Labels

Thursday, 20 October 2011

Gadis Warung Kopi


cerpen : Wayan Sunarta


Hanya gerimis. Ya, hanya gerimis masih turun renyai. Bulan tidak muncul. Bintang-bintang juga tidak. Seakan-akan para penghuni langit itu sepakat untuk menciptakan suasana malam yang muram.
Di pinggir jalan sepi di sebuah desa yang dikelilingi hutan jati, sebuah warung berdiri bersahaja. Hanya sebuah warung kopi. Ya, sebuah warung kopi di tengah gerimis. Penjaga warung itu seorang gadis yang terkenal kecantikannya di seantero desa.
            Pemuda-pemuda desa suka sekali berkumpul di warung itu. Mereka biasanya duduk-duduk sambil minum kopi. Tentu juga mata mereka tak pernah lepas dari kemolekan tubuh gadis penjaga warung. Pemuda dari desa tetangga juga suka bertandang ke warung itu. Memang, warung kopi itu, terutama gadis penjaga warungnya, telah dikenal sampai ke desa-desa sekitarnya. Jadi wajarlah kalau setiap malam warung itu diramaikan dengan pemuda-pemuda yang berlomba-lomba memikat gadis penjaga warung.
            Gerimis masih ranum. Bau humus segar menggoda hidung. Udara dingin. Lampu-lampu rumah penduduk telah lama dipadamkan oleh penghuninya, menandakan mereka sudah terlelap dalam balutan dingin malam.
            Warung itu berdiri menyendiri dari rumah penduduk. Pemiliknya sendiri tinggal kurang lebih 500 meter di belakang warung. Namun, gadis itu sudah terbiasa meladeni tamu-tamu yang berkunjung ke warungnya. Dia tidak pernah merasa khawatir, bahkan terkesan merelakan, kalau ada di antara pelanggannya yang berbuat tak senonoh pada dirinya. Misalnya mencolek pinggangnya yang ramping, meraba payudaranya yang montok, menepuk pinggulnya yang aduhai atau yang hendak mencoba menciumnya.
Dia sudah terbiasa menghadapi hal-hal kecil seperti itu. Sama biasanya seperti dia menghadapi kopi dan gula yang diseduh air panas dari ketel kusam. Baginya, itu adalah resiko dari pekerjaannya sebagai penjaga warung kopi. Biasanya, setelah pelanggannya berhasil menggerayangi bagian-bagian lunak tubuhnya, si penjaga warung akan meminta bayaran tiga kali lipat terhadap kue, kopi atau rokok yang dibeli di warungnya. Itu artinya secara tidak langsung si gadis meminta bayaran terhadap perlakuan tidak senonoh yang diterimanya. Dan, pemuda-pemuda tanggung itu seperti sudah paham peraturan di warung itu.
            Gerimis masih ranum. Seekor anjing melintas di kegelapan. Udara makin dingin. Sejumlah pelanggan telah beranjak dari warung. Si gadis melambai manja pada mereka: “Besok kemari lagi ya..!” Dengan basa basi seperti itu saja pengunjung yang pernah mencicipi kopi plus-nya akan ketagihan untuk terus datang ke warungnya. Dan, sudah bisa dipastikan, selama persediaan duit di dompet masih penuh, pelanggan tadi akan datang lagi keesokannya dan duduk berjam-jam di warung itu. Tentu saja pelanggan harus membayar berlipat-lipat dari harga wajar. Ya, bayar duduk berjam-jam, bayar ngobrol dan bayar colak-colek itu.
            Sepi merayap perlahan, menjalari dinding warung yang terbuat dari gedeg, kemudian ngendon di atas atap alang-alang. Kini, di warungnya hanya tertinggal seorang pelanggan. Pelanggan yang satu ini memang sering berkunjung dan betah berlama-lama di warung itu. Dan, tampaknya si gadis kurang suka akan kehadiran lelaki itu berlama-lama di warungnya. Tapi apa boleh buat, itu resiko dari pekerjaannya, harus menemani dan meladeni pelanggan. Seandainya gadis itu punya seorang pembantu, tentu pembantu itu yang disuruhnya menemani lelaki bertubuh tambun dengan wajah bundar berlemak itu. Sudah lama ia mual melihat tampang lelaki itu. Bukan hanya karena bau tuak yang sering menyeruak dari mulutnya yang tebal, tetapi juga matanya yang merah penuh birahi seakan ingin menelan bulat-bulat gadis itu.
            “Bagaimana? Kau menerima lamaranku?” lelaki itu membuka suara. Aroma tuak menyeruak.
            Si gadis memandang acuh tak acuh ke luar jendela bambu. Si lelaki tambun tak putus asa, dia berusaha lagi melancarkan rayuan-rayuan gombalnya. Makin gombal rayuannya makin mual gadis di hadapannya.
            “Kalau kau kawin denganku, kau tidak akan kekurangan apa-apa. Sawahku luas. Kerbauku banyak. Sepeda motor aku punya. Kau bisa kubonceng setiap pagi ke kota kecamatan untuk melihat keramaian pasar sambil membeli barang-barang yang kau sukai. Kita akan hidup bahagia. Bagaimana, kau mau, kan?”
            Si gadis bukannya tidak tertarik dengan tawaran itu. Mengingat kemiskinan yang mendera keluarganya, si gadis jelas menginginkan ada seorang kaya yang akan menyelamatkannya dari jerat kemelaratan. Dia tahu betul siapa lelaki itu. Anak seorang kaya di desanya. Suka mabuk, berjudi dan main perempuan. Ia tahu itu.
            Dan, tentu, dia tahu betul siapa dirinya. Seorang gadis biasa yang tidak punya apa-apa, kecuali wajahnya yang sering dikatakan cantik oleh pemuda-pemuda yang sering bertandang ke warungnya. Sebab di wajah yang nyaris bundar itu bertengger sebentuk hidung yang bangir. Bercokol seruas bibir yang penuh dan merah merekah. Bulu mata yang lentik menaungi sepasang matanya yang bundar mirip mata penari. Pemuda-pemuda desa juga mengagumi payudaranya yang padat dan hampir sempurna tumbuh. Dan, gadis itu dengan sadar membiarkan mata lelaki jelalatan, atau sekali waktu berkeinginan menjamah bagian-bagian tubuhnya. Dia memerlukan uang yang cukup banyak. Sekali dadanya dicolek pelanggan, dia sudah bisa membelikan sedikit obat untuk ibunya yang sakit-sakitan.
            “Bagaimana? Kau menerima lamaranku?” ujar lelaki yang wajahnya penuh lemak itu tak sabaran. Lelaki itu mondar-mandir di depan warung. Matanya yang merah jelalatan mengingatkan orang pada mata seekor elang yang siap menerkam mangsanya.
             “Saya tidak bisa mengambil keputusan sekarang. Ibu masih sakit.” Sesuatu yang berat berkecamuk dalam pikiran gadis itu.
            “Apa hubungan ibumu yang masih sakit itu dengan lamaranku? Kau terlalu banyak punya alasan. Kemarin kau bilang ibumu masih sakit. Sekarang begitu juga. Apa yang kurang dari aku sehingga kau tidak mau menerima lamaranku. Aku ingin kau menjawab: mau atau tidak?!”
            Lelaki itu kelihatan jengkel bercampur kesal. Gadis penjaga warung hanya menunduk, tidak mampu berkata apa-apa. Dia ingin berontak, ingin mengatakan “tidak” pada lelaki yang melamarnya itu. Tetapi dia takut. Dia sadar siapa lelaki yang sedang dihadapinya. 
Lelaki tambun penuh lemak itu adalah anak seorang kaya yang mempunyai banyak tukang pukul. Jika lelaki itu punya keinginan, maka keinginannya harus segera dituruti. Kalau tidak, maka bencana yang datang dari para tukang pukul bisa menimpa siapa saja yang bermasalah dengan lelaki itu. Modal warung yang dipinjam ibu si gadis pada ayah lelaki itu belum pula lunas. Sebenarnya kalau dia mau menikah dengan lelaki itu pastilah hidupnya bakal berubah. Dia akan menjadi menantu orang kaya. Dia bisa mengongkosi pengobatan ibunya, melanjutkan sekolah adiknya yang tertunda di tengah jalan, atau melebarkan usaha warungnya.
            Namun, bukan itu masalahnya. Gadis itu telanjur mengucapkan janji setia pada seorang pemuda dari desa sebelah yang hampir setiap malam minggu  bertandang ke warungnya. Gadis itu masih  perawan, meski buah dada, pinggang, atau pinggulnya sering dicolek oleh pengunjung warung yang suka iseng. Baginya, itu tidak jadi soal. Hanya taktik bisnis. Tidak lebih, tidak kurang. Persetan omongan orang. Yang penting dirinya masih perawan dan hanya akan dipersembahkan kepada suami pilihannya, yang tentu saja sangat dicintainya.
            Sudah terlalu banyak lelaki yang mencoba mengencaninya. Dari lelaki kelas kantong tipis sampai kantong tebal. Namun, para lelaki iseng itu biasanya hanya mereguk kecewa. Gadis itu selalu menolak sehalus mungkin setiap ajakan kencan lelaki iseng.
            “Bagaimana?” si lelaki tambun semakin gelisah dan habis kesabarannya.
            Gadis yang dari tadi diam dan menunduk itu kini memberanikan diri menatap mata lelaki itu. Tatapannya yang lembut menghunjam mata elang lelaki tambun.
“Maaf, saya tidak bisa menerima lamaran Tuan!” Entah dari mana gadis itu mendapat kekuatan untuk mengucapkan rentetan kata-kata itu. Gadis itu telah bulat dengan keputusannya.
Lelaki itu kaget bagai disengat kalajengking mendengar kata-kata yang menyembur dari mulut mungil gadis itu.
            “Kau sadar dengan ucapanmu?”
            “Ya, saya sadar. Saya masih waras. Sekali lagi saya katakan, saya tidak bisa menerima lamaranmu!" ujar gadis itu ketus. Dia rupanya telah siap menerima segala resiko dari penolakannya itu.
            Guntur seakan menggelegar dalam kepala lelaki itu. Ia sangat geram. Giginya gemeletuk mengeluarkan bunyi yang menyeramkan. Tangannya mengepal sehingga kelihatan urat-uratnya.
            “Dasar pelacur!” teriak lelaki itu, menggebrak meja warung.
            Lelaki tambun merasa sangat terhina. Baru kali itu ia ditolak oleh perempuan. Biasanya, setiap perempuan yang ia inginkan pasti akan bertekuk lutut dengan rayuan gombalnya. Perempuan mau menerima lelaki itu karena tergiur akan hartanya. Sedangkan bagi lelaki itu, perempuan hanya ikan-ikan kecil di kolam yang mudah ia tangkap. Sekarang ia berhadapan dengan ikan keras kepala, namun begitu menggiurkannya. Gadis itu begitu kukuh dengan pendiriannya. Begitu kukuh dengan ketidakberdayaannya.
Si lelaki begitu menginginkan gadis itu. Tetapi, ia telah ditolak mentah-mentah. Ia merasa malu sekali. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruang warung. Lewat jendela, ia menengok ke arah jalan yang sejak tadi sepi. Kemudian ia mencabut pisau belati yang terselip di pinggangnya. Ia hunus belatinya.
Pisau yang haus darah itu berkilat di bawah pelita. Ia tudingkan belatinya ke wajah gadis yang kaget dan gemetar ketakutan itu. Gadis itu merapatkan diri ke dinding gedeg. Ia mencoba berteriak, namun malam telah begitu larut. Teriakannya hanya membentur sepi yang terus menjalar bersama kabut.
            Lelaki itu masih terus mengacung-acungkan belatinya. “Kau telah membuat aku malu pada diriku sendiri. Aku kira selama ini, dengan segala kekuatan dan kekuasaan yang kupunya, aku dapat melakukan apa saja, meraih apa saja, termasuk memilikimu.”
Hening mencekam. Wajah gadis itu semakin pucat.
Suara lelaki tambun menjadi lirih, seperti penuh diliputi penyesalan. “Ternyata dugaanku salah. Kesombonganku telah kau kalahkan dengan kekukuhan hatimu. Aku tahu kau gadis tabah. Karena itulah, aku malu pada kekuasaanku. Maafkan aku!”
            Gadis itu masih meringkuk gemetar di sudut warung. Perlahan lelaki itu mendekatinya. Belati dalam genggamannya masih terhunus. Gadis itu semakin menggigil menahan ngeri dan takut. Perlahan malam merayap menuju dini. Gerimis masih turun renyai.
            Blesss…! Tiba-tiba belati yang terhunus itu berkelebat, melesat ke dalam daging lembut.
“Aackhh…!” Rintih kesakitan memenuhi warung. Mengalun pelan sekali.
            Darah muncrat. Darah muncrat dari dada lelaki tambun itu. Darah  merembes membasahi kemejanya. Tak ada yang mampu menduga. Tak ada yang mampu menahan. Lelaki itu telah mengambil keputusan konyol, hanya karena merasa malu pada kekuasaannya.
            Si gadis terperanjat. Kaget dan kalut. Begitu cepat kejadian di depan matanya. Dia tak mampu berbuat apa-apa. Dia seperti berada dalam mimpi buruk yang mengerikan. Gerimis masih turun renyai. Udara dingin, menggigit persendian. Dinihari tiba dengan aroma humus daun-daun jati.***



Denpasar, 2001


(Lampung Post, 19 Desember 2004)

No comments:

Post a Comment