai. Dia agaknya sudah mencium gelagat dan kebusukan kantor ini. Hampir
setiap malam dia mengejar-ngejar kita dengan sapu ijuk. Tadi, hampir saja aku
tewas dikemplang sapu ijuknya, syukur
aku bisa berkelit...”
“Tenang saja.
Rencana kita tidak akan diketahui oleh waker tolol itu. Kita baru merampungkan
separuh pekerjaan kita. Ini masih setengah jalan, Kawan.”
Saya terkesiap. Ya, Tuhan, ampunilah hambamu yang berdosa ini. Itu ‘kan suara…suara Pak
Yusuf, kawan baik bosku, yang sekali waktu juga suka memberi saya uang rokok
kalau kebetulan dia berkunjung ke kantor ini. O, jadi dia yang hampir kena
kemplang sapu ijuk saya tadi? Dan, yang diajak bicara itu persis suara bosku,
Pak Tan.
Saya mencoba mengintip, dan benar saja itu bosku sendiri. Waduh, kok
bisa jadi begini? Mereka lagi merapatkan saya, apa mereka ingin menyingkirkan
saya? Oh...lebih baik saya cepat-cepat minta maaf sebelum saya dipecat dari
kantor yang kucintai ini. Kalau saya dipecat, ke mana lagi saya harus mencari
kerja? Semua penganggur juga tahu, sekarang ini susah mencari kerja. Saya sudah
sepuluh tahun mengadi sebagai waker di kantor ini. Bos juga sering baik pada
saya. Tapi, kenapa mereka semua jadi tikus, ya? Saya kembali nguping
pembicaraan mereka.
Tikus yang paling gendut dan buncit kembali berkata. Dia rupanya
sangat marah dengan saya. “Tapi kau perlu hati-hati dengan waker itu. Aku tidak
ingin rencana kita gagal gara-gara waker ceking itu. Kalau gara-gara dia posisi
kita terancam, sebaiknya kau pecat dia, bila perlu basmi saja.”
“Ya, aku akan
mempertimbangkan saranmu. Tapi malam ini lupakan waker goblok yang kusayangi
itu. Dia tidak akan membahayakan kita, aku juga sering menyogoknya dengan
rokok, kadang-kadang juga duit. O, ya, bagaimana rencana kita selanjutnya
mengenai proyek yang hampir gol ini?”
“Itu soal
mudah, asal kau secepatnya mengeluarkan ijin proyek tersebut.”
“Jatahku berapa persen?” ujar
bosku yang telah berubah jadi tikus kantor.
“Itu gampanglah. Ijinnya dulu
dong!”
“Ya, tapi aku
harus hati-hati. Ini proyek rawan masalah. Apalagi menyangkut penggusuran
Kampung Modar. Kalau salah melangkah kita bisa didemo rakyat kecil yang suka
berkolaborasi dengan mahasiswa untuk menyingkirkan penguasa macam kita ini. Kau
‘kan tahu
sendiri, kawan seperjuangan kita, si Bibie, lengser gara-gara sering didemo
mahasiswa.”
“Bibie memang
tolol dan grasa-grusu! Lain kali kita tidak usah pakai dia lagi. Begini saja,
gimana kalau persenanmu kunaikkan, dengan syarat ijin harus segera keluar? Kau
pakailah kekuasaanmu di kantor ini! Masak hal sepele begini kau persulit
sendiri. Pakai akal sedikit dong!”
“Okelah…asal
jatahku bisa menghidupi tujuh turunanku lagi. Dan, yang terpenting bisa beli
mobil mercy terbaru. Aku akan segera keluarkan ijin proyek tersebut. Gimana?”
“Kau itu memang
tikus botak berkulit belut. Licin dan culas ha…ha…ha..! Aku akan penuhi
permintaanmu. Tenang aja!”
“Hei, Kawan, sesama tikus jangan saling menghina!
Justru kita harus merapatkan barisan dan bahu membahu agar kerajaan kita makin
jaya dan tidak cepat mampus dikemplang sapu ijuk waker tolol itu.”
Kedua tikus itu tertawa terkekeh-kekeh.
Kurang ajar! Bosku, Pak Tan, ternyata bangsat! Jadi kebaikannya
selama ini rupanya memiliki maksud tertentu. Jadi selama ini saya telah
disogoknya. Dan, Kampung Modar, itu ‘kan
kampung tempat tinggal saya. Mereka rupanya berencana menggusur kampung saya.
Oh, teganya…teganya bosku itu.
Lalu apa yang mesti saya lakukan? Apa perlu saya keluar dan membunuh
tikus-tikus itu? Atau saya akan membocorkan rahasia mereka pada orang Kampung
Modar, agar hati-hati, karena akan segera terjadi penggusuran? Saya
bingung…Mereka kembali ngobrol. Saya kembali menguping.
“Ngomong-ngomong, kau sudah
dengar, kawan kita Si Tomi, ditangkap baru-baru ini?”
“Lho, kenapa
dia? Dia ‘kan
tikus yang paling ditakuti di kerajaan tikus? Siapa yang berani menangkap
dia?!”
“Ya...begitulah
kalau terlalu percaya diri. Selicik-liciknya tikus, sekali waktu akan kena
jerat juga. Tapi aku tidak yakin para pemburu tikus itu berani melenyapkan
Tomi. Dia salah satu tikus yang memiliki jimat sakti, bisa menghilang pula. Dia
punya dukun spesial. Kalau jimat kita ‘kan
hanya jimat bikinan dukun kampung yang tidak seberapa ampuh.”
“Tapi, kau
jangan terlalu meremehkan jimat pemberian dukun kampung itu. Buktinya sampai
saat ini kita masih aman dari para pemburu tikus yang sok moralis dan idealis
itu. Para pemburu tikus itu tidak sadar kalau
buyut dan nenek moyangnya juga kebanyakan tikus.”
“Sudah, tidak usah diperdebatkan. Sebentar lagi
wakermu itu muncul bawa sapu ijuk, kau bisa mampus di kursimu sendiri. Sekarang
sudah hampir jam 4 pagi, ayo kita bubar. Jangan terlalu sering begadang, tidak
baik untuk kesehatan kita yang sudah berperut buncit ini. Besok kau harus
kelihatan cerah dan segar di depan para pegawaimu.”
“Kalau pulang,
hati-hati dengan perangkap dan jebakan. Wakerku suka memasangnya hampir di
setiap sudut kantor.”
Dua tikus buncit itu kemudian pergi. Perlahan saya menyembulkan
moncong saya dari kolong meja bos. Syukur mereka tidak melihat saya. Oh…betapa
kejam mereka. Rupanya mereka telah memakai jimat tikus yang didapat dari dukun
itu. Pantas saja tikus-tikus di kantor ini seperti wabah. Lalu apa yang harus
saya lakukan setelah mengetahui segalanya? Saya hanya tikus cerurut yang
menjijikkan yang tempatnya cuma di comberan.
Tidak mungkin saya bisa menjadi tikus kantor seperti bos dan kawan bosku
itu. Tapi, apa mungkin dukun itu masih memiliki cadangan jimat yang bisa
menyulap saya menjadi tikus kantor atau tikus berdasi yang terhormat itu. Tapi,
dia bilang kodrat saya hanya bisa menjadi tikus cerurut.
Besok siang saya harus ke rumah dukun itu. Saya akan mengembalikan
jimat tikusnya dan memaksa dukun itu membuatkan ramuan pembasmi tikus yang
paling tokcer. Bagaimana pun juga saya harus membasmi tikus-tikus yang telah
banyak menyengsarakan rakyat cilik seperti saya ini. Saya harus berperang
melawan wabah tikus di negeri ini, bagaimana pun caranya.
Karena sudah hampir pagi, saya pulang ke rumah, ke Kampung Modar,
yang suatu saat nanti akan digusur oleh bosku sendiri. Karena lelah, saya
tidur-tiduran di bale-bale bambu yang beralaskan kasur tipis. Istri saya
menggeliat ketika saya sentuh tubuhnya.
Namun, belum lama saya memejamkan mata, istri saya menjerit-jerit
ketakutan sambil menuding-nuding saya. Dia panik dan berteriak histeris.
“Tolong…tolong…ada tikuuss…ada…tikuuusssss…!”***
Denpasar, 2004
No comments:
Post a Comment