cerpen : Wayan Sunarta
Hanya gerimis. Ya, hanya
gerimis masih turun renyai. Bulan tidak muncul. Bintang-bintang juga tidak.
Seakan-akan para penghuni langit itu sepakat untuk menciptakan suasana malam
yang muram.
Di pinggir jalan sepi di
sebuah desa yang dikelilingi hutan jati, sebuah warung berdiri bersahaja. Hanya
sebuah warung kopi. Ya, sebuah warung kopi di tengah gerimis. Penjaga warung
itu seorang gadis yang terkenal kecantikannya di seantero desa.
Pemuda-pemuda
desa suka sekali berkumpul di warung itu. Mereka biasanya duduk-duduk sambil
minum kopi. Tentu juga mata mereka tak pernah lepas dari kemolekan tubuh gadis
penjaga warung. Pemuda dari desa tetangga juga suka bertandang ke warung itu.
Memang, warung kopi itu, terutama gadis penjaga warungnya, telah dikenal sampai
ke desa-desa sekitarnya. Jadi wajarlah kalau setiap malam warung itu diramaikan
dengan pemuda-pemuda yang berlomba-lomba memikat gadis penjaga warung.
Gerimis
masih ranum. Bau humus segar menggoda hidung. Udara dingin. Lampu-lampu rumah penduduk
telah lama dipadamkan oleh penghuninya, menandakan mereka sudah terlelap dalam
balutan dingin malam.
Warung itu berdiri menyendiri dari rumah penduduk.
Pemiliknya sendiri tinggal kurang lebih 500 meter di belakang warung. Namun,
gadis itu sudah terbiasa meladeni tamu-tamu yang berkunjung ke warungnya. Dia
tidak pernah merasa khawatir, bahkan terkesan merelakan, kalau ada di antara
pelanggannya yang berbuat tak senonoh pada dirinya. Misalnya mencolek
pinggangnya yang ramping, meraba payudaranya yang montok, menepuk pinggulnya
yang aduhai atau yang hendak mencoba menciumnya.
Dia sudah
terbiasa menghadapi hal-hal kecil seperti itu. Sama biasanya seperti dia
menghadapi kopi dan gula yang diseduh air panas dari ketel kusam. Baginya, itu
adalah resiko dari pekerjaannya sebagai penjaga warung kopi. Biasanya, setelah
pelanggannya berhasil menggerayangi bagian-bagian lunak tubuhnya, si penjaga
warung akan meminta bayaran tiga kali lipat terhadap kue, kopi atau rokok yang
dibeli di warungnya. Itu artinya secara tidak langsung si gadis meminta bayaran
terhadap perlakuan tidak senonoh yang diterimanya. Dan, pemuda-pemuda tanggung
itu seperti sudah paham peraturan di warung itu.
Gerimis
masih ranum. Seekor anjing melintas di kegelapan. Udara makin dingin. Sejumlah
pelanggan telah beranjak dari warung. Si gadis melambai manja pada mereka:
“Besok kemari lagi ya..!” Dengan basa basi seperti itu saja pengunjung yang
pernah mencicipi kopi plus-nya akan ketagihan untuk terus datang ke warungnya.
Dan, sudah bisa dipastikan, selama persediaan duit di dompet masih penuh,
pelanggan tadi akan datang lagi keesokannya dan duduk berjam-jam di warung itu.
Tentu saja pelanggan harus membayar berlipat-lipat dari harga wajar. Ya, bayar
duduk berjam-jam, bayar ngobrol dan bayar colak-colek itu.
Sepi
merayap perlahan, menjalari dinding warung yang terbuat dari gedeg, kemudian ngendon
di atas atap alang-alang. Kini, di warungnya hanya tertinggal seorang
pelanggan. Pelanggan yang satu ini memang sering berkunjung dan betah
berlama-lama di warung itu. Dan, tampaknya si gadis kurang suka akan kehadiran
lelaki itu berlama-lama di warungnya. Tapi apa boleh buat, itu resiko dari
pekerjaannya, harus menemani dan meladeni pelanggan. Seandainya gadis itu punya
seorang pembantu, tentu pembantu itu yang disuruhnya menemani lelaki bertubuh
tambun dengan wajah bundar berlemak itu. Sudah lama ia mual melihat tampang
lelaki itu. Bukan hanya karena bau tuak yang sering menyeruak dari mulutnya
yang tebal, tetapi juga matanya yang merah penuh birahi seakan ingin menelan
bulat-bulat gadis itu.
“Bagaimana?
Kau menerima lamaranku?” lelaki itu membuka suara. Aroma tuak menyeruak.
Si
gadis memandang acuh tak acuh ke luar jendela bambu. Si lelaki tambun tak putus
asa, dia berusaha lagi melancarkan rayuan-rayuan gombalnya. Makin gombal
rayuannya makin mual gadis di hadapannya.
“Kalau
kau kawin denganku, kau tidak akan kekurangan apa-apa. Sawahku luas. Kerbauku
banyak. Sepeda motor aku punya. Kau bisa kubonceng setiap pagi ke kota
kecamatan untuk melihat keramaian pasar sambil membeli barang-barang yang kau
sukai. Kita akan hidup bahagia. Bagaimana, kau mau, kan?”
Si
gadis bukannya tidak tertarik dengan tawaran itu. Mengingat kemiskinan yang
mendera keluarganya, si gadis jelas menginginkan ada seorang kaya yang akan
menyelamatkannya dari jerat kemelaratan. Dia tahu betul siapa lelaki itu. Anak
seorang kaya di desanya. Suka mabuk, berjudi dan main perempuan. Ia tahu itu.
Dan,
tentu, dia tahu betul siapa dirinya. Seorang gadis biasa yang tidak punya
apa-apa, kecuali wajahnya yang sering dikatakan cantik oleh pemuda-pemuda yang
sering bertandang ke warungnya. Sebab di wajah yang nyaris bundar itu
bertengger sebentuk hidung yang bangir. Bercokol seruas bibir yang penuh dan
merah merekah. Bulu mata yang lentik menaungi sepasang matanya yang bundar
mirip mata penari. Pemuda-pemuda desa juga mengagumi payudaranya yang padat dan
hampir sempurna tumbuh. Dan, gadis itu dengan sadar membiarkan mata lelaki
jelalatan, atau sekali waktu berkeinginan menjamah bagian-bagian tubuhnya. Dia
memerlukan uang yang cukup banyak. Sekali dadanya dicolek pelanggan, dia sudah
bisa membelikan sedikit obat untuk ibunya yang sakit-sakitan.
“Bagaimana?
Kau menerima lamaranku?” ujar lelaki yang wajahnya penuh lemak itu tak sabaran.
Lelaki itu mondar-mandir di depan warung. Matanya yang merah jelalatan
mengingatkan orang pada mata seekor elang yang siap menerkam mangsanya.
“Saya tidak bisa mengambil keputusan sekarang.
Ibu masih sakit.” Sesuatu yang berat berkecamuk dalam pikiran gadis itu.
“Apa
hubungan ibumu yang masih sakit itu dengan lamaranku? Kau terlalu banyak punya
alasan. Kemarin kau bilang ibumu masih sakit. Sekarang begitu juga. Apa yang
kurang dari aku sehingga kau tidak mau menerima lamaranku. Aku ingin kau
menjawab: mau atau tidak?!”
Lelaki
itu kelihatan jengkel bercampur kesal. Gadis penjaga warung hanya menunduk,
tidak mampu berkata apa-apa. Dia ingin berontak, ingin mengatakan “tidak” pada
lelaki yang melamarnya itu. Tetapi dia takut. Dia sadar siapa lelaki yang
sedang dihadapinya.
Lelaki tambun penuh lemak
itu adalah anak seorang kaya yang mempunyai banyak tukang pukul. Jika lelaki
itu punya keinginan, maka keinginannya harus segera dituruti. Kalau tidak, maka
bencana yang datang dari para tukang pukul bisa menimpa siapa saja yang
bermasalah dengan lelaki itu. Modal warung yang dipinjam ibu si gadis pada ayah
lelaki itu belum pula lunas. Sebenarnya kalau dia mau menikah dengan lelaki itu
pastilah hidupnya bakal berubah. Dia akan menjadi menantu orang kaya. Dia bisa
mengongkosi pengobatan ibunya, melanjutkan sekolah adiknya yang tertunda di
tengah jalan, atau melebarkan usaha warungnya.
Namun,
bukan itu masalahnya. Gadis itu telanjur mengucapkan janji setia pada seorang
pemuda dari desa sebelah yang hampir setiap malam minggu bertandang ke warungnya. Gadis itu masih perawan, meski buah dada, pinggang, atau
pinggulnya sering dicolek oleh pengunjung warung yang suka iseng. Baginya, itu
tidak jadi soal. Hanya taktik bisnis. Tidak lebih, tidak kurang. Persetan
omongan orang. Yang penting dirinya masih perawan dan hanya akan dipersembahkan
kepada suami pilihannya, yang tentu saja sangat dicintainya.
Sudah
terlalu banyak lelaki yang mencoba mengencaninya. Dari lelaki kelas kantong
tipis sampai kantong tebal. Namun, para lelaki iseng itu biasanya hanya mereguk
kecewa. Gadis itu selalu menolak sehalus mungkin setiap ajakan kencan lelaki
iseng.
“Bagaimana?”
si lelaki tambun semakin gelisah dan habis kesabarannya.
Gadis
yang dari tadi diam dan menunduk itu kini memberanikan diri menatap mata lelaki
itu. Tatapannya yang lembut menghunjam mata elang lelaki tambun.
“Maaf, saya tidak bisa
menerima lamaran Tuan!” Entah dari mana gadis itu mendapat kekuatan untuk
mengucapkan rentetan kata-kata itu. Gadis itu telah bulat dengan keputusannya.
Lelaki itu kaget bagai
disengat kalajengking mendengar kata-kata yang menyembur dari mulut mungil
gadis itu.
“Kau
sadar dengan ucapanmu?”
“Ya,
saya sadar. Saya masih waras. Sekali lagi saya katakan, saya tidak bisa
menerima lamaranmu!" ujar gadis itu ketus. Dia rupanya telah siap menerima
segala resiko dari penolakannya itu.
Guntur
seakan menggelegar dalam kepala lelaki itu. Ia sangat geram. Giginya gemeletuk
mengeluarkan bunyi yang menyeramkan. Tangannya mengepal sehingga kelihatan
urat-uratnya.
“Dasar
pelacur!” teriak lelaki itu, menggebrak meja warung.
Lelaki
tambun merasa sangat terhina. Baru kali itu ia ditolak oleh perempuan.
Biasanya, setiap perempuan yang ia inginkan pasti akan bertekuk lutut dengan
rayuan gombalnya. Perempuan mau menerima lelaki itu karena tergiur akan
hartanya. Sedangkan bagi lelaki itu, perempuan hanya ikan-ikan kecil di kolam
yang mudah ia tangkap. Sekarang ia berhadapan dengan ikan keras kepala, namun
begitu menggiurkannya. Gadis itu begitu kukuh dengan pendiriannya. Begitu kukuh
dengan ketidakberdayaannya.
Si lelaki begitu
menginginkan gadis itu. Tetapi, ia telah ditolak mentah-mentah. Ia merasa malu
sekali. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruang warung. Lewat jendela, ia
menengok ke arah jalan yang sejak tadi sepi. Kemudian ia mencabut pisau belati
yang terselip di pinggangnya. Ia hunus belatinya.
Pisau yang haus darah itu
berkilat di bawah pelita. Ia tudingkan belatinya ke wajah gadis yang kaget dan
gemetar ketakutan itu. Gadis itu merapatkan diri ke dinding gedeg. Ia mencoba
berteriak, namun malam telah begitu larut. Teriakannya hanya membentur sepi
yang terus menjalar bersama kabut.
Lelaki
itu masih terus mengacung-acungkan belatinya. “Kau telah membuat aku malu pada
diriku sendiri. Aku kira selama ini, dengan segala kekuatan dan kekuasaan yang
kupunya, aku dapat melakukan apa saja, meraih apa saja, termasuk memilikimu.”
Hening mencekam. Wajah gadis
itu semakin pucat.
Suara lelaki tambun menjadi
lirih, seperti penuh diliputi penyesalan. “Ternyata dugaanku salah. Kesombonganku
telah kau kalahkan dengan kekukuhan hatimu. Aku tahu kau gadis tabah. Karena
itulah, aku malu pada kekuasaanku. Maafkan aku!”
Gadis
itu masih meringkuk gemetar di sudut warung. Perlahan lelaki itu mendekatinya.
Belati dalam genggamannya masih terhunus. Gadis itu semakin menggigil menahan
ngeri dan takut. Perlahan malam merayap menuju dini. Gerimis masih turun
renyai.
Blesss…!
Tiba-tiba belati yang terhunus itu berkelebat, melesat ke dalam daging lembut.
“Aackhh…!” Rintih kesakitan
memenuhi warung. Mengalun pelan sekali.
Darah
muncrat. Darah muncrat dari dada lelaki tambun itu. Darah merembes membasahi kemejanya. Tak ada yang
mampu menduga. Tak ada yang mampu menahan. Lelaki itu telah mengambil keputusan
konyol, hanya karena merasa malu pada kekuasaannya.
Si
gadis terperanjat. Kaget dan kalut. Begitu cepat kejadian di depan matanya. Dia
tak mampu berbuat apa-apa. Dia seperti berada dalam mimpi buruk yang
mengerikan. Gerimis masih turun renyai. Udara dingin, menggigit persendian.
Dinihari tiba dengan aroma humus daun-daun jati.***
Denpasar, 2001
(Lampung Post, 19 Desember 2004)
No comments:
Post a Comment