cerpen : Wayan Sunarta
Lelaki itu duduk bertopang
dagu di bangku kayu di sebuah taman rumah sakit. Di langit barat, senja baru
saja selesai menarik kuas terakhirnya, membubuhkan warna merah keemasan. Dan
seperti biasa, burung-burung yang letih pulang ke pembaringannya, di
pucuk-pucuk pohon yang berderet di jalan menuju taman rumah sakit itu.
Aku
baru saja selesai mandi dan mencuci rambut yang lebih dari tiga hari tak
terurus. Aku terpaksa melakukan pekerjaan yang menjemukan itu di kamar mandi rumah
sakit. Kalau aku pulang ke rumah, siapa yang harus menunggui istriku? Di dunia
ini secara sah aku hanya memiliki istriku saja.
Mertuaku kemungkinan besok
sore baru tiba di Bali. Mereka aku telepon kemarin malam, mengabari bahwa
istriku akan segera melahirkan cucu pertamanya.
Mudah-mudahan cucu yang sehat, cantik seperti ibunya atau ganteng
seperti ayahnya. Yeah, aku perlu
menghibur diri untuk menghadapi fenomena alam yang baru kali ini menghampiri
hidupku. Sesungguhnya aku ngeri membayangkan, apalagi melihat perempuan
melahirkan. Bau amis darah dan jerit kesakitan sudah cukup membuatku bergidik.
Aku pernah mendengar
peristiwa melahirkan terkadang memakan korban. Setelah si bayi lahir dengan
selamat, ibunya malah meregang nyawa, menunggu saat tangan lembut maut meraih
ujung rambutnya. Aku teringat kawan baikku yang kini menjadi pemabuk. Dia
frustasi. Maut telah merampok istrinya saat menunaikan tugas mulianya sebagai
perempuan: melahirkan titipan Sang Pencipta.
“Tuhan
memang brengsek. Jahaman besar!” umpatnya suatu kali di meja bar, tempat kami
biasa nongkrong melepas kepergian malam menuju pagi.
“Apakah
Tuhan mempunyai hati nurani seperti manusia?” tanyanya pada udara hampa. Lima
botol bir habis ditenggaknya.
“Kalau
Tuhan Maha Baik, kenapa Dia merampok istriku dari diriku dan anakku?!”
Begitulah,
malam tuntas dilumatnya, dicampurnya dengan cairan arak dan bir. Dan wajah
Tuhan pun habis diludahinya dengan umpatan dan cacian. Aku terkadang kasihan
padanya. Terkadang juga kesal dan kecewa melihat tinggkahnya, walau aku
berusaha paham kesedihannya sangat
mendalam. Aku tahu betul, kawanku itu dulunya sangat rajin sembahyang,
memanjatkan pujian-pujian untuk Tuhan. Bahkan ia cenderung fanatik membela
Tuhan kalau kebetulan kami berdebat tentang agama. Kini, terjadilah apa yang
telah digariskan: istri kawanku mati saat melahirkan anak pertamanya. Dan dia
mulai membenci Tuhan.
Malam
mulai membuka matanya dan akan segera berjalan-jalan menyapa pepohonan, menyapa
orang-orang yang bersahabat dengannya, menyapa embun, menyapa bulan, menyapa
apa saja yang dihampiri atau menghampirinya. Itulah hakikat malam yang sopan
dan santun pada mahluk di bumi.
Lelaki
yang bertopang dagu itu masih saja duduk di bangku kayu taman rumah sakit.
Malam pun menyapanya dengan ramah, namun ia seakan tak peduli dengan sapaaan
malam yang ramah itu. Malah dia membentak malam dengan kejam.
“Mengapa
kau harus selalu datang, hai malam jahanam!”
Lelaki
aneh, pikirku. Sebenarnya aku berniat juga untuk menyapanya, seperti malam
menyapanya. Tapi aku keder juga bila mulutnya menyemprotkan kata-kata kasar ke
arahku. Aku lelaki perasa yang gampang tersinggung bila ada sesuatu yang
menyinggung perasaanku. Sesuatu itu bisa saja umpatan atau makian.
Nah,
benarkan apa kataku? Malam menangis. Air matanya menjadi gerimis. Ternyata
malam perasa juga seperti aku. Wahai, malam, kita ternyata punya perasaan yang
tidak berbeda. Tapi apakah malam juga akan menangis bila istrinya mati saat
melahirkan anak pertamanya yang bernama fajar itu? Untuk yang satu itu, ah,
malam tidak akan menangis karena anak-anaknya akan selalu lahir dari
istri-istrinya yang lain.
Kau
tahu, aku pernah juga menjumpai seekor gagak yang menangis serak. Tapi bukan
karena istrinya mati melahirkan. Gagak bukan jenis hewan yang melahirkan
anaknya. Tapi gagak itu menangis karena tidak tega memakan bangkai orok yang
dibuang dengan sengaja oleh ibunya di
tegalan belakang sebuah kampus di kotaku. Aku menyaksikan sendiri bagaimana
gagak itu menangis serak sambil meratapi bangkai orok yang entah apa jenis
kelaminnya. Mungkin si ibu orok itu sekarang lagi berdandan di depan cermin
besar di meja riasnya untuk menghadiri sebuah pesta muda-mudi. Mungkin si ibu
yang habis membuang hasil karyanya itu pergi ke sebuah diskotik dekat pantai dan berjingkrak-jingkrak sampai pagi, seirama
musik yang memekakkan kuping. Mungkin dia menyesal, dan melupakannya dengan
hura-hura. Kenapa dia tidak mati saja sekalian dengan oroknya agar musnah
segala yang bernama duka dunia?
Aku
kembali teringat pada kawanku yang
frustasi itu. Tentu dia kini ada di sebuah bar yang sering kami singgahi dulu.
Tentu dia minum lima botol bir dengan nikmat sambil memaki Tuhan dan melupakan
penderitaan hidup sebagai manusia.
“Kawan,
jangan kau sampai punya istri,” katanya suatu kali padaku, kali itu ia tidak
dalam keadaan mabuk.
Aku agak kaget mendengar
sarannya yang ganjil itu. Sesungguhnya manusia dilahirkan ke dunia membawa misi
untuk mengembakbiakan keturunan Adam dan Hawa. Ya, dengan cara beristri itu,
dengan menikah itu. Aneh-aneh saja usul kawanku itu.
“Kenapa
aku tidak boleh menikah?”
“Agar
kau tidak seperti aku.”
“Tapi
jalan hidup kita berbeda, Bung.”
“Ya,
memang jalan hidup kita berbeda. Tapi aku sarankan, janganlah kau menikah. Kau
akan menderita seperti aku ini.”
“Tapi
aku juga ingin menikmati manis madunya perkawinan.”
“Tapi kau akan menikmati pahit getirnya juga.”
Aku
terdiam. Benar juga kata kawanku itu. Sebuah pernikahan tidak hanya untuk
menikmati manis madunya saja, tetapi juga pahit getirnya. Saat kawanku berkata
begitu sesungguhnya aku sedang mempersiapkan rencana pernikahanku, dan rencana
itu sudah kubicarakan dengan pacarku. Apakah aku harus membatalkan pernikahan
itu hanya karena ketakutan menghadapi pahit getirnya pernikahan.
Sesungguhnyalah
aku sangat takut kehilangan, terutama kehilangan orang yang aku cintai. Pernah
suatu kali aku begitu uring-uringan karena pacarku pulang ke Jawa sampai
sebulan lamanya. Aku cemas. Sesungguhnya yang aku cemaskan adalah kalau terjadi
sesuatu dengannya saat dia pulang atau balik ke Bali.
Aku pernah membayangkan
peristiwa mengerikan terjadi pada pacarku. Aku bayangkan dia tewas dengan
sangat mengenaskan karena bus yang ditumpanginya disruduk truk tronton. Aku
bayangkan dia duduk paling belakang. O, betapa mayatnya hancur, dan apakah aku
akan mencaci-maki Tuhan dalam menghadapi kenyataan itu.
Lain waktu, aku membayangkan
kapal ferri yang ditumpanginya terhantam badai malam hari karena gelombang
besar. Kapal oleng dan karam dengan tandas. Semua penumpang mati karam, pacarku
salah satunya. Tragisnya, mayat pacarku tidak ditemukan. Mungkin saja terbawa
arus atau nyangkut di kapal yang karam atau dimakan hiu. Selalu saja, bila
pacarku jauh dariku, aku cemas. Namun aku tidak pernah tahu, apakah pacarku
merasakan perasaan yang sama dengan perasaanku? Atau jangan-jangan dia tidak
pernah peduli denganku?
Aku
pikir nasehat kawanku yang pemabuk itu ada benarnya juga. Setelah melewati
berbagai pertimbangan, karena semacam perasaan ragu-ragu yang kuat dalam
diriku, aku pun memutuskan untuk menikah dengan pacarku. Pada saat acara
pernikahan, kawanku datang dan mengucapkan selamat karena aku telah berani
mengambil sebuah keputusan yang sungguh luar biasa, bahkan cenderung nekat.
Menurutnya, aku harus bersiap-siap
merasakan pahit getirnya sebuah pernikahan.
Di
sudut taman rumah sakit aku termangu. Lelaki yang duduk bertopang dagu tadi
berjalan ke arahku. Aku pura-pura tidak melihat. Aku cemas, jangan-jangan
kehadiranku telah mengusik ketentramannya.
“Apa
Saudara sedang menunggu kerabat yang sakit?” Ia bertanya dengan sangat formal
sambil menawarkan rokok kretek. Aku menolak dengan halus, padahal aku ingin
sekali merokok dan kebetulan pula rokokku habis. Tapi setelah ia setengah
memaksa, aku ambil saja sebatang kreteknya dan meminjam apinya dan menyedotnya
dalam-dalam. Ah, nikmatnya sebatang rokok dan malam tanpa awan.
“Saya
menunggu istri melahirkan anak pertama
kami.”
Lelaki
itu menatapku dengan aneh.
“Kenapa
Bapak menatap saya seperti itu?”
Lelaki
itu tidak menjawab. Tapi matanya nampak berkaca-kaca. Lelaki itu menangis. Yeah, ternyata ia perasa juga. Ternyata
tak beda dengan diriku yang gampang menitikkan air mata.
“Kenapa
Bapak menangis. Apa atau siapa yang Bapak tangisi?” Wajarkah aku bertanya
seperti itu pada lelaki yang sedang menangis ini? Aku jadi ragu, jangan-jangan
pertanyaanku yang jujur ini malah tambah menyinggung perasaannya.
“Istriku
mati kemarin malam, saat melahirkan anak pertama kami.”
Lelaki
itu terisak-isak. Malam beringsut menyingkir. Ternyata malam suka nguping percakapan
orang. Jangan-jangan malam ditugasi Tuhan sebagai intel, memata-matai setiap
gerak-gerik manusia yang hendak melakukan kudeta terhadap diri-Nya.
“Malam
jahaman, pergi kau jauh-jauh, jangan tampakkan dirimu di depanku!” bentak
lelaki yang menangis itu. Malam dengan langkah gemetar pergi ke sudut taman
yang gelap dan menangis di situ. Air matanya menjadi awam, turun menjelma
hujan.
“Jangan
begitu, Pak. Malam sahabat kita juga.” ujarku hati-hati.
“Justru
malam adalah musuhku. Dialah yang merenggut nyawa istriku kemarin. Malam
membuka pintu bagi Sang Maut yang merampok nyawa istriku.”
Aku tidak tega melihat
lelaki itu meratap dan mengumpat. Aku biarkan ia menumpahkan kekesalannya pada
malam.
“Saudara,
hati-hatilah, mungkin istri saudara juga akan mengalami nasib yang sama dengan
istri saya.”
“Jangan
membuat saya cemas, Pak. Istri saya sehat-sehat saja. Selama hamil saya sangat
telaten menjaga makanannya agar cukup gizi, agar anak kami lahir sehat, cantik
seperti ibunya, atau ganteng seperti saya.” ujarku membesarkan hati.
Namun, sesuatu rasa yang
asing tapi akrab menjalar perlahan dalam diriku.
“Ha..ha..ha...takdir
tidak bisa diajak bercanda, Saudara. Ya, semoga saja tidak terjadi sesuatu yang
merisaukan pada istri Saudara. Saya permisi dulu! Terkutuk kau, malam. Kenapa kau renggut nyawa
istriku, heh?”
Lelaki itu berdiri dan pergi
sambil tertawa-tawa dan mengutuki malam. Ia menghilang di sudut taman yang
kelam. Apakah lelaki itu Sang Maut yang menyamar dan ingin mengabarkan sesuatu
pada diriku? Kini aku seorang diri di taman yang bisu dan sunyi ini.
Aku
melangkahkan kaki ke ruang bersalin tempat istriku terbaring pasrah. Menurut
perkiraanku, tengah malam nanti anak kami yang pertama akan lahir. Semoga lahir selamat dan sehat. Cantik
seperti ibunya, atau ganteng seperti aku. Akan kuberi nama: Hening Malam.
Namun langkahku terasa
berat. Kepalaku juga terasa berat. Langit terasa berat. Malam terasa berat.
Perlahan hidup memberat di pundakku. Di depan lorong menuju ruang bersalin,
seorang bidan menyapaku dengan gusar: “Saudara kemana saja? Saya kebingungan
mencari Saudara. Istri melahirkan kok
tidak ditunggui. Tega sekali Saudara ini! Ayo cepat temui istri Saudara!”
Bidan itu nampak
tergesa-gesa. Amis darah sangat tajam tercium dari tangannya yang putih bersih
itu. Aku ingin bertanya sesuatu. Tapi mulutku seakan terkunci. Tidak mampu
mengeluarkan sepatah kata pun. Aku hanya bisa melongo seperti orang bego.
Aku
bergegas. Kakiku kembali melangkah menuju taman rumah sakit. Di bangku kayu
yang bisu aku duduk termangu, menopang dagu, dan menunggu. Aku takut. Aku
cemas. Aku belum siap menghadapi hukum alam yang akan jatuh di atas kepala
istriku. Juga diatas kepalaku.***
Denpasar, 2001
(sepuluh cerpen terbaik Bali Post 2001)
No comments:
Post a Comment