Hampir
dua jam aku menunggu di terminal ini. Namun, bus yang penuh gelisah kutunggu
itu, belum juga tampak memasuki terminal. Lewat SMS yang kuterima sebelum baterai ponselku mati, istriku
memang sempat mengabarkan bahwa sekitar pukul tujuh malam bus yang
ditumpanginya sudah akan tiba di terminal. Aku masih berusaha bersabar, meski
pikiran-pikiran ngawur dan kisah-kisah letih masalalu kembali berkelebat dan
tumpang tindih, menyiksa benakku. Di terminal ini, dulu, aku melepas kepergian
Nita, pulang ke kampung halamannya.
“Selama aku di kampung, jagalah boneka
monyetku baik-baik!” Mata Nita yang bening itu berkilau. Ada genangan airmata yang menari-nari, bagai
bijih mutiara diterpa cahaya senja. Aku menatap lekat telaga kembar yang
mengandung haru itu. “Rawatlah ia. Peluklah ia ketika kamu tidur.”
Kemudian, Nita mengulurkan
boneka monyet yang didekapnya erat-erat. Jujur, aku tak kuasa kabur dari
keharuan perasaanku. Aku meraih boneka monyet itu dan mendekapnya di dadaku.
Kami masih bertatapan. Seakan sedang menghadapi sebuah perpisahan yang abadi.
Padahal aku tahu, dia hanya ingin pulang kampung, setelah letih berkubang dan
jenuh mengadu untung di kota
yang semakin hari semakin menyesakkan.
“Aku akan
segera kembali. Mungkin seminggu aku di kampung. Jaga dirimu, kekasihku!”
Nita meraih tanganku,
menciumnya penuh perasaan. Terasa hangat airmatanya melekat di punggung
tanganku. Kemudian, dengan pandangan sayu dia menatap boneka monyet
lekat-lekat, bagai seorang ibu muda yang tersiksa berpisah dengan bayi yang
sangat dicintainya. Dia mencium kening boneka itu sambil berucap lirih, “Selama
tidak bersamaku, kamu jangan nakal, ya! Entar kalo nakal, kamu bisa
dijewer! Jangan rewel ya, Sayang!”
Sembari menahan airmata agar
tidak tumpah, karena tabu bagi seorang lelaki menangis—meski menghadapi
perpisahan dengan orang yang sangat dikasihi—aku terkenang dongeng Nenek ketika
aku masih bocah. Ketika hari-hari yang menyedihkan kuarungi, hanya bersama
Nenek.
“Akhirnya, waktu perpisahan
tiba juga,” tutur Nenek perlahan, pada suatu malam, sambil mengunyah sirih.
“Pada senja yang temaram itu, bibir mungil Durma1
masih melekat di puting susu ibunya, seakan enggan melepas kenikmatan air
kehidupan itu. Sang ibu, Ken Sulasih2,
sesungguhnya merasa sangat berat berpisah dengan anak yang sangat dicintainya
itu. Namun waktu adalah ratu yang tidak boleh dibantah. Hari yang dijanjikan
telah tiba…”
Biasanya, sebelum melanjutkan
dongengnya, pada bagian ini Nenek akan menembang pupuh Sinom yang menyayat
hati. Dan, tanpa terasa mataku akan mulai berat oleh airmata yang
menggenang-genang. Tapi diam-diam aku segera mengusapnya, malu diketahui Nenek,
sebab di sela-sela dongeng sedihnya beliau selalu berpesan: “Lelaki pantang
menangis. Lelaki harus tegar seperti batu karang di lautan!”
Usai melantunkan tembang yang
menyayat perasaan itu, Nenek kemudian melanjutkan dongengnya. “Setelah mencium
lembut kening Durma, dengan perasaan luluh sekaligus bahagia, sang ibu—bidadari
dari Kahyangan itu—terbang ke langit, meninggalkan Durma yang menangis
menjerit-jerit…”
“Berarti, ibu Durma sama
jahatnya dong dengan ibu saya, Nek!?” aku menyela. Dalam benakku yang
masih bau kencur itu, belum mampu kupahami mengapa Ibu, terlebih lagi mahkluk
yang bernama perempuan (kecuali Nenek), seringkali tega meninggalkan lelaki
dalam kepedihan.
“Ibu Durma dan ibumu tidak
jahat! Ibumu perempuan penuh kasih yang hampir menyamai bidadari. Dia hanya
pulang kampung beberapa minggu. Besok juga balik!”
Tapi, mengapa aku tidak
diajak!? Pertanyaanku hanya mampu meluncur sampai di tenggorokan. Dalam remang
bilik gubug yang hanya diterangi lentera minyak jarak, aku merasa mata tua
Nenek berlinang-linang. Seperti biasa, Nenek menangis dalam diam. Sedangkan
aku, karena lelaki, pantang menangis!
Maka, hitungan minggu terasa
sangat panjang dan meletihkan. Aku selalu menunggu hari yang bernama “besok”.
Namun, di depan pintu gubug, aku selalu gagal menjumpai wajah Ibu, yang hanya
samar-samar kuingat.
Meski demikian, sejak bocah aku
telah dididik Nenek menjadi batu karang dan mercusuar yang sambil merasakan
arti kepedihan, ia tegakkan kesepiannya3.
Ya. Kepedihan. Karena Ibu telah pergi dari sisiku untuk selamanya, justru
ketika aku masih belum mampu melepas kelembutan dan kenikmatan puting susunya.
Ya. Kesepian. Karena aku selalu gagal memahami keinginan mahkluk aneh bernama
perempuan.
Namun begitu, Nenek selalu
rajin mengingatkan aku: “Kalau kau besar nanti, hati-hatilah memilih pasangan
hidupmu! Kalau bisa, kau harus mendapatkan perempuan yang memiliki sifat-sifat
bidadari.”
Sampai Nenek meninggal ketika
aku berumur 23 tahun, belum juga kupahami petuah dan keinginan Nenek. Terutama
perihal mencari perempuan yang memiliki sifat-sifat bidadari, seperti sosok
dalam dongeng yang seringkali dituturkan Nenek.
Akhirnya aku mendapatkan Nita.
Bagi mata dan perasaanku yang mungkin saja rabun, perempuan yang kupacari itu
setidaknya hampir mendekati harapan Nenek. Dia jelita, anggun, penuh daya haru,
lembut, perasa. Singkatnya memesona mata dan jiwa setiap lelaki.
Namun, seperti dongeng Nenek
tentang bidadari, Nita pun terbang. Bukan, bukan terbang! Tapi pergi dengan
bus, pulang kampung untuk beberapa minggu.
Senja itu, seperti biasanya,
terminal sangat ramai dan sibuk. Orang-orang datang entah dari mana. Orang-orang
pergi entah ke mana. Sebagian berkerumun menunggu, sebagian hilir mudik dengan
berbagai keperluan.
Pedagang asongan, pedagang
kacamata, penjaja koran, kondektur dan sopir yang letih, calo-calo tiket,
pencopet yang sibuk membaca situasi, preman-preman yang petantang-petenteng,
sepasang kekasih yang berpelukan di bangku tunggu, ibu dengan anak-anaknya yang
bandel dan rewel, remaja yang cemas menunggu sang pacar, deru bus yang akan
berangkat, suara pengumuman anak hilang, tawa cekikikan perempuan genit, pekik
lagu Don’t Cry 4 dari tape
sebuah bus, jerit tangis anak yang dijewer ibunya, dan…
“Cuitt….cuittt…! Terminal milik
berdua nih yee!”
“Kita hanya numpang
lewat…hi..hi..hi..”
Beberapa pasang mata diam-diam
mencuri pandang ketika Nita mencium kening boneka monyet dalam dekapanku.
Beberapa gadis cekikikan. Aku merasa sindiran itu ditujukan kepada kami. Dasar
gadis kampungan, bentakku, hanya dalam hati. Tiba-tiba saja aku merasa malu.
Tiba-tiba saja aku seperti berada di sebuah panggung yang aneh di mana semua
mata tertuju hanya kepadaku.
Bisa jadi baru kali ini mereka
menyaksikan sebuah peristiwa perpisahan yang menggelikan sekaligus dramatis,
dengan ritual serah terima boneka monyet. Bisa jadi mereka geli melihatku,
lelaki gondrong bercelana jeans belel, jaket kulit lusuh, tampang mirip preman,
namun mendekap boneka monyet di dadanya yang kerempeng.
Namun, peristiwa mengharukan
apa yang tidak pernah terjadi dalam sebuah tempat bernama terminal? Sebuah
keluarga melepas kepergian putranya merantau entah ke mana. Remaja yang merasa
sangat bahagia menyambut kedatangan kekasih yang sangat dicintainya—barangkali
telah berbulan-bulan mereka berpisah. Linangan airmata seorang istri mengantar
suaminya menjadi kuli di negara tetangga. Atau mungkin ini, seorang penyair tua
yang mengajak kawannya menunggu bus jurusan sebuah kota berjam-jam, hanya lantaran ingin
mengenang gadis masalalu, yang pernah memberinya kebahagiaan dalam bus itu. Ah,
terminal memang mengharukan di mana sebagian orang ingin menghentikan putaran roda
waktu, sebagian lagi ingin mempercepat gerak waktu, dengan berbagai alasan dan
keperluan.
“Jangan lupa menyiram bunga mawar cinta kita,
ya!” pesan Nita sebelum naik ke dalam bus yang akan membawanya ke kampung
halaman. Mata yang berkilau-kilau itu menatap mataku lekat-lekat, seakan ingin
meyakinkan aku bahwa dia sungguh setia.
Beberapa detik kemudian, dia menghambur ke dalam dekapanku, menangis.
Persis adegan dalam sinetron-sinetron murahan yang suka ditontonnya berjam-jam.
Bunga mawar cinta? Ah, itu hanya sebutan
sayang bagi sepasang mawar yang kami tanam dalam pot di depan beranda. Sepasang
mawar itu kuhadiahkan untuk Nita ketika dia merayakan ulang tahunnya yang ke
duapuluh. Mawar merah muda itu kubeli dari penjaja bunga keliling seharga tiga
ribu rupiah per batang. Dan, Nita sangat rajin menyiram bunga yang suka kami
lambangkan sebagai cinta kasih kami yang mekar berseri. Sedangkan boneka monyet
yang menempel dalam dekapanku adalah boneka kesayangan Nita, hadiah dari ibunya
ketika dia berusia 15 tahun. Bisa jadi karena Nita ber-shio monyet, dia lebih
menyukai boneka monyet ketimbang boneka lain. Boneka itu diberinya nama
Nyetnyet. Yang mengharukan lagi, Nita mencintai bonekanya seperti bidadari
mencintai sayapnya. Seakan dengan boneka itu dia mampu terbang mengarungi
khayal demi khayal. Aku tidak pernah menanyakan, apa masa kecilnya kurang
bahagia?
Seperti monyet umumnya, tampang
Nyetnyet juga lucu dan menggemaskan. Matanya bulat kecil seukuran kancing baju,
hitam berkilau. Sering aku merasa mata Nyetnyet seakan berjiwa. Bulu boneka
berukuran 30 cm itu coklat suram dan hampir luntur. Mungkin karena usia atau
terlalu sering dipakai mainan oleh Nita. Aku tidak tahu apa jenis kelaminnya.
Mungkin tidak berjenis kelamin, namanya juga boneka. Tapi, aku yakin Nyetnyet
berkelamin laki-laki. Itu kuketahui dari matanya yang hitam berkilau seperti
memancarkan hawa cemburu yang ganas dan liar terhadapku. Mungkin saja Nyetnyet
tidak rela cinta tuannya terbagi dua.
Memang, hubungan Nita dengan
boneka monyetnya sangat erat dan hangat. Ketika sedang dilanda kesusahan,
Nyetnyet seringkali menjadi kawan yang dianggap mengerti dan siap setiap waktu
menadah keluh dan sedihnya. Wajar saja kalau boneka itu merasa cemburu
kepadaku, karena aku dianggap telah merebut tuannya.
Namun, sesungguhnya aku juga
cemburu terhadap boneka monyet itu. Bayangkan saja, Nita lebih mencintai
bonekanya ketimbang aku. Dia lebih banyak bercerita atau berkeluh kesah justru
dengan Nyetnyet ketimbang kekasihnya. Maka, aku pun berusaha keras memeras otak
agar perhatian Nita lebih tertuju kepadaku.
Maka, suatu hari aku
menghadiahi Nita dua boneka monyet kecil, berukuran sekitar 15 cm, berwarna
coklat tua dan coklat muda. Tujuanku tentu saja agar Nyetnyet memiliki teman
sehingga kami bisa bercengkerama dengan bebas tanpa mesti ada yang cemburu.
Nita sangat senang dan terharu menerima hadiah itu. Bahkan, dia mengusulkan
nama yang lucu untuk dua boneka barunya: Ciput dan Cupit.
“Nyetnyet, sekarang kamu udah punya kawan
baru, Ciput dan Cupit. Kamu jangan nakal lagi, ya! Jaga adik-adikmu!” ujarnya
kepada boneka yang lebih besar, persis seorang Ibu menasehati anak sulungnya.
Aku jadi geli melihat tingkah Nita yang kekanak-kanakan itu.
Tetapi celakanya, dengan
kehadiran dua boneka itu, perhatian Nita malah tambah berkurang kepadaku. Dia
malah lebih senang bermain dan bercengkerama dengan monyet-monyetnya. Sialan,
umpatku, hanya dalam hati.
Lambat laun kesabaranku pun
mulai luntur. Aku tidak tahan lagi dengan sikap Nita yang acuh tak acuh
terhadapku. Bagaimanapun juga, sebagai kekasih aku berhak mendapat jatah
perhatiannya. Kini jatahku telah direbut oleh monyet-monyet itu. Aku tidak
mampu lagi menahan kesal yang resah untuk membuncah. Dan, akhirnya aku pun
ngomel-ngomel tidak karuan.
“Kau anggap aku ini apa, heh!? Pacar atau
boneka raksasa yang tidak kau suka?! Aku hanya ingin kau bisa mengatur waktumu,
antara aku dan monyet-monyetmu itu!” protesku dengan nada suara yang tak mampu
kukendalikan lagi.
Nita menatapku takjub.
Terperanjat. Sebentar kemudian tubuhnya mengkerut, seakan baru saja berhadapan
dengan monster yang mengerikan. Dia tidak menyangka mendapat dampratan penuh
emosi seperti itu. Sebagai perempuan, Nita terlalu lembut dan perasa, seakan
bidadari yang tidak boleh disentuh dengan tubuh berdosa5.
Namun, semuanya telah
terlambat.
“Kau jahat! Kau kasar! Kau
tidak sayang aku lagi!” teriak Nita. Dia memeluk boneka-boneka monyetnya
erat-erat, seperti induk ayam melindungi anak-anaknya dari sergapan musang. Dia
menangis. Mogok bicara. Sedangkan aku, hanya bisa mengutuki diri sendiri.
Jujur, aku terlalu mencintainya. Jujur, sebenarnya aku tidak bermaksud
memarahinya. Aku hanya ingin melontarkan sedikit protes. Sebab aku merasa tidak
mendapat perhatian darinya. Dia terlalu sibuk dengan boneka-boneka monyet sialan
itu. Aku heran, mengapa perempuan selalu menjawab dengan air mata? Aku selalu
kesulitan bila terjebak dalam kondisi seperti itu.
Puji Tuhan, beberapa hari
kemudian Nita mencabut mogok bicaranya. Sekali lagi, Puji Tuhan, kisah kasih
kami pun kembali berjalan lancar. Meski dalam hatiku masih terasa ganjalan yang
disebabkan boneka monyet itu. Aku tak tahan menatap matanya yang hitam
berkilau, yang memancarkan teluh cemburu yang ganas, yang seakan hendak
memusnahkan aku tanpa sisa. Sungguh, aku tak tahan dengan berbagai pikiran
buruk yang meneror isi kepalaku.
***
Di terminal ini. Ya. Di
terminal ini, dulu aku melepas kepergian Nita pulang ke kampung halamannya.
“Mas! Mau ke mana, Mas?”
seorang calo bertubuh jangkung mencolek lenganku sambil tergesa-gesa
menyodorkan tiket bus entah jurusan mana. “Mau ke Yogya ya, Mas? Nih, tiketnya
tinggal lagi dua!”
Dasar calo! Ia terus mendesak
dan merayuku agar membeli tiketnya. Kini berani-beraninya ia duduk di sampingku
dan bertingkah sok akrab. Merasa kenyamananku terancam, akhirnya aku berkata
ketus, “Tidak! Aku lagi menunggu istriku!”
Melihat tampangku yang tidak
bersahabat, tanpa diusir calo itu ngloyor pergi sambil terus menggerutu.
Jam dinding di ruang tunggu
terminal telah mengarah pada pukul setengah delapan malam. Mengapa bus itu
belum juga tiba? Sesuai jadwal, mestinya bus itu sudah memasuki terminal.
Mudah-mudahan saja anak perempuanku yang berumur tiga tahun tidak rewel dengan
pembantuku di rumah. Bisa jadi dia sekarang sedang asyik bermain-main dengan boneka
monyet yang warna bulunya telah luntur dimakan usia itu. Aku tidak habis pikir,
mengapa putriku juga sangat menyukai boneka yang pernah habis-habisan kubenci
itu.
Bus datang dan pergi, seperti
kelahiran dan kematian! Berulang-ulang aku menunggu di terminal ini,
berulang-ulang pula aku harus menghadapi kecemasan yang sama. Semestinya aku
tidak perlu mengikuti anjuran Nenek. Semestinya aku tidak terlalu menganggap
perempuan itu seperti bidadari yang turun dari Kahyangan, kalau pada akhirnya
dia harus pergi sekehendak hatinya, meninggalkan lelaki dalam kepedihan dan
kesepian.
Jarum jam kini telah menuju
pukul sembilan. Duh…bisa jadi benar kecemasanku selama ini: istriku seperti
Nita, tidak akan balik lagi dari kampung halamannya.***
Denpasar, 2003
1
Durma adalah anak hasil kawin kontrak antara bidadari Ken Sulasih dengan
Rajapala. Dalam folklore Jawa, dongeng ini juga dikenal dengan tajuk “Joko
Tarub”.
2
Akhirnya Ken Sulasih kembali ke Kahyangan, sesuai perjanjiannya dengan
Rajapala. Karena tidak kuat menahan sedih, Rajapala pergi masuk hutan dan
menjadi pertapa.
3 dari
puisi “Mercusuar” karya penyair Jepang Yamamoto Taro.
4Lagu dari kelompok Gun N Roses.
5 dimodifikasi dari sebaris puisi
“Nawangwulan” karya Subagio Sastrowardoyo yang berbunyi: “jangan sentuh tubuhku
dengan tubuh berdosa, aku dari sorga”.
No comments:
Post a Comment