Labels

Thursday, 20 October 2011

Kekasih Menjelma Cahaya


Cerpen: Wayan Sunarta



Bekas jejak pada pasir basah itu masih tampak jelas. Jejak-jejak kaki orang dewasa itu seperti mengarah pada suatu tempat. Yang jelas bukan menuju laut, tapi ke arah rerimbunan semak belukar.
            Laut menghempaskan gulungan-gulungan gelombang ke tepian pantai. Sesekali mendamparkan beberapa cangkang kerang yang kosong, sebab penghuninya telah mati atau mungkin berpindah tempat. Kekasihku memunguti cangkang-cangkang kerang itu, menimang-nimangnya sebentar, kemudian melemparkannya sekuat tenaga ke tengah laut. Sesekali dia melonjak kegirangan karena lemparannya mampu menjangkau titik terjauh. Dia seakan menemukan keasyikan tersendiri dalam permainannya itu.
            Aku terpukau pada jejak-jejak kaki yang menghilang dalam rerimbunan semak. Pantai ini termasuk sepi pengunjung. Selain kami, aku tidak melihat orang lain di pesisir pantai. Kuperhatikan jejak-jejak kaki itu. Berarti ada orang lain yang berada di sekitar pantai. Bekas jejak itu masih basah, belum dihapus atau dikeringkan angin.
            Aku penasaran dengan jejak itu. Kuajak kekasihku mengikuti jejak yang menghilang di rerimbunan semak. Semula kekasihku menolak. Aku dianggapnya kurang kerjaan. Namun aku sudah terlanjur terpesona dengan jejak itu. Sedikit terpaksa, kekasihku akhirnya mau juga mengikutiku menyusuri jejak yang aneh itu.
            Setelah kuperiksa semak di mana jejak itu menghilang, baru kusadari bahwa ada sebuah jalan setapak yang menembus rerimbunan semak. Kami susuri jalan setapak itu dengan berdebar-debar. Siapa tahu ada ular atau babi liar yang tiba-tiba muncul dan menyerang kami.
            Semakin ke dalam kami menyusuri jalan setapak, semak itu semakin lebat. Di balik semak itu, aku menemukan sebuah gubug yang dibangun dari anyaman bambu dan pelepah kelapa. Dari pintu gubug sesosok nenek renta muncul menenteng kuali. Rupanya dia hendak memasak sesuatu. Kami menghampiri gubug itu dengan perasaan was-was. Rupanya nenek itu menyadari kehadiran tamu tak diundangnya. “Ada tamu rupanya. Mampir sini, Nak,” ujarnya ramah.
            Paras nenek tua itu lumayan mengerikan. Kulitnya sangat keriput. Matanya cekung dan seperti tidak ada bola mata di dalamnya. Rambutnya yang putih dibiarkan lepas tergerai. Kekasihku bergidik ngeri.
“Jangan takut. Nenek tidak akan mencelakai kalian,” nenek itu seperti mampu membaca pikiran kami.
            Dengan ragu-ragu, kami duduk di sebatang pokok kelapa di depan gubug. Nenek itu melanjutkan kegiatannya memasak sambil sesekali melirik ke arah kami. Kekasihku terus saja merengek mengajakku meninggalkan tempat aneh itu.
            Deru laut rupanya masih bisa didengar dari gubug. Berarti nenek itu suka juga berjalan menyusuri pantai, mungkin memunguti kerang-kerang yang dibawa ombak. Dan, jejak-jejak kaki yang kutemui tadi mungkin milik si nenek.
“Nenek sedang memasak kerang untuk makan siang,” ujar nenek itu sambil mengaduk-aduk kuali tanah liat yang dijerang di atas tungku dari tumpukan bata bekas.
            “Nenek tinggal sendiri, ya?” tanyaku hanya sekadar ada kalimat yang meluncur.
            “Tidak juga. Ada beberapa gubug di balik semak ini. Masing-masing gubug didiami oleh teman-teman Nenek. Kerjanya juga memunguti kerang-kerang dan sesekali mencari rumput laut.”
            Aku mengamati sekelilingku. Memang benar, aku melihat sekitar lima gubug yang rata-rata dibuat ala kadarnya menggunakan bambu dan pelepah kelapa yang sudah dianyam. Para penghuninya lelaki dan perempuan tua yang rata-rata rambutnya juga sudah memutih. Mereka juga sedang memasak menggunakan kuali tanah liat.
            “Maksud saya, Nenek tidak memiliki keluarga?” selidikku.
            Seakan tanpa beban, nenek itu menjawab, “Sudah lama Nenek dibuang oleh anak-anak Nenek sendiri. Mereka jijik melihat Nenek yang katanya menderita kusta.”
            Kaget juga aku mendengar hal itu. Kekasihku semakin merengek minta pulang. “Ayo kita pulang saja. Bisa-bisa kita tertular kusta di sini.”
            “Nggak usah cemas. Kita perlu menolong Nenek ini,” bujukku.
            “Apa kamu sudah gila!? Bagaimana kita bisa menolong Nenek tua yang kusta ini? Ayo kita pulang saja, hari sudah semakin senja.”
            “Jangan keras-keras ngomongnya. Nanti si nenek tersinggung,” ujarku setengah berbisik.
             “Kenapa buru-buru. Makanlah dulu. Nenek masak enak. Kalian mesti mencicipinya,” bujuk si nenek sambil mengangkat kuali dari tungku.
            Nenek masuk ke dalam gubugnya yang reyot, kemudian keluar membawa tiga piring plastik kusam. Dia menyodorkan dua piring pada kami. Aku menerimanya ragu-ragu, begitu pula kekasihku.
            “Ayo, kita makan,” ajak si nenek.
            Nenek mengambil gayung yang terbuat dari batok kelapa yang juga nampak hitam kusam. Dia menciduk daging kerang dari kuali kemudian menuangkannya ke dalam piring plastiknya. Kemudian dia menuangkannya juga ke dalam piringku dan piring kekasihku. Kulirik wajah kekasihku. Dia kelihatan seperti mau muntah. “Tahan…tahanlah…” bisikku, takut kalau si nenek tersinggung.
            “Bagaimana aku bisa tahan melihat daging menjijikkan ini, apalagi menyantapnya.”
            “Tapi coba saja, siapa tahu enak,” bujukku seraya mencicipi sup kerang yang dimasak nenek itu. “Benar, enak, ayo coba saja!”
            Dengan masih menahan perasaan jijik, kekasihku mencoba memasukkan sup kerang itu ke dalam mulutnya. Dia mengunyah perlahan-lahan. “Iya, kok bisa enak ya?”
            “Masakan Nenek memang enak-enak. Mau tambah lagi?” komentar nenek itu sambil terkekeh-kekeh kegirangan.
            “Tidak, Nek. Terima kasih. Ini saja sudah cukup,” jawab kekasihku malu-malu. Aku tersenyum geli melihat tingkahnya.
            Tanpa terasa langit senja telah menjadi gelap. Dari sela-sela semak kulihat lampu-lampu kapal berkedip-kedip. Nenek itu mulai memasang pelita di depan gubug. Entah mengapa aku merasa betah berada di gubug ini.
            “Bermalam di sini saja, Nak,” tawar si nenek.
            Kekasihku berbisik di kupingku. Dia mengajakku pulang. Cemas akan dimarahi ibu kosnya kalau pulang terlalu malam. “Maaf, Nek. Kami harus segera pulang,” jawabku sehalus mungkin, takut mengecewakan nenek itu.
            “Menginap di sini saja. Tengah malam nanti akan ada acara menarik. Teman-teman Nenek akan membuat pertunjukan. Kalian pasti senang.”
            Aku membujuk kekasihku untuk menuruti kemauan nenek itu. Kekasihku memasang tampang cemberut. Tapi akhirnya dia menganggukkan kepala. Aku bilang padanya bahwa aku yang akan bertanggung jawab kalau ibu kosnya marah. Kebetulan aku kenal baik dengan ibu kosnya yang memang terkenal cerewet itu.
            “Kami akan menginap di sini jika Nenek tidak keberatan,” ujarku malu-malu. Nenek itu tersenyum kegirangan.
            Malam yang dingin merayap bersama kabut. Aku tidak bisa memejamkan mata, susah sekali tidur. Kekasihku juga mengalami hal yang sama. Aku terkesiap ketika sosok tangan keriput menjulur menggapai pundakku. “Jangan takut,” bisik si nenek. Dengan bahasa isyarat nenek itu meminta kami bersiap-siap. Kemudian dia mengajak kami ke sebuah tanah lapang. Debur laut terdengar gemuruh. Bintang-bintang di langit bersinar terang, bahkan seperti mengerling ke arah kami.
            Kami menuju ke tanah lapang yang tersembunyi di rerimbunan semak. Kulihat api unggun menari-nari di kegelapan malam. Nampak beberapa sosok bayangan mengitari api unggun. Mereka adalah kawan-kawan nenek. Ada lelaki tua yang berjenggot dan berambut panjang yang semuanya memutih. Ada juga yang kepalanya botak. Wajah mereka rata-rata menyeramkan. Nenek itu mengajak kami duduk di antara mereka. Wajah-wajah yang mengitari api unggun hanya terdiam, tanpa senyum.
            Beberapa menit kemudian, lelaki tua berjenggot panjang bangkit dan berjalan tertatih ke tengah lingkaran. “Saatnya kita mulai,” ujar lelaki tua itu. “Silakan semuanya berdiri.”
            Sosok-sosok yang tadinya duduk melingkari api unggun serentak berdiri. Aku dan kekasihku menyingkir dari lingkaran dan duduk di bawah pohon waru. Setelah diberikan aba-aba, mereka mulai menari-nari mengelilingi api unggun sambil menyanyikan lagu-lagu yang asing di telinga kami. Mula-mula gerak tarian mereka lambat dan tertatih. Lama kelamaan semakin cepat diiringi teriak yang melengking-lengking. Aku teringat film-film tentang suku Indian yang pernah kutonton. Lelaki berjengggot dan berambut panjang itu semakin semangat memberi aba-aba. Agaknya lelaki itu ketua suku di perkampungan gubug-gubug kumuh ini.
            Malam makin dingin. Mendung tiba-tiba datang menutupi gemintang yang tadinya bercahaya terang benderang. Kelam terasa menjalar ke mana-mana. Juga kengerian. Dengan perasaan was-was kami menanti adegan selanjutnya.
            Gerak tarian mereka semakin tidak beraturan. Tiba-tiba lelaki berjenggot panjang itu lenyap dari pandangan kami. Kini seberkas cahaya kebiru-biruan ikut menari-nari bersama orang-orang jompo itu. Pada mulanya aku tidak percaya pada mataku. Aku mengira diriku bermimpi. Tapi pelukan kekasihku yang kencang dan gemetaran meyakinkan aku bahwa kejadian di depan mataku benar-benar suatu kenyataan. “Aku takut…seram sekali!” rengek kekasihku. Aku berusaha menenangkannya, meski aku sendiri juga agak ketakutan.
            Adegan berikutnya lebih membuat bulu kudukku berdiri kencang. Orang-orang jompo itu secara bergantian menjelma cahaya kebiru-biruan. Kini yang berputar-putar mengelilingi api unggun bukan manusia lagi, melainkan bola-bola cahaya. Mereka, bola-bola cahaya itu, bergetar-getar dan meloncat-loncat mengikuti irama tarian. Kemudian bola-bola cahaya itu melesat lebih tinggi, lalu hinggap di pelepah-pelepah pohon kelapa. Bola-bola cahaya itu seperti bermain kejar-kejaran di antara pelepah-pelepah kelapa. Kini serentak seperti gerombolan tawon mereka menuju ke arah laut. Bergegas nenek itu mengajak kami ke pinggir pantai. Aku tidak kuasa menolak. Kekasihku semakin gemetar ketakutan.
            Kami duduk di pinggiran pantai menanti dengan berdebar-debar adegan selanjutnya. Bola-bola cahaya kebiru-biruan itu berputar-putar di atas permukaan laut seakan sedang berunding dan menyusun strategi. Tiba-tiba saja dari arah timur segerombolan bola-bola cahaya yang bersinar merah terang melesat menuju bola-bola cahaya yang sedang berunding itu. Mereka serempak menabrak lingkaran bola-bola cahaya itu kemudian berpencar tak beraturan. Bola-bola cahaya yang berwarna kebiru-biruan kembali menyatu dan kali ini melesat menyerang gerombolan cahaya yang muncul dari timur itu. Mereka saling tabrak, saling tubruk. Beberapa bola cahaya merah dan biru pecah. Seperti pijar api tukang las, cahaya itu berpercikan dan musnah di laut.
            Langit timur samar-samar mulai tampak memerah. Bola-bola cahaya yang berseteru itu tampak seperti kelimpungan. Mereka kemudian membubarkan diri. Nenek itu bergegas mengajak kami kembali ke markas mereka. Kami menurut saja. Sampai di tanah lapang aku menyaksikan beberapa sosok manusia mengerang-erang menahan sakit. Dalam keremangan fajar pagi, aku melihat tubuh mereka membiru, bahkan beberapa bagian seperti gosong. Aku mencoba bertanya pada nenek itu, namun aku susah menggerakkan mulutku.
            “Kami kalah. Tiga orang mati. Tapi pihak lawan juga ada yang terluka dan mati,” ujar nenek itu datar, seperti tahu keherananku. Aku mencoba meraba-raba maksudnya.
            “Yang kalian lihat tadi itu pertempuran malam. Sejak lama kelompok kami bermusuhan dengan kelompok timur. Dan pada malam bulan mati kami sepakat mengadu ilmu untuk membuktikan siapa yang paling kuat. Itulah pertunjukan yang Nenek maksud,” jelasnya lagi, masih dengan ekspresi datar.
            Lelaki tua berjenggot panjang berjalan tertatih-tatih menghampiri nenek itu. Wajahnya pucat dan tangannya memegangi dadanya yang kerempeng. Aku merasa kasihan melihat lelaki tua itu. Dia berlutut di depan si nenek. Fajar masih belum sempurna terang, namun dingin pagi sudah terasa menggerogoti tulang.
            “Guru, bunuhlah aku! Aku tidak mampu menahan sakit di dadaku. Aku tidak bisa mengalahkan mereka,” ujar lelaki tua itu memelas. Aku terkesiap. Nenek reyot itu dipangggil guru. Semula aku menduga lelaki tua itu malah ketua sukunya.
            “Sudahlah. Kau mesti berlatih lebih tekun lagi. Sekarang istirahat dan obatilah lukamu,” ujar si nenek seraya memerciki air di atas kepala lelaki tua yang mengerang-erang itu.
            “Terima kasih, Guru,” lelaki tua itu kemudian beringsut pergi.
            Aku menatap nenek itu dengan wajah heran. Nenek itu terkekeh. Nenek reyot yang memprihatinkan itu ternyata guru mereka, tokoh yang dihormati.  “Sejak lama kami di sini menggembleng diri, mempersiapkan diri menyongsong kematian kami. Setiap bulan mati kami mengadu kekuatan, dan dengan cara itu kami berharap menemukan kebahagiaan. Kebetulan pula Nenek dipercaya sebagai guru mereka,” jelas si nenek.
Pagi menjelang. Kokok ayam nyaring terdengar dari perkampungan. Aku dan kekasihku mohon diri pulang. Nenek itu memberikan oleh-oleh berupa cangkang kerang bertuliskan aksara yang asing bagiku. “Ini sebagai tanda bahwa kita pernah bertemu,” ujarnya.
Pada bulan mati berikutnya aku kembali mengunjungi gubug nenek itu. Kupergoki kekasihku diam-diam juga pergi ke situ. Memang, suatu kali dia pernah mengutarakan niatnya ingin berguru pada si nenek. Dia ingin menjadi bola cahaya yang menari-nari di langit malam. Dan, enam bulan kemudian, kekasihku telah menjelma cahaya.***


Kesiman-Sanur, 2004/2005    
                       
           

No comments:

Post a Comment