Cerpen: Wayan Sunarta
Bekas jejak
pada pasir basah itu masih tampak jelas. Jejak-jejak kaki orang dewasa itu
seperti mengarah pada suatu tempat. Yang jelas bukan menuju laut, tapi ke arah
rerimbunan semak belukar.
Laut menghempaskan gulungan-gulungan
gelombang ke tepian pantai. Sesekali mendamparkan beberapa cangkang kerang yang
kosong, sebab penghuninya telah mati atau mungkin berpindah tempat. Kekasihku
memunguti cangkang-cangkang kerang itu, menimang-nimangnya sebentar, kemudian
melemparkannya sekuat tenaga ke tengah laut. Sesekali dia melonjak kegirangan
karena lemparannya mampu menjangkau titik terjauh. Dia seakan menemukan
keasyikan tersendiri dalam permainannya itu.
Aku terpukau pada jejak-jejak kaki
yang menghilang dalam rerimbunan semak. Pantai ini termasuk sepi pengunjung.
Selain kami, aku tidak melihat orang lain di pesisir pantai. Kuperhatikan
jejak-jejak kaki itu. Berarti ada orang lain yang berada di sekitar pantai.
Bekas jejak itu masih basah, belum dihapus atau dikeringkan angin.
Aku penasaran dengan jejak itu.
Kuajak kekasihku mengikuti jejak yang menghilang di rerimbunan semak. Semula
kekasihku menolak. Aku dianggapnya kurang kerjaan. Namun aku sudah terlanjur
terpesona dengan jejak itu. Sedikit terpaksa, kekasihku akhirnya mau juga
mengikutiku menyusuri jejak yang aneh itu.
Setelah kuperiksa semak di mana
jejak itu menghilang, baru kusadari bahwa ada sebuah jalan setapak yang
menembus rerimbunan semak. Kami susuri jalan setapak itu dengan berdebar-debar.
Siapa tahu ada ular atau babi liar yang tiba-tiba muncul dan menyerang kami.
Semakin ke dalam kami menyusuri
jalan setapak, semak itu semakin lebat. Di balik semak itu, aku menemukan
sebuah gubug yang dibangun dari anyaman bambu dan pelepah kelapa. Dari pintu gubug
sesosok nenek renta muncul menenteng kuali. Rupanya dia hendak memasak sesuatu.
Kami menghampiri gubug itu dengan perasaan was-was. Rupanya nenek itu menyadari
kehadiran tamu tak diundangnya. “Ada tamu rupanya. Mampir sini, Nak,” ujarnya
ramah.
Paras nenek tua itu lumayan
mengerikan. Kulitnya sangat keriput. Matanya cekung dan seperti tidak ada bola
mata di dalamnya. Rambutnya yang putih dibiarkan lepas tergerai. Kekasihku
bergidik ngeri.
“Jangan takut. Nenek tidak akan mencelakai kalian,” nenek itu seperti
mampu membaca pikiran kami.
Dengan ragu-ragu, kami duduk di
sebatang pokok kelapa di depan gubug. Nenek itu melanjutkan kegiatannya memasak
sambil sesekali melirik ke arah kami. Kekasihku terus saja merengek mengajakku
meninggalkan tempat aneh itu.
Deru laut rupanya masih bisa
didengar dari gubug. Berarti nenek itu suka juga berjalan menyusuri pantai,
mungkin memunguti kerang-kerang yang dibawa ombak. Dan, jejak-jejak kaki yang
kutemui tadi mungkin milik si nenek.
“Nenek sedang memasak kerang untuk makan siang,” ujar nenek itu
sambil mengaduk-aduk kuali tanah liat yang dijerang di atas tungku dari
tumpukan bata bekas.
“Nenek tinggal sendiri, ya?” tanyaku
hanya sekadar ada kalimat yang meluncur.
“Tidak juga. Ada beberapa gubug di
balik semak ini. Masing-masing gubug didiami oleh teman-teman Nenek. Kerjanya
juga memunguti kerang-kerang dan sesekali mencari rumput laut.”
Aku mengamati sekelilingku. Memang
benar, aku melihat sekitar lima gubug yang rata-rata dibuat ala kadarnya
menggunakan bambu dan pelepah kelapa yang sudah dianyam. Para penghuninya
lelaki dan perempuan tua yang rata-rata rambutnya juga sudah memutih. Mereka
juga sedang memasak menggunakan kuali tanah liat.
“Maksud saya, Nenek tidak memiliki
keluarga?” selidikku.
Seakan tanpa beban, nenek itu
menjawab, “Sudah lama Nenek dibuang oleh anak-anak Nenek sendiri. Mereka jijik
melihat Nenek yang katanya menderita kusta.”
Kaget juga aku mendengar hal itu.
Kekasihku semakin merengek minta pulang. “Ayo kita pulang saja. Bisa-bisa kita
tertular kusta di sini.”
“Nggak usah cemas. Kita perlu
menolong Nenek ini,” bujukku.
“Apa kamu sudah gila!? Bagaimana
kita bisa menolong Nenek tua yang kusta ini? Ayo kita pulang saja, hari sudah
semakin senja.”
“Jangan keras-keras ngomongnya.
Nanti si nenek tersinggung,” ujarku setengah berbisik.
“Kenapa buru-buru. Makanlah dulu. Nenek masak
enak. Kalian mesti mencicipinya,” bujuk si nenek sambil mengangkat kuali dari
tungku.
Nenek masuk ke dalam gubugnya yang
reyot, kemudian keluar membawa tiga piring plastik kusam. Dia menyodorkan dua
piring pada kami. Aku menerimanya ragu-ragu, begitu pula kekasihku.
“Ayo, kita makan,” ajak si nenek.
Nenek mengambil gayung yang terbuat
dari batok kelapa yang juga nampak hitam kusam. Dia menciduk daging kerang dari
kuali kemudian menuangkannya ke dalam piring plastiknya. Kemudian dia
menuangkannya juga ke dalam piringku dan piring kekasihku. Kulirik wajah
kekasihku. Dia kelihatan seperti mau muntah. “Tahan…tahanlah…” bisikku, takut
kalau si nenek tersinggung.
“Bagaimana aku bisa tahan melihat
daging menjijikkan ini, apalagi menyantapnya.”
“Tapi coba saja, siapa tahu enak,”
bujukku seraya mencicipi sup kerang yang dimasak nenek itu. “Benar, enak, ayo
coba saja!”
Dengan masih menahan perasaan jijik,
kekasihku mencoba memasukkan sup kerang itu ke dalam mulutnya. Dia mengunyah
perlahan-lahan. “Iya, kok bisa enak ya?”
“Masakan Nenek memang enak-enak. Mau
tambah lagi?” komentar nenek itu sambil terkekeh-kekeh kegirangan.
“Tidak, Nek. Terima kasih. Ini saja
sudah cukup,” jawab kekasihku malu-malu. Aku tersenyum geli melihat tingkahnya.
Tanpa terasa langit senja telah
menjadi gelap. Dari sela-sela semak kulihat lampu-lampu kapal berkedip-kedip.
Nenek itu mulai memasang pelita di depan gubug. Entah mengapa aku merasa betah berada
di gubug ini.
“Bermalam di sini saja, Nak,” tawar
si nenek.
Kekasihku berbisik di kupingku. Dia
mengajakku pulang. Cemas akan dimarahi ibu kosnya kalau pulang terlalu malam.
“Maaf, Nek. Kami harus segera pulang,” jawabku sehalus mungkin, takut mengecewakan
nenek itu.
“Menginap di sini saja. Tengah malam
nanti akan ada acara menarik. Teman-teman Nenek akan membuat pertunjukan.
Kalian pasti senang.”
Aku membujuk kekasihku untuk
menuruti kemauan nenek itu. Kekasihku memasang tampang cemberut. Tapi akhirnya
dia menganggukkan kepala. Aku bilang padanya bahwa aku yang akan bertanggung
jawab kalau ibu kosnya marah. Kebetulan aku kenal baik dengan ibu kosnya yang
memang terkenal cerewet itu.
“Kami akan menginap di sini jika
Nenek tidak keberatan,” ujarku malu-malu. Nenek itu tersenyum kegirangan.
Malam yang dingin merayap bersama
kabut. Aku tidak bisa memejamkan mata, susah sekali tidur. Kekasihku juga
mengalami hal yang sama. Aku terkesiap ketika sosok tangan keriput menjulur
menggapai pundakku. “Jangan takut,” bisik si nenek. Dengan bahasa isyarat nenek
itu meminta kami bersiap-siap. Kemudian dia mengajak kami ke sebuah tanah
lapang. Debur laut terdengar gemuruh. Bintang-bintang di langit bersinar
terang, bahkan seperti mengerling ke arah kami.
Kami menuju ke tanah lapang yang
tersembunyi di rerimbunan semak. Kulihat api unggun menari-nari di kegelapan
malam. Nampak beberapa sosok bayangan mengitari api unggun. Mereka adalah
kawan-kawan nenek. Ada lelaki tua yang berjenggot dan berambut panjang yang semuanya
memutih. Ada juga yang kepalanya botak. Wajah mereka rata-rata menyeramkan.
Nenek itu mengajak kami duduk di antara mereka. Wajah-wajah yang mengitari api
unggun hanya terdiam, tanpa senyum.
Beberapa menit kemudian, lelaki tua
berjenggot panjang bangkit dan berjalan tertatih ke tengah lingkaran. “Saatnya
kita mulai,” ujar lelaki tua itu. “Silakan semuanya berdiri.”
Sosok-sosok yang tadinya duduk
melingkari api unggun serentak berdiri. Aku dan kekasihku menyingkir dari
lingkaran dan duduk di bawah pohon waru. Setelah diberikan aba-aba, mereka
mulai menari-nari mengelilingi api unggun sambil menyanyikan lagu-lagu yang
asing di telinga kami. Mula-mula gerak tarian mereka lambat dan tertatih. Lama
kelamaan semakin cepat diiringi teriak yang melengking-lengking. Aku teringat
film-film tentang suku Indian yang pernah kutonton. Lelaki berjengggot dan
berambut panjang itu semakin semangat memberi aba-aba. Agaknya lelaki itu ketua
suku di perkampungan gubug-gubug kumuh ini.
Malam makin dingin. Mendung tiba-tiba
datang menutupi gemintang yang tadinya bercahaya terang benderang. Kelam terasa
menjalar ke mana-mana. Juga kengerian. Dengan perasaan was-was kami menanti
adegan selanjutnya.
Gerak tarian mereka semakin tidak
beraturan. Tiba-tiba lelaki berjenggot panjang itu lenyap dari pandangan kami.
Kini seberkas cahaya kebiru-biruan ikut menari-nari bersama orang-orang jompo
itu. Pada mulanya aku tidak percaya pada mataku. Aku mengira diriku bermimpi.
Tapi pelukan kekasihku yang kencang dan gemetaran meyakinkan aku bahwa kejadian
di depan mataku benar-benar suatu kenyataan. “Aku takut…seram sekali!” rengek
kekasihku. Aku berusaha menenangkannya, meski aku sendiri juga agak ketakutan.
Adegan berikutnya lebih membuat bulu
kudukku berdiri kencang. Orang-orang jompo itu secara bergantian menjelma
cahaya kebiru-biruan. Kini yang berputar-putar mengelilingi api unggun bukan
manusia lagi, melainkan bola-bola cahaya. Mereka, bola-bola cahaya itu,
bergetar-getar dan meloncat-loncat mengikuti irama tarian. Kemudian bola-bola
cahaya itu melesat lebih tinggi, lalu hinggap di pelepah-pelepah pohon kelapa.
Bola-bola cahaya itu seperti bermain kejar-kejaran di antara pelepah-pelepah
kelapa. Kini serentak seperti gerombolan tawon mereka menuju ke arah laut.
Bergegas nenek itu mengajak kami ke pinggir pantai. Aku tidak kuasa menolak.
Kekasihku semakin gemetar ketakutan.
Kami duduk di pinggiran pantai
menanti dengan berdebar-debar adegan selanjutnya. Bola-bola cahaya
kebiru-biruan itu berputar-putar di atas permukaan laut seakan sedang berunding
dan menyusun strategi. Tiba-tiba saja dari arah timur segerombolan bola-bola
cahaya yang bersinar merah terang melesat menuju bola-bola cahaya yang sedang
berunding itu. Mereka serempak menabrak lingkaran bola-bola cahaya itu kemudian
berpencar tak beraturan. Bola-bola cahaya yang berwarna kebiru-biruan kembali
menyatu dan kali ini melesat menyerang gerombolan cahaya yang muncul dari timur
itu. Mereka saling tabrak, saling tubruk. Beberapa bola cahaya merah dan biru
pecah. Seperti pijar api tukang las, cahaya itu berpercikan dan musnah di laut.
Langit timur samar-samar mulai
tampak memerah. Bola-bola cahaya yang berseteru itu tampak seperti kelimpungan.
Mereka kemudian membubarkan diri. Nenek itu bergegas mengajak kami kembali ke
markas mereka. Kami menurut saja. Sampai di tanah lapang aku menyaksikan
beberapa sosok manusia mengerang-erang menahan sakit. Dalam keremangan fajar
pagi, aku melihat tubuh mereka membiru, bahkan beberapa bagian seperti gosong.
Aku mencoba bertanya pada nenek itu, namun aku susah menggerakkan mulutku.
“Kami kalah. Tiga orang mati. Tapi
pihak lawan juga ada yang terluka dan mati,” ujar nenek itu datar, seperti tahu
keherananku. Aku mencoba meraba-raba maksudnya.
“Yang kalian lihat tadi itu
pertempuran malam. Sejak lama kelompok kami bermusuhan dengan kelompok timur.
Dan pada malam bulan mati kami sepakat mengadu ilmu untuk membuktikan siapa
yang paling kuat. Itulah pertunjukan yang Nenek maksud,” jelasnya lagi, masih
dengan ekspresi datar.
Lelaki tua berjenggot panjang
berjalan tertatih-tatih menghampiri nenek itu. Wajahnya pucat dan tangannya
memegangi dadanya yang kerempeng. Aku merasa kasihan melihat lelaki tua itu.
Dia berlutut di depan si nenek. Fajar masih belum sempurna terang, namun dingin
pagi sudah terasa menggerogoti tulang.
“Guru, bunuhlah aku! Aku tidak mampu
menahan sakit di dadaku. Aku tidak bisa mengalahkan mereka,” ujar lelaki tua
itu memelas. Aku terkesiap. Nenek reyot itu dipangggil guru. Semula aku menduga
lelaki tua itu malah ketua sukunya.
“Sudahlah. Kau mesti berlatih lebih
tekun lagi. Sekarang istirahat dan obatilah lukamu,” ujar si nenek seraya
memerciki air di atas kepala lelaki tua yang mengerang-erang itu.
“Terima kasih, Guru,” lelaki tua itu
kemudian beringsut pergi.
Aku menatap nenek itu dengan wajah
heran. Nenek itu terkekeh. Nenek reyot yang memprihatinkan itu ternyata guru
mereka, tokoh yang dihormati. “Sejak
lama kami di sini menggembleng diri, mempersiapkan diri menyongsong kematian
kami. Setiap bulan mati kami mengadu kekuatan, dan dengan cara itu kami
berharap menemukan kebahagiaan. Kebetulan pula Nenek dipercaya sebagai guru
mereka,” jelas si nenek.
Pagi menjelang. Kokok ayam nyaring terdengar dari perkampungan. Aku
dan kekasihku mohon diri pulang. Nenek itu memberikan oleh-oleh berupa cangkang
kerang bertuliskan aksara yang asing bagiku. “Ini sebagai tanda bahwa kita
pernah bertemu,” ujarnya.
Pada bulan mati berikutnya aku kembali mengunjungi gubug nenek itu.
Kupergoki kekasihku diam-diam juga pergi ke situ. Memang, suatu kali dia pernah
mengutarakan niatnya ingin berguru pada si nenek. Dia ingin menjadi bola cahaya
yang menari-nari di langit malam. Dan, enam bulan kemudian, kekasihku telah
menjelma cahaya.***
Kesiman-Sanur,
2004/2005
No comments:
Post a Comment