Labels

Thursday, 20 October 2011

Kematian Ayah


 Cerpen: Wayan Sunarta


Dini hari tadi ketika kabut masih bergelayut di ujung-ujung daun kopi, di dahan-dahan cengkeh, di pucuk-pucuk pohon duren, Ayah akhirnya berhasil menyelesaikan hembusan nafasnya yang penghabisan. Ayah pergi dengan sangat tenang, meninggalkan dua istri (satu sudah meninggal), sepuluh anak, lima cucu.
Ledakan tangis ibuku, istri kedua Ayah, menggetar dalam gubug, lalu keluar menerobos kabut, lalu berhinggapan di dahan-dahan cengkeh, di rerimbun daun kopi, di pucuk-pucuk pohon duren. Seperti layaknya meratapi orang meninggal, Ibu mengguncang-guncang tubuh Ayah, mengurapi dada kurus Ayah dengan air matanya, sambil secara dramatis menyerukan kata-kata cengeng: “Jangan tinggalkan aku! Ajak aku ikut bersamamu!” Saat itu aku baru tahu, ternyata Ibu sangat mencintai Ayah. Lihatlah, air mukanya penuh diliputi kesedihan ditinggal pergi suami ke tempat yang sebenarnya juga akan menjadi tujuan kita bersama.
Aku hanya mampu termangu di sudut gubug. Sambil tanganku mengelus-elus dagu yang tak berjenggot, dengan sabar kutunggui Ibu yang sedang menikmati ratapannya. Mataku masih belum percaya melihat tubuh Ayah. Kebahagiaan macam apa yang telah melingkupi dirinya? Tubuhnya masih hangat, meski nyawanya telah pergi, entah ke mana. Mungkin nyawanya sedang menyelinap di cecabang pohon-pohon kopi. Atau bisa jadi masih berputar-putar di bilik gubug, bingung memperhatikan istrinya menangis atau merasa aneh melihat anaknya bengong seperti orang bego. Atau bisa jadi nyawanya sedang menari-nari gembira bermain kabut di halaman gubug. Sebab merasa telah merdeka, bebas dari kesengsaraan tubuh, dari sakit yang berbulan-bulan dideritanya, dari kemiskinan yang meletihkan, dari berbagai sakit hati yang pernah menggumpal dan menghuni hatinya.
            Sesungguhnya aku merasa sangat gembira Ayah meninggal. Malah aku merasa harus memarahi Ibu karena menangis dan meratap-ratap seperti orang sinting saja. Kegembiraanku ini bukan karena aku merasa terbebas dari tugas merawat Ayah. Aku ikut gembira sebab Ayah telah terbebas dari sakit yang dideritanya.
Aku tidak mampu menyembunyikan rasa takjubku melihat wajah Ayah yang begitu damai. Bibirnya yang kisut menyunggingkan sebuah senyum. Senyum kemenangan. Matanya tidak terbelalak, melainkan terkatup seperti bayi yang tidur lelap. Berkali-kali aku bergumam sendiri, kebahagiaan macam apa yang sedang dirasakan Ayah? Belum pernah seumur hidupku, aku melihat wajah Ayah sedamai ini. Pemandangan menakjubkan inilah yang membuat aku termangu di keremangan sudut gubug. Aku tidak sanggup menangis, apalagi berkata-kata. Kalaupun aku menangis, itu pasti bukan karena kesedihan, melainkan kebahagiaan.
           
***

Dini hari merangkak menuju pagi. Angin menghembuskan hawa dingin pegunungan. Udara dingin ini membuatku terus terjaga, meski rasa kantuk menyerang begitu rupa. Hampir setiap malam aku mendapat tugas melayani dan menjaga Ayah yang hanya terbaring lemah di bale-bale bambu. Aku harus rela waktu tidurku menjadi sangat berkurang sejak Ayah menderita sakit yang parah. Ada bekas jejak kelabu di bawah kelopak mataku. Jejak yang mampu menggambarkan betapa letihnya aku. 
Ibu masih menangis, meski sekarang hanya isak-isaknya saja yang kedengaran. Anggota keluarga lain belum tahu Ayah telah meninggal. Mereka tinggal terpencar. Keluarga yang paling dekat tinggal terpisah dua petak kebun kopi dari gubug. Yang paling jauh tinggal di kota kecamatan, sekitar tiga puluh kilometer dari desa.
Selama Ayah sakit yang menyebabkan separuh tubuhnya lumpuh, hanya beberapa kali saja saudara-saudaraku ikut sibuk membantu menjaga dan merawat Ayah. Boleh dibilang hanya Ibu dan aku yang masih setia merawat Ayah sampai pada hembusan nafasnya yang penghabisan. Aku maklum, anggota keluarga lain sudah tidak tahan melihat penderitaan Ayah. Mereka lebih memilih menghindar dari kenyataan pahit bahwa Ayah menderita lumpuh dan harus dilayani seperti melayani bayi.
Aku dan Ibu bergiliran merawat Ayah. Saat Ibu menjaga Ayah, aku mendapat tugas mengurus kebun kopi yang tidak seberapa luas yang terletak di dekat gubug. Begitu pula sebaliknya. Ketika kami harus sama-sama sibuk di kebun, Ayah terpaksa sendirian menghadapi penderitaannya. Terkadang aku merasa terbiasa dengan erangan, rintihan dan keluhan Ayah. Bahkan tanpa kusadari suara-suara penuh kepedihan itu telah menjelma semacam hiburan dalam hatiku. Namun, pada saat-saat tertentu suka juga aku berdoa dalam hati agar dewa maut segera mencabut nyawa Ayah. Agar Ayah segera terbebas dari segala beban deritanya.
            Pada minggu-minggu pertama Ayah sakit, sebenarnya aku juga merasa sangat sedih. Tapi kami sudah berusaha semampu kami untuk mengobati Ayah. Tentu kami lebih banyak mengajak Ayah ke dukun ketimbang dokter. Dari mana kami mendapatkan uang banyak untuk biaya dokter dan obat yang tidak murah? Bahkan jika pun kebun warisan keluarga dijual, tetap saja ongkos untuk perawatan Ayah masih kurang. Apalagi hanya mengharapkan penjualan hasil kebun yang selalu dibeli murah oleh para tengkulak yang banyak bertebaran di desa pegunungan ini.
Aku hanya pernah sekali membawa Ayah ke dokter umum di kota kecamatan. Saat itu dokter hanya memberi Ayah beberapa butir pil sambil mengatakan padaku bahwa Ayah baik-baik saja, perlu istirahat, jangan terlalu banyak pikiran, dan bla..bla..bla. Ketika  bicara begitu aku merasa wajah dokter memancarkan kecemasan. Aku tidak mengerti dan tidak bertanya lebih lanjut sebab-sebab penyakit Ayah. Aku juga tidak tahu apa yang dipikirkan dokter saat itu. Lagi pula apa untungnya bagi dokter memikirkan penyakit orang gunung seperti Ayah? Belakangan aku tahu dari seorang kawan yang tinggal di kota kecamatan bahwa Ayah terserang stroke, suatu penyakit yang akan membahayakan keselamatan Ayah. Aku hanya manggut-manggut mencoba memahami penjelasan kawanku itu.
            Membawa Ayah ke dukun tentu lebih murah mengingat keuangan kami yang terbatas. Hampir semua dukun yang ada di pegunungan ini pernah kami kunjungi atau kami undang ke gubug untuk mengobati Ayah. Seorang dukun yang diyakini warga paling sakti yang kami undang ke gubug kesurupan dan berteriak-teriak tidak jelas. Setelah sadar dari kesurupannya, dukun itu mengatakan bahwa Ayah diserang oleh musuh-musuhnya (seingatku Ayah tidak memiliki musuh) dengan ilmu hitam yang sangat kejam yang menyebabkan separuh tubuh Ayah lumpuh. Untuk itu Ayah harus menjalani ruwatan dengan menggunakan tujuh mata air suci yang ada di pegunungan ini.
Kami pun menuruti saran dukun. Untuk itu aku harus rela bekerja keras mengambil masing-masing satu jerigen air dari tujuh sumber air suci tersebut. Kalau aku membawa langsung Ayah ke masing-masing sumber air suci itu tentu tidak mungkin. Sudah kukatakan, separuh tubuh Ayah lumpuh. Jangankan berjalan, buang kotoran, kencing, mandi dan makan saja harus dibantu, dan seringkali terpaksa dilakukan Ayah di bale-bale.
Tak perlu kuceritakan di sini bagaimana letih dan panjangnya perjuanganku mendapatkan tujuh sumber air suci itu. Ceritaku yang tak berguna itu hanya akan mengurangi pahalaku nantinya.
Begitulah, setelah memandikan Ayah dengan air suci, keajaiban pun terjadi. Ayah menjadi lebih sehat dan segar, meski tubuhnya tetap kurus dan kisut. Namun beberapa hari kemudian Ayah kembali mengeluh tubuhnya tidak bisa digerakkan. Aku pun kembali mengundang dukun itu datang ke gubug. Sambil geleng-geleng kepala dukun sakti itu mengatakan bahwa musuh Ayah sangat hebat sehingga mampu memusnahkan mukjizat tujuh sumber air suci. Dukun itu tidak mampu berbuat apa lagi. Ia pulang sambil geleng-geleng kepala dan bergumam tidak jelas. Kami hanya bisa terpana. 
Habis sudah harapan kami. Maka sejak itu, erangan, rintihan dan keluhan Ayah menjadi semacam hiburan bagiku. Maklum di gubug tidak ada hiburan lain, seperti televisi atau radio. Suara erangan, rintihan dan keluhan Ayah sesekali bercampur-baur dengan cericit tikus, suara tokek dan cicak, nyanyian burung-burung hutan, lolong anjing, dan berbagai suara serangga hutan. Gabungan suara-suara itu menjadi nyanyian tersendiri bagiku. Begitu pedih sekaligus menghibur. Namun anehnya, Ibu hanya mampu menangis bila mendengar keluhan-keluhan Ayah. Aku heran, apa Ibu tidak bisa menikmati hiburan itu?
Ketika Ayah meninggal, aku jelas merasa kehilangan. Aku sedih kehilangan hiburan dari suara-suara yang diperdengarkan Ayah, erangan dan rintihan penuh derita yang bercampur-baur dengan suara hewan-hewan di sekitar gubug. Kelak aku akan merindukan hiburan aneh itu.

***

Matahari muncul dengan senyumnya yang sumringah. Kabut perlahan menjauh. Langit mulai hangat dan terang. Aku segera bergegas keluar gubug, pergi ke gubug keluarga terdekat, mengabari ayah telah mati. Mereka terkejut. Atau pura-pura terkejut? Atau hanya basa-basi saja untuk menunjukkan kesedihannya?
Setelah mencuci muka, buang hajat, dan sarapan ala kadarnya, mereka berbondong-bondong datang ke gubug. Karena gubug kami kecil dan tidak muat untuk menampung seluruh kerabat, maka mereka bergiliran menjenguk Ayah ke dalam gubug. Secara bergiliran pula mereka menangis dan meratap-ratap di dalam gubug, di depan tubuh Ayah yang telah dingin. Tentu saja dikomandoi oleh Ibu. Perempuan paruh baya itu selalu saja mendahului menangis menjerit-jerit dan meratap-ratap sehingga bagai kawanan bebek kerabat yang lain ikut menangis dan meratap. Bahkan untuk mempermanis suasana ada saja diantara mereka yang tiba-tiba meraung atau menjerit sambil memukul-mukul dada sendiri.
Aku keluar dari gubug dan berlari menuju kebun kopi. Di tengah kebun aku tidak dapat lagi menahan tawa. Ketawaku yang paling ngakak, yang paling riang, yang paling konyol seumur hidupku lepas berderai. Bahkan aku merasa beberapa bulir air mata menetes membasahi pipi. Bukan karena aku sedih. Tapi aku tidak kuat menahan ketawa menyaksikan tontonan paling lucu yang sedang berlangsung di dalam gubug.
 Kerabat lain yang masih menunggu giliran di luar gubug mendengar ketawaku yang ngakak. Mereka bergegas menuju kebun kopi dan secara paksa menyeretku kembali ke gubug. Mungkin mereka mengira aku gila, tertekan oleh kesedihan yang sangat parah sehingga aku tidak mampu lagi menangis, melainkan ketawa ngakak.
Aku meronta, mencoba melepaskan diri dari pegangan dua kerabat berbadan gempal. Mereka bertambah yakin kalau aku benar-benar telah menjadi gila karena kesedihan yang parah. Dengan sekuat tenaga mereka kemudian mengikatku di batang pohon jambu di belakang gubug. Mulutku disumpal dengan kain bekas sobekan baju. Mereka takut ketawaku akan menyinggung perasaan para kerabat yang sedang menikmati kesedihan dan irama tangisannya.
Aku terus meronta-ronta. Mereka tidak melepaskan ikatan. Malah  menambahkan tali agar ikatannya lebih kuat, agar aku tidak lepas dan mengganggu kerabat lain. Kemudian mereka menjenguk ke dalam gubug. Secara bergiliran menangis, menjerit, meratap, memukul-mukul dada sendiri, meraung sambil menggoyang-goyangkan tubuh ayah yang mulai kaku. Di pagi hari yang cerah itu, burung-burung berkicau merdu, anjing menyalak dengan irama indah. Meski mulutku disumpal, namun kupingku dengan nyaman menikmati hiburan itu.
Akhirnya karena capek meronta, aku tertidur pulas dengan kedua tangan masih terikat di batang pohon jambu. Aku sangat letih karena semalaman begadang, merawat dan menjaga Ayah.***


Denpasar, 2003

(Suara Merdeka,  26 September 2004)

1 comment: