cerpen : Wayan Sunarta
Laut
itu masih selalu kelabu, sejak berabad-abad lalu. Warna langit yang biru dan
sedikit kelam terpantul di lautan kelabu. Pasir yang menghampar hitam seperti
tersepuh warna muram. Angin menyisir pohon-pohon nyiur. Jiwaku berdesir…
Entah apa yang memedihkan hatiku
ketika menatap lautan kelabu itu? Selalu saja kakiku ingin melangkah ke situ,
duduk di sebuah warung kopi sederhana, dan seakan tak jenuh menatap lautan yang
tenang, meskipun kelabu.
Secangkir kopi hangat dengan uap air
mengepul terhidang di meja. Aku mengambil rokok, menyalakan dan menghisapnya
perlahan. Senja akan segera berakhir. Namun aku belum juga mampu merumuskan
tujuanku, selain hanya ingin menatap, dan terus menatap lautan kelabu yang
menghampar di hadapanku, seperti jubah tua masa silam. Aku merasa jiwaku ingin
berkisah, entah apa.
Sejak kanak aku telah menyukai alam
pantai. Ayah sering mengajakku memancing atau menangkap ikan menggunakan jaring
kecil. Jika laut surut, ikan-ikan kecil akan terjebak di kubangan-kubangan atau
ceruk-ceruk dekat pantai. Mungkin ikan-ikan malang itu terlambat menyelamatkan diri dari
air laut yang surut, atau terlalu asyik mencari makanan berupa lumut dan
plankton.
Dengan girang aku menangkapi ikan-ikan malang itu dan menaruhnya dalam ember kecil.
Sekali waktu terdengar teriakan Ayah diantara desah angin pantai, mengingatiku
akan bahaya bulu-bulu babi, ubur-ubur, atau ular laut berbisa yang suka
sembunyi di ceruk-ceruk karang. Namun, aku tidak peduli. Aku terlalu asyik dengan
ikan-ikan kecil yang malang
itu. Hingga suatu waktu tiba-tiba saja telapak kakiku yang tidak beralas
seperti disengat sesuatu. Aku berteriak kesakitan dan menangis sejadi-jadinya.
Ayah panik dan buru-buru membopongku ke pasir pantai.
Dua duri bulu babi telah bersarang dengan nyaman dalam daging
telapak kakiku. Tubuhku seketika menggigil dan demam, racun bulu babi menjalar
memenuhi buluh-buluh darahku. Ayah membuka kolornya dan buru-buru mengencingi
telapak kakiku. Di tengah rasa sakit yang menyengat, aku tidak bisa
menyembunyikan kekagetanku melihat air kuning hangat milik Ayah meluncur ke
telapak kakiku. Ayah menjelaskan, air kencing konon ampuh melawan racun bulu
babi.
Hampir setiap senja aku bermain-main di pantai bersama kawan-kawan
sebaya. Aku suka berenang-renang dan sekali waktu membuat bukit-bukit pasir.
Ketika pulang, tak lupa aku membawa kerang-kerang beraneka warna. Kupajang
kerang-kerang itu di meja belajarku. Dan setiap memandanginya aku selalu rindu
untuk datang ke pantai. Seakan antara diriku dan pantai ada suatu tali halus
yang mempertautkan.
Ketika Nenek yang menyayangiku meninggal dan mayatnya dikremasi, abu
Nenek juga dilarung di laut yang sering kukunjungi itu. Aku tidak begitu sedih
saat Nenek meninggal. Aku mulai belajar maklum, usia tua adalah gerbang menuju
kematian. Saat itu aku masih merasa ditemani Nenek. Masih ada jasadnya yang
bisa kupandangi dengan perasaan kasih. Namun ketika Nenek dikremasi dan abunya
ditabur ke laut, aku benar-benar merasa kehilangan orang yang sangat kusayangi
dan juga menyayangiku. Di pantai aku menangis terisak-isak. Pandanganku hampa
menatap laut yang berwarna kelabu. Waktu
itu usiaku 14 tahun.
Namun, bukan karena itu aku selalu terkenang akan laut yang berwarna
kelabu. Ada
sesuatu, entah apa, yang selalu membuat aku tertarik untuk datang ke tempat
ini. Duduk berlama-lama di warung kopi dan menatap laut dengan jiwa yang nglangut.
Sepertinya ada segumpal kenangan pedih yang masih terus memanggil-manggil dari
kesuraman bawah laut...
***
Laut Kelabu, 1880
Cahaya memantul dari mata pedang dan
tombak. Lelaki dan perempuan muda yang tangan dan kakinya terikat itu masih
sempat merasakan senja akan angslup. Angin menyisir nyiur-nyiur. Jiwa mereka
berdesir…
Bentakan dan teriakan laskar seperti
sengatan duri-duri bulu babi.
“Ayo, cepat naik ke tongkang!”
“Cepat! Dasar penghianat!”
“Tidak tahu membalas budi!”
Mereka digiring paksa ke atas
tongkang yang sebentar lagi melaju ke arah laut dalam. Angin pantai masih
terasa segar. Angin beraroma garam dan ganggang membelai lembut kulit kuning
langsat perempuan itu. Juga kulit sawomuda dada lelaki yang ditumbuhi bulu-bulu
cukup lebat. Mereka sekilas bersitatap. Dua pasang mata yang diliputi kesedihan
sekaligus kebahagiaan, saling beradu, mencoba menyelami kedalaman jiwa
masing-masing.
Dua sejoli itu kembali terbayang
amarah dan titah raja.
“Kalian telah mempermalukan kerajaan. Kalian telah menjadi aib di
negeri ini. Kalian layak dihukum mati!”
Lelaki muda itu hanyalah seorang
abdi istana. Seorang abdi kesayangan raja, bahkan telah dianggap sebagai anak
sendiri. Lelaki itu dipungut oleh raja ketika ia masih bayi merah yang menangis
menjerit-jerit di sebuah gubug ketika peperangan sedang berlangsung. Raja
meminta seorang dayang untuk memeliharanya, dan juga menyusuinya. Bayi itu
kemudian tumbuh besar menjadi lelaki yang bersih dan tampan. Banyak
dayang-dayang muda istana jatuh hati pada lelaki itu.
Suatu kali, selir raja yang masih muda dan jelita berjalan-jalan di
taman istana ditemani para dayang. Secara kebetulan selir raja berpapasan
dengan lelaki itu. Jiwa mereka berdesir...
Lelaki itu tidak pernah tahu perempuan jelita yang membuat jiwanya
berdesir adalah selir raja. Ia terlanjur mabuk kepayang ditikam panah asmara Dewa Kamajaya.
Begitu pula perempuan jelita itu lupa pada posisinya sebagai selir raja.
Perempuan itu telah digoda oleh Dewi Ratih.
Namun, sesungguhnya perempuan itu telah dipaksa dan terpaksa menjadi
selir raja tua. Keluarga perempuan itu sangat miskin dan banyak berutang pada raja.
Demi menyelamatkan keluarga dari jeratan utang, perempuan itu bersedia (meski
nelangsa) dijadikan selir raja.
Sebelum bertemu di taman istana, perempuan itu telah pernah berjumpa
dengan abdi raja itu, pada sebuah keramaian pasar. Saling melirik, dan
tertarik, meski diam-diam. Dan, pada waktu yang telah ditentukan Sang Hidup,
mereka kembali bertemu di istana dengan posisi yang jauh berbeda, lelaki abdi
dan perempuan selir.
Dua sejoli itu tidak mampu lagi menahan gairah untuk bersatu.
Diam-diam mereka sering mengadakan pertemuan. Mulanya hanya bersitatap
malu-malu, bercengkerama ragu-ragu, tapi akhirnya berani berkasih-kasihan,
meski tidak terang-terangan.
Lambat laun raja mencium bau busuk dalam istananya. Permainan
mereka, sumber bau busuk itu, terbongkar. Raja murka. Dan, seperti apa yang
telah digariskan dalam hukum kerajaan, lelaki yang berani menyelingkuhi selir raja
dianggap melawan kekuasaan dan mencemari kerajaan. Hukuman bagi pasangan
selingkuh itu adalah maselong, ditenggelamkan ke laut dengan kaki dan tangan
terikat.
Laut kelabu. Ombak dan
gelombang seperti saling berbagi duka bagi dua sejoli itu. Meski mereka saling
mencintai, namun titah adalah titah. Mereka harus dilarung ke dalam laut
kelabu.
Sejenak, sebelum perintah, dua sejoli itu saling tatap, dan seperti
membisikkan suatu janji...
“Larung! Tenggelamkan!” perintah komandan laskar.
Dua sejoli yang tangan dan kakinya terikat itu dengan kasar
diceburkan ke dalam laut kelabu. Percik-percik air menimpa lambung tongkang
yang melaju kencang dan menciprati muka-muka masam para laskar kerajaan. Tubuh
dua sejoli itu seketika ditelan gelombang, dan bersiap menghuni kerajaan bawah
laut, menjadi raja dan ratu terkutuk.
***
Suara desah ombak bergema dalam telingaku. Angin bersuir seperti
siul hantu-hantu laut.
“Nadha, di mana kamu?!”
Panggilan itu mengembalikan jiwaku dari bayang-bayang mengerikan.
Bayang-bayang yang kerap menghantuiku, yang datang serupa mimpi buruk di siang
bolong. Apa aku melamun? Kenapa aku berada di pinggir pantai? Tadi aku duduk
merokok dan ngopi di warung langgananku. Apa gerangan yang menggerakkan
aku termenung di tepi pantai kelabu ini?
“Nadha, kamu di mana?!” suara itu kembali memanggil.
Kulihat sosok perempuan sebayaku seperti kebingungan mencari
sesuatu. Ia memanggil-manggil, namun suaranya seperti dipermainkan angin.
Perempuan itu adalah Nadhi, saudara
kembarku.
“Aku di sini, Nadhi!” aku melambaikan tangan, memanggil saudara
kembarku. Ia berlari-lari kecil ke arahku. Sampai di depanku ia menjatuhkan
dirinya di pasir dan berusaha mengatur nafasnya yang seperti desah lautan.
“Kenapa kau suka sekali bengong di tepi pantai ini? Ibu kebingungan
mencarimu. Ayo, pulang!”
Rumah kami hanya berjarak satu kilometer dari pantai. Itulah
sebabnya aku dengan leluasa bisa bermain-main di pantai ketika senja. Atau
sekedar melamun, merenungi lautan yang nampak selalu kelabu. Atau duduk
berlama-lama di warung kopi langgananku.
“Semestinya Ibu tahu kebiasaanku, bermain di pantai atau duduk-duduk
di warung sederhana itu. Tapi kenapa Ibu kebingungan mencariku? Aku bukan anak
kecil lagi, aku bisa menjaga diriku.”
“Sudah hampir petang. Dari siang kamu belum makan. Ibu selalu
mencemaskan kamu dibanding aku,” Nadhi cemberut.
Aku suka sekali melihat wajah saudara kembarku ketika sedang
cemberut. Manis dan menggemaskan. Selalu saja aku menemukan kebahagiaan yang
ganjil bila berdekatan atau menatap matanya yang bening berkilau. Samar-samar
bisa kurasakan, aku mencintainya tidak hanya sebagai saudara kembar, tetapi
lebih dari itu.
Kami, aku dan Nadhi, ditakdirkan lahir sebagai kembar buncing,
kembar laki dan perempuan. Menurut cerita Ibu, aku lahir lima menit lebih awal dari Nadhi. Suara
tangisku lebih keras dan melengking, sedangkan Nadhi hampir tidak terdengar
tangisnya. Saat itu, aku tidak tahu, apa tangisku yang keras itu menandakan aku
menyesal atau bahagia lahir ke dunia yang diliputi penderitaan ini.
Bagi tradisi di desa kami yang masih kolot, kelahiran kembar seperti
kami merupakan aib bagi desa. Dan, untuk menghindari malapetaka yang diyakini
akan menimpa desa, warga mengungsikan kami dan orang tua kami ke pinggiran desa
dekat kuburan selama tiga bulan.
Orang tua kami menjalani tradisi kuno itu dengan tabah dan doa.
Selama masa pengungsian, kami sering menderita sakit. Meski masih berupa bayi
merah, kami bisa merasakan penderitaan orang tua kami yang hidup antara bahagia
dan ketakutan. Bahagia karena kelahiran kami. Ketakutan karena berbagai teror
ilmu hitam yang disebar oleh warga yang tidak suka pada kami. Kami adalah aib
bagi mereka.
Masa-masa rawan selama pengungsian berhasil kami lalui dengan
lancar. Namun, gunjingan tentang kami terus saja menyebar dan membuat gerah
warga desa. Sejumlah warga menganggap roh yang menitis ke tubuh kami adalah roh
terkutuk. Mereka menduga, dalam kehidupan masa lalu, kami telah melakukan
kesalahan yang sangat berat sehingga harus lahir kembar buncing. Mereka
meyakini, roh yang menitis ke tubuh kami pada kelahiran di masa lalu adalah
pasangan selingkuh, yang atas nama kehormatan dan harga diri, layak untuk
dimusnahkan.
Akhirnya, untuk menghindari
cemooh dan kejadian yang tidak diharapkan, orang tua kami memilih tinggal di
sebuah ladang yang dekat dengan pantai.
Di sana, kami
dibesarkan dalam aroma garam dan ganggang. Masa-masa sulit itu telah lama
lewat. Dua puluh tahun telah berlalu.
Senja mulai sirna dari hamparan pantai. Aku merangkul mesra pundak
Nadhi. “Ibu mencintai kita berdua, kau dan aku,” bisikku menghiburnya.
Kami seperti dua sejoli yang begitu saja dijatuhkan ke dunia, serupa
Adam dan Hawa. Kami kembali ke rumah. Ibu menunggu dengan cemas. Laut kelabu
semakin pedih memeram gumpalan kenangan.***
Denpasar,
2004
(Jurnal Cerpen Indonesia, Edisi 05/Desember 2004)
No comments:
Post a Comment