cerpen : Wayan Sunarta
Di bawah
pondokku ada sebuah kali mati, setengah mengelilingi pondok, seperti membentuk
huruf “U”. Pinggiran kali mati itu dipenuhi semak belukar, dan sepertinya
diliputi berbagai kegaiban. Setiap kali mengenang pondok itu, terbayang kembali
peristiwa setahun lalu. Aku pernah hampir terlempar dari atap pondok.
Ketika itu
musim hujan dan atap bocor. Saat aku akan naik ke atap, hujan sudah lama reda
dan angin sangat tenang. Mengira cuaca cukup bersahabat, aku pun segera naik
membetulkan atap dan sejenak terpukau dengan pemandangan yang menghampar di
hadapanku. Lautan biru berpadu dengan bentangan hijau persawahan. Sementara
itu, di halaman pondok hamparan bunga-bunga lalang putih keperakan tertiup
angin, bagai awan di langit siang.
“Hati-hati, Mas! Di atas angin kencang!” teriak Lia
memperingatiku. Namun terlambat. Saat sedang asyik membetulkan atap sembari
menikmati pesona alam yang begitu memukau, mendadak angin kencang datang dari
arah pantai, menerbangkan sebagian atap jerami, dan membuat tubuhku oleng. Lia
menjerit ngeri. Aku berjuang menjaga keseimbangan dan berusaha berpegangan pada
bambu-bambu kerangka atap. Beberapa detik kemudian angin kembali tenang, namun
jantungku seakan berhenti berdegup. Aku bergegas turun, cemas terjadi malapetaka
susulan.
“Sudah kubilang hati-hati, masih juga bandel!”
gerutu Lia. Aku hanya bisa cengar-cengir bagai bocah nakal yang dimarahi
ibunya. Pekerjaan membetulkan atap terpaksa kutunda sampai cuaca benar-benar
tenang.
Pondok itu dibangun di tanah bekas sawah kakekku.
Karena sekian tahun tidak mendapat jatah air, tanah yang lumayan luas itu
akhirnya tidak terawat, penuh semak belukar dan padang alang-alang yang sangat
memesona ketika musim berbunga. Sungai mati yang mengelilingi tanah itu juga
banyak ditumbuhi pohon pisang, belukar dan alang-alang.
Setiap malam tiba, dari arah kali mati yang konon
angker itu, bermunculan suara-suara serangga, burung malam, kodok, desis ular,
peri-peri kali dengan nyanyian yang samar, dan suara-suara aneh lainnya. Dan,
biasanya, ketika kami menginap di pondok, Lia akan mendekapku erat-erat.
Wajahnya yang lembut disembunyikannya di antara lengan dan dadaku. Dia begitu
ngeri dan ketakutan mendengar suara-suara aneh yang berhembus dari kali mati.
Pondok itu bergaya rumah panggung. Ada tangga bambu
yang menghubungkan lantai dasar yang diplester semen ala kadarnya dengan lantai
atas yang disusun dari bilah-bilah bambu sangat rapat. Lantai atas yang terdiri
dari dua bilik, kamar tidur dan beranda, kulapisi dengan karpet tebal agar nyaman.
Kamar tidur?
Bagiku, kamar itu jauh dari layak kalau disebut kamar tidur. Setiap malam
ketika hujan lebat mendadak menyerang, aku harus susah payah berjuang menampung
air hujan yang tidak tahu diri menerobos atap jerami dan membasahi kasurku.
Memahami keterbatasan pondokku, aku memutuskan tidak sepenuhnya menetap di
pondok sambil berladang, seperti yang pernah kucita-citakan. Aku hanya
menggunakan pondok sebagai tempat singgah atau berlibur ketika sumpek di rumah.
Ya, semacam villa sangat-sangat sederhana, tempat berproses kreatif sembari
melepas penat.
Maka, kamar
tidurku di pondok hanya berisi hal-hal yang aku anggap perlu saja, seperti:
buku-buku yang akan kubaca; mesin tik dan kertas-kertas, sebagian berisi
puisi-puisi dan cerita-cerita yang belum tuntas; kanvas dan cat-cat akrilik
yang akan kuterjang kalau gila melukisku kumat; sebuah radio transistor yang
suka melantunkan lagu-lagu melankolis; lampu senter besar dan lampu badai,
sebab tak ada listrik di pondokku; lima air mineral dalam botol plastik besar
dan beberapa bungkus roti lapis selai nenas, sebab aku malas masak meski ada
kompor dan peralatan masak lainnya; kopi, gula, teh, kadang-kadang juga arak
Bali dan air panas dalam termos; kasur, bantal, guling, sarung pantai dan
selimut; sarung pengaman bila Lia merayu dengan tubuhnya yang bagai gading; dan
tak lupa klewang, senapan angin lengkap dengan mimisnya, sabit dan pipa besi
untuk berjaga-jaga dan membela diri bila terjadi sesuatu yang membahayakan
kami.
Dengan semua peralatan dan ransum yang aku anggap perlu itu, aku merasa
pondokku menjelma istana yang indah dan lengkap dengan benteng-bentengnya yang
kokoh, meski sesekali aku diganggu air hujan yang menerobos atap.
Dan, ehm,
sebuah beranda! Dari beranda aku bisa menatap laut di pagi hari, di siang hari,
di senja hari, atau kapan saja aku mau. Beranda yang romantis itu akan semakin
berkilau kalau Lia ada di sisiku. Bersama menikmati pukau laut sambil sesekali
saling belit dan berpagutan, seperti sepasang ular di rimbun semak. Aku suka
menikmati laut yang begitu sempurna dan penuh pesona menelanjangi dirinya,
bagai Lia yang perlahan melucuti busananya, penuh ritual tak terlupakan.
Dari beranda aku suka menikmati angin pantai yang
mengantar aroma garam yang menyelimuti pondok, bercampur-baur dengan parfum
mawar kesukaan Lia yang seringkali menggetarkan naluri purbaku. Biasanya malam
yang ranum akan tiba dari arah laut. Bulan yang penuh senyum akan melirik
malu-malu ke arah kami, yang bergulat dan bergulingan di atas karpet bagai
bocah bandel. Hanya angin sepoi membungkus tubuh kami yang polos. Dan hamparan
bunga lalang diam-diam saling berbisik, seakan takut mengganggu sepasang
kekasih yang tertatih menggapai puncak penuh nikmat.
Meski sering mengeluh tidak enak badan, namun Lia
rajin mampir ke pondok. Namun, kalau datang ngambeknya, aku harus berjuang
mati-matian, merayunya agar sudi menikmati aroma laut dan cahaya bulan di
malam-malam hangat, tentu dari beranda pondok yang romantis itu.
Biasanya ketika mampir ke pondok, setiap senja Lia
memiliki keasyikan yang tidak boleh diganggu. Menyirami tanaman jambu dan
mangga yang baru beberapa bulan kutanam. Memeriksa bunga-bunga mawar di depan
pondok, memangkas daun yang tua, mencukur tangkai yang terlalu tinggi, memberi
minum bunga-bunga merah merekah itu. Atau seringkali hanya menatap sendu kepada
bunga-bunga itu, seakan mengajaknya bercakap-cakap.
Ada sebuah sumur dekat dapur yang dibuat bersamaan
dengan pembangunan pondok. Dan setiap sore, aku menimba air sembari fitness
gratis. Mengangkat ember besar yang penuh berisi air dan menaruhnya di samping
kaki Lia yang segera menciduk air dalam ember, memberi minum bunga-bunga mawar
kesayangannya yang nampak begitu kehausan. Sungguh ritual yang membahagiakan
bagi sepasang kekasih seperti kami.
Seringkali ketika kawan-kawanku latihan teater di
pondok, Lia dengan sabar memasak air panas, menanak nasi, atau merebus ketela,
singkong, jagung yang dipetik dari halaman pondok. Tak lupa juga dia mengolah
daun ubi menjadi sayur urap yang sungguh lezat, apalagi kalau dimakan sehabis
latihan teater. Biasanya, setelah semuanya siap santap, Lia memberi aba-aba
pada kami yang sedang asyik latihan gerak tubuh. Persis seperti ibu yang sabar
memanggil anak-anaknya dari keasyikan bermain-main di halaman. Seketika itu
juga dengan tubuh masih berkeringat, tanpa cuci tangan kami berebutan menyantap
hidangan sederhana tersebut. Kami hanya tersenyum bandel atau melontarkan
gurauan ketika Lia memelototi tangan kami.
Ya. Pondok bambu itu telah menjelma pondok kenangan.
Di pondok itu, cinta kami yang putih keperakan merekah seperti bunga-bunga
lalang. Di pondok itu deru laut dan desau angin sawah menyemai mimpi-mimpi
kami. Hingga tiba angin badai sekejam takdir, menghempaskan, memporakporandakan
dan menghancurkan mimpi-mimpi itu.
***
Genap sembilan purnama. Aku menyadari bahwa
kekasihku tidak lagi hidup di alam manusia. Kakek sering bercerita bahwa kali
mati yang mengelilingi pondok sebenarnya sejak lama dikenal sebagai kerajaan
mahluk halus. Cerita Kakek diperkuat lagi oleh obrolan ngarol-ngidul para
penambang pasir yang tinggal berdekatan dengan pondok.
Kakek beberapa kali mendapat laporan dari para
penambang pasir kalau aku suka bicara sendiri sambil menatap kali mati. Ada-ada
saja para penambang pasir itu! Padahal seingatku, di atas tebing kali mati itu
memang aku pernah latihan vokal dan menghafal dialog naskah drama dengan
berbisik sehingga dari kejauhan kelihatan seperti komat-kamit.
“Jangan bercanda, Kek! Lia itu kekasihku, aku
mengenalnya luar-dalam!” protesku pada Kakek yang percaya bahwa Lia adalah
jelmaan mahluk halus.
“Matamu telah dikelabuinya! Apa kau tidak
memperhatikan, perempuan itu tidak memiliki cekungan di antara bibir dan
hidungnya? Cekungan itulah yang membedakan manusia dengan mahluk halus!”
Apa, iya? Selama ini aku memang tidak begitu
memperhatikan cekungan seperti yang dimaksud Kakek. Bahkan ketika kami bercumbu
pun aku tidak terlalu peduli dengan tanda yang membedakan manusia dengan mahluk
halus itu. Tapi anehnya, selama Lia menjadi kekasihku, mengapa aku tidak
berniat menanyai asal-usulnya?
Ketika pondok itu dibangun, perempuan itu tiba-tiba
saja datang entah dari mana, menyaksikan kami yang sedang asyik bekerja. Karena
terpesona oleh parasnya yang anggun dengan rambut panjang terurai, aku pun
tertarik mendekatinya. Dia kemudian memperkenalkan namanya: Lia. Bahkan,
seingatku, tukang-tukang yang kuupah membangun pondok itu pun tidak begitu
mempedulikan kami yang asyik
bercakap-cakap. Aneh, apa mata tukang-tukang itu sudah rabun sehingga tidak
mampu memperhatikan perempuan anggun itu.
“Kamu telah dipukau oleh sihirnya!” ujar Kakek.
“Aneh!”
“Di dunia ini tidak ada yang aneh. Apa pun bisa
terjadi! Saat bulan purnama nanti kau harus diruwat agar pengaruh sihir mahluk
halus itu sirna…!”
***
Aku
terbangun. Keringat dingin membasahi dahi. Di dinding kamar masih tergantung
potret Lia dengan latar bunga-bunga lalang yang merunduk ditiup angin. Lia
nampak anggun dan begitu murni dengan rambutnya yang lepas terurai. Sungguh,
waktu melaju begitu tergesa. Lia pergi. Pondok itu telah lama kami tinggalkan.
Didesak
keinginan meratapi kenangan, aku berkunjung ke pondok. Memang, tidak ada lagi
sisa kemesraan, hanya onggokan kenangan membusuk di sana-sini. Belukar seakan
berkuasa. Alang-alang tumbuh semakin ganas dan tinggi dan menjadi sarang yang
nyaman untuk bercinta bagi pasangan ular. Sumur kotor dan berbau. Pohon jambu
dan mangga yang susah payah kutanam kini tumbuh liar tidak terawat. Pun tanaman
bunga mawar kesayangan Lia, begitu menderita dan merana, seakan merindukan belai
lembut tangannya.
Yang sangat menyedihkan hatiku: pondok itu telah
ambruk. Rupanya pilar-pilar kayunya telah lama menjadi sarang kawanan rayap.
Waktu yang kejam telah menggerogotinya perlahan-lahan. Aku hanya mampu termangu
di hadapan pondok yang tak berbentuk lagi. Dengan perasaan remuk aku meratapi
pondok yang pernah memeram hangat segala kenangan kami.
Lia tidak lagi hidup di alam manusia. Dia meninggal
sembilan bulan lalu karena kanker darah yang menggerogoti tubuhnya. Hanya tiga
bulan kami merajut kenangan di pondok. Kini, hanya bunga-bunga lalang yang
mampu memahami kepedihanku.
Perlahan senja membuka jubah malam. Dari arah kali
mati, samar-samar kudengar suara, memanggil-manggil namaku.***
Sanur, 2002
(Bali
Post, 26 September 2004)
No comments:
Post a Comment