Pagi belum
sempurna. Aku masih betah membungkus tubuh dalam selimut. Hangat tubuhmu
menjalari tubuhku. Kau menggeliat, aku mempererat dekapan. Kau melenguh. Pagi
akan segera merekah, mekar seperti bunga.
Tapi ini
Jakarta, bisikmu, tidak ada pagi yang mekar seperti bunga. Pagi selalu layu
diinjak orang-orang yang bergegas berangkat kerja, seakan ngeri ditinggalkan
waktu. Ya, ini Jakarta, gumamku, orang-orang tidak lagi mampu menikmati pagi
tanpa merasa was-was ketinggalan bus, atau ditinggal hari yang melaju tergesa.
Dan, tentu
hari ini bukan Minggu, segenggam waktu yang luang untuk bersantai dan
melenggang. Ini Senin, Sayang. Tapi meski Senin, kita masih betah berdekapan di
bawah selimut hangat kamar apartemenmu yang berpendingin. Kita saling berbagi
hangat dan hasrat, seperti muara yang bertemu lautan biru.
Sehabis
menikmati cinta yang tidak terlalu tergesa-gesa di pagi hari, kau bergegas ke kamar mandi: pipis, membilas
bagian tubuh yang masih hangat dan rawan, mencuci wajah, dan tak lupa gosok
gigi. Sambil sedikit mengeluh ditinggalkan pagi, kau melangkah ke dapur kecil
di sudut ruang apartemen. Dapur mungil bercat biru yang kau suka. Di situ kau
menemukan sedikit hiburan sebagai perempuan. Kau nyalakan kompor gas yang
memancarkan api yang juga biru, seperti api cinta kita yang baru menyala. Kau
menjerang air dalam ketel. Beberapa menit kemudian aroma wangi kopi memenuhi
ruangan. Wangi kopi itu yang selalu mempertautkan aku dengan tanah kelahiran.
Aku
hampir lupa, aku pernah berkisah padamu. Aku lahir di suatu desa yang memiliki
kebun kopi yang luas dan rimbun dan hijau. Pada malam hari musang-musang suka
berkeliaran di kebun, mencuri buah kopi matang,
meninggalkan remah-remah dan kotorannya yang bercampur biji kopi. Ketika
masih kanak aku suka diajak Ibu mengorek-orek kotoran musang dan memunguti
biji-biji kopi yang disisakannya. Kopi dari kotoran musang itu enak dan gurih
rasanya. Orang desaku mengenalnya dengan kopi loak. Agaknya kopi yang kau seduh
itu termasuk jenis kopi yang masih membekas dalam kenanganku. Kopi yang
membuatku kecanduan. Bahkan sampai saat aku terdampar di kotamu ini aku masih
suka melacak jejak wangi kopi pada warung-warung pinggir jalan atau kafe-kafe
tempat aku biasa nongkrong. Namun tak pernah kutemukan kopi segurih dan
senikmat kopi loak di tanah kelahiranku.
Aku
masih bermalas-malasan di atas kasur empuk apartemenmu. Di luar tentu udara
mulai panas dan gerah. Di kamar ini tubuhku lebih merasa nyaman dan adem. Harus
kuakui kau pintar memilih apartemen di kota yang sumpek dan semrawut ini. Tidak
banyak perempuan yang seberuntung kau. Keluargamu kaya dan kau benar-benar
menikmati hidup di kota metropolitan. Yang aku banggakan dari kau, meski kau
dari keluarga berada, tapi kau lebih memilih hidup sendiri dan mandiri. Atau
kau ingin mencecap kebebasan sesuka hatimu?
Dengan senyum
merekah bagai bunga matahari, kau muncul dari dapur membawa nampan berisi dua
cangkir kopi dan sejumlah keping biskuit. Kau nampak lebih cantik dengan rambut
masih awut-awutan belum tersentuh sisir. Darahku kembali berdesir. Gaun tidur
yang masih melekat pada tubuhmu tak kuasa menyembunyikan sepasang benjolan
sebesar buah kelapa gading muda pada hamparan dadamu yang bagai pualam putih.
Pucuk benjolan itu mencoba berontak pada kain tipis lembut yang melindungi
kulitmu. Darahku kembali berdesir, padahal baru saja kita selesai bergumul
dalam kehangatan selimut.
Kau
menaruh kopi di atas meja, lalu melangkah menuju pinggir ranjang. Aku pura-pura
masih tidur. Dengan mesra kau kecup keningku. Aku pura-pura menggeliat. Kau
berbisik di kupingku: “Hari sudah siang, sayang, ayo bangun!” Aku membuka mata
dan senyum seperti bocah tanpa dosa (meski kita telah berkali-kali bikin dosa).
Tanpa kau duga, aku menyergap tubuhmu, membantingnya di kasur dan kemudian
menindihnya. Kau meronta, menjerit-jerit manja. Seperti seekor ular liar
kupagut bibirmu yang ranum. Tapi ajaib, kau malah melumat pagutanku tanpa
ampun. Pagi menjelang siang. Kita kembali bergumul seperti dua singa buas yang
asyik berkasih-kasihan di Kebun Binatang Ragunan yang pernah kita kunjungi.
Kopi
di meja menjadi dingin. Aku bangkit dari ranjang. Kau lemas tak berdaya. Aku
melangkah menuju jendela, menikmati suasana kota dari ketinggian. Dari lantai
sepuluh apartemenmu aku menatap hamparan kota Jakarta. Gedung-gedung kelabu
bagai raksasa-raksasa rakus yang siap menghancurkan apa saja. Tugu Monas tegak
menjulang bagai lingga Siwa. Itukah simbol kejantanan Jakarta?
Aku melongok ke bawah. Jalan-jalan
padat dipenuhi berbagai jenis kendaraan. Bajaj bertarung dengan bus-bus kota.
Deru bercampur asap knalpot. Para pejalan kaki bersliweran mencari tujuan
masing-masing. Warung kakilima berderet-deret di pinggiran jalan. Kuli-kuli
galian kabel sibuk membongkar aspal. Beberapa pencopet mengawasi keadaan, mencari-cari
kesempatan. Sedangkan di kamar apartemenmu, aku telah sukses mencopet cintamu,
atau setidaknya hasrat purbamu.
Dari jendela aku melangkah ke kursi
kayu, duduk menghadap meja. Aku belum mandi, meski hari sudah merangkak siang.
Kopi di meja kuraih agar tidak semakin dingin. Kau juga duduk di depanku,
menatapku mesra, seakan puas dengan pelayananku, sejak kita bersama. Aku meraih
tanganmu, merabanya lembut, lalu mendekatkannya ke bibirku. Kukecup telapak
tanganmu penuh rasa hormat dan cinta yang tak mampu kuukur berapa dalamnya.
Aku kembali ke arah jendela, menatap
hamparan Jakarta yang semakin kelabu diliputi asap kendaraan dan pabrik. Monas
menjulang dengan anggun sekaligus angkuh. Api emasnya menyala kuning
berkilau-kilau diterpa cahaya matahari. Api yang tak kunjung padam itu seperti
api dalam jiwa kita yang selalu merindukan cinta murni, mungkin seperti emas
pada puncak Monas. Entah apa yang dipikirkan Soekarno saat mendirikan tugu itu
di tengah kemelaratan rakyatnya.
Kau melangkah ke dapur, menyiapkan makan siang. Aku mengenang
pertemuan denganmu. Oh, kenapa kita tidak juga mampu terbebas dari kenangan?
Mengapa kenangan selalu suka menguntit perjalanan kita? Tapi bagaimana pun juga
aku berhak memiliki kenangan dan mengenangmu. Begitu juga kau. Ah, mungkin ini
agak terlalu sentimentil untuk kau yang sudah terbiasa dengan kehidupan bebas
di kotamu. Tapi tak apalah.
Masih ingatkah kau, pertemuan
pertama kita di sebuah kafe di TIM? Ketika itu aku lagi asyik bercengkerama
dengan para seniman yang biasa kongkow minum kopi sambil sesekali menikmati
pinggul mahasiswi tari yang melintas di depan kafe. Sempat juga aku berpikir
mengapa para seniman itu suka bermalas-malasan? Mengapa tidak bertapa saja di
dalam kamar dan berkarya sebanyak-banyaknya? Tapi aku pikir diriku juga salah
satu di antara seniman yang malas itu.
Aku seorang pelukis yang sesekali juga suka menulis puisi. Lukisanku
jarang laku meski sudah lebih dari sepuluh tahun aku melukis. Sempat juga
beberapa kali pameran bersama sejumlah pelukis muda di beberapa tempat.
Kalaupun ada sebuah lukisanku yang laku dengan harga lumayan, uangnya pasti
akan segera habis untuk keperluan melukis dan memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Sesekali juga mentraktir kawan-kawan senimanku yang malas-malas itu, minum bir
di kafe.
Saat kami asyik ngobrol
ngarol-ngidul, tiba-tiba kau menghentikan detak jantungku dengan aroma parfummu
yang mendebarkan. Kau melintas di depan kami. Diam-diam aku melirik lembut
wajahmu, tepat saat kau pun melirik ke arahku. Beberapa detik mata kita beradu.
Tanpa kuduga kau mengambil kursi dan ikut bergabung bersama kami. Seorang kawan
penari mengenalkan kau kepadaku. Ternyata kau sudah akrab dengan para seniman
yang sering kuajak nongkrong itu.
Rambutmu yang sebahu, tubuhmu yang memeram hasrat purba, gaya
bicaramu yang santai sambil sesekali menghisap rokok putih, telah menarik
perhatianku. Menatapmu, sempat menyisakan pikiran ngawur dalam benakku. Namun
belakangan, setelah kita akrab, aku baru tahu bahwa kau sangat baik dan batinmu
penuh luka masa lalu. Aku merasa malu dengan pikiran ngawur itu.
Ketika kukenalkan diriku dari Bali, kau semakin tertarik mengajakku
ngobrol. Tapi aku yakin sebenarnya kau lebih tertarik pada Bali ketimbang aku.
Kau banyak berkisah tentang masa-masa indahmu saat berkunjung ke Bali. Kau
bercerita pernah belajar tari Bali pada seorang maestro tari dari sebuah desa
di Ubud. Belakangan aku tahu kau adalah mahasiswi tari tingkat akhir. Aku hanya
senyum menanggapi kenanganmu. Namun aku sendiri menjadi malu karena kita telah
menjadi pusat perhatian dalam kafe.
Sejak perkenalan itu beberapa kali
kita sering bertemu di tempat yang sama, di kafe itu. Kadang kita juga suka
membuat janji di sana. Hingga akhirnya kau berkenan mengundangku ke
apartemenmu. Sebagai orang yang baru beberapa bulan menetap di Jakarta, aku
merasa beruntung cepat akrab dengan seniman yang suka bohemian di TIM. Lebih
beruntung lagi bisa akrab denganmu.
Beberapa kali kau mengajakku mengunjungi tempat-tempat yang kau
anggap menarik di kotamu, terutama hiburan malam. Kita minum cocktail
sambil menikmati tiupan saxophone di sebuah kafe. Pada waktu lain, kita
berjingkrak-jingkrak dalam diskotik sambil mengisap mariyuana. Sesekali kau
mengajakku mengunjungi Taman Impian Jaya Ancol, berwisata ke Kepulauan Seribu,
melancong ke Pelabuhan Sunda Kelapa, mengunjungi beberapa museum (lewat foto
lawas menikmati Batavia masa lalu), nonton Tarian Cokek, mendengar musik
Gambang Kromong, dan banyak lagi. Ternyata kau begitu menyukai keindahan.
Lebih-lebih lagi kau benar-benar menjadi pemandu yang baik bagiku. Aku menjadi
tersihir dengan pesona kotamu.
Kau tahu, aku mulai merasa
memilikimu, meski kau susah dikekang. Meski aku telah beberapa kali menginap di
apartemenmu, tapi kau merasa tidak bersalah mengundang lelaki lain juga
menginap di apartemenmu. Sebagai lelaki normal tentu aku tersinggung. Aku
dipanggang cemburu. Berkali-kali aku menuntut kesetiaanmu. Tapi dengan enteng
kau bilang tidak ada kesetiaan di kota yang bernama Jakarta. Yang ada hanyalah
kesenangan, sebelum pada akhirnya kembali berkubang dalam kemuakan kota.
Mungkin aku lelaki yang terlalu melankolis. Meski aku pernah lama menetap di
beberapa kota besar, tapi tetap saja aku merasa aneh menghadapi Jakarta,
terutama memahami caramu menghargai cinta. Akhirnya dengan sedih kuputuskan
untuk pergi dari sisimu. Kau tidak berusaha mencegahku. Hanya saja sekilas
kubaca rasa kecewa yang mengambang pada indah matamu.
Aku pergi membawa luka, menggelandang di kotamu. Kembali aku bergaul
dengan para seniman bohemian dan preman jalanan. Kembali aku menyusuri
kehidupan malam di rel-rel kereta api. Aku merasa menjadi sampah di kotamu.
Hingga suatu hari ponsel bututku
berdering. Tanpa kuduga suaramu yang merdu mengundangku kembali ke apartemenmu.
Kau merayu. Kau tahu, aku tak kuasa menghadapi rayuanmu. Akhirnya, dengan
perasaan campur-aduk aku menuju apartemenmu. Kau menyambutku dengan pelukan dan
tangisan. Setelah tenang kau berkisah tentang lelaki yang menipumu, yang
menghancurkan hidupmu yang memang sudah hancur. Aku ikut berduka. Aku murka
pada lelaki laknat itu, ingin kuhajar ia. Tapi hatiku kembali luruh saat
bibirmu yang basah menyentuh bibirku. Tak tertahan lagi, kita pun bergumul di
bawah selimut hangat.
Siang
telah menggelincir begitu cepat. Dari lantai sepuluh aku menatap hamparan
Jakarta yang kini disepuh warna keemasan senja. Aku baru sadar sejak pagi tadi
kita belum mandi. Kau tertawa renyah menyadari ketololan kita. Aku membopongmu
ke kamar mandi. Air hangat mengalir dari kran memenuhi bathtub. Kita
berendam dan berangkulan. Senja sempurna. Serenade Jakarta menggema dalam
jiwa.***
Jakarta-Denpasar, 2004
Dimuat di Suara
Pembaruan, 3 Oktober 2004
No comments:
Post a Comment