Cerpen:
Wayan Sunarta
Dini
hari tadi ketika kabut masih bergelayut di ujung-ujung daun kopi, di
dahan-dahan cengkeh, di pucuk-pucuk pohon duren, Ayah akhirnya berhasil
menyelesaikan hembusan nafasnya yang penghabisan. Ayah pergi dengan sangat
tenang, meninggalkan dua istri (satu sudah meninggal), sepuluh anak, lima cucu.
Ledakan
tangis ibuku, istri kedua Ayah, menggetar dalam gubug, lalu keluar menerobos
kabut, lalu berhinggapan di dahan-dahan cengkeh, di rerimbun daun kopi, di
pucuk-pucuk pohon duren. Seperti layaknya meratapi orang meninggal, Ibu
mengguncang-guncang tubuh Ayah, mengurapi dada kurus Ayah dengan air matanya,
sambil secara dramatis menyerukan kata-kata cengeng: “Jangan tinggalkan aku!
Ajak aku ikut bersamamu!” Saat itu aku baru tahu, ternyata Ibu sangat mencintai
Ayah. Lihatlah, air mukanya penuh diliputi kesedihan ditinggal pergi suami ke
tempat yang sebenarnya juga akan menjadi tujuan kita bersama.
Aku
hanya mampu termangu di sudut gubug. Sambil tanganku mengelus-elus dagu yang
tak berjenggot, dengan sabar kutunggui Ibu yang sedang menikmati ratapannya.
Mataku masih belum percaya melihat tubuh Ayah. Kebahagiaan macam apa yang telah
melingkupi dirinya? Tubuhnya masih hangat, meski nyawanya telah pergi, entah ke
mana. Mungkin nyawanya sedang menyelinap di cecabang pohon-pohon kopi. Atau
bisa jadi masih berputar-putar di bilik gubug, bingung memperhatikan istrinya
menangis atau merasa aneh melihat anaknya bengong seperti orang bego. Atau bisa
jadi nyawanya sedang menari-nari gembira bermain kabut di halaman gubug. Sebab
merasa telah merdeka, bebas dari kesengsaraan tubuh, dari sakit yang
berbulan-bulan dideritanya, dari kemiskinan yang meletihkan, dari berbagai
sakit hati yang pernah menggumpal dan menghuni hatinya.
Sesungguhnya aku merasa sangat
gembira Ayah meninggal. Malah aku merasa harus memarahi Ibu karena menangis dan
meratap-ratap seperti orang sinting saja. Kegembiraanku ini bukan karena aku
merasa terbebas dari tugas merawat Ayah. Aku ikut gembira sebab Ayah telah terbebas
dari sakit yang dideritanya.
Aku
tidak mampu menyembunyikan rasa takjubku melihat wajah Ayah yang begitu damai.
Bibirnya yang kisut menyunggingkan sebuah senyum. Senyum kemenangan. Matanya
tidak terbelalak, melainkan terkatup seperti bayi yang tidur lelap.
Berkali-kali aku bergumam sendiri, kebahagiaan macam apa yang sedang dirasakan
Ayah? Belum pernah seumur hidupku, aku melihat wajah Ayah sedamai ini.
Pemandangan menakjubkan inilah yang membuat aku termangu di keremangan sudut
gubug. Aku tidak sanggup menangis, apalagi berkata-kata. Kalaupun aku menangis,
itu pasti bukan karena kesedihan, melainkan kebahagiaan.
***
Dini
hari merangkak menuju pagi. Angin menghembuskan hawa dingin pegunungan. Udara
dingin ini membuatku terus terjaga, meski rasa kantuk menyerang begitu rupa.
Hampir setiap malam aku mendapat tugas melayani dan menjaga Ayah yang hanya
terbaring lemah di bale-bale bambu. Aku harus rela waktu tidurku menjadi sangat
berkurang sejak Ayah menderita sakit yang parah. Ada bekas jejak kelabu di
bawah kelopak mataku. Jejak yang mampu menggambarkan betapa letihnya aku.
Ibu
masih menangis, meski sekarang hanya isak-isaknya saja yang kedengaran. Anggota
keluarga lain belum tahu Ayah telah meninggal. Mereka tinggal terpencar.
Keluarga yang paling dekat tinggal terpisah dua petak kebun kopi dari gubug.
Yang paling jauh tinggal di kota kecamatan, sekitar tiga puluh kilometer dari
desa.
Selama
Ayah sakit yang menyebabkan separuh tubuhnya lumpuh, hanya beberapa kali saja
saudara-saudaraku ikut sibuk membantu menjaga dan merawat Ayah. Boleh dibilang
hanya Ibu dan aku yang masih setia merawat Ayah sampai pada hembusan nafasnya
yang penghabisan. Aku maklum, anggota keluarga lain sudah tidak tahan melihat
penderitaan Ayah. Mereka lebih memilih menghindar dari kenyataan pahit bahwa
Ayah menderita lumpuh dan harus dilayani seperti melayani bayi.
Aku
dan Ibu bergiliran merawat Ayah. Saat Ibu menjaga Ayah, aku mendapat tugas
mengurus kebun kopi yang tidak seberapa luas yang terletak di dekat gubug.
Begitu pula sebaliknya. Ketika kami harus sama-sama sibuk di kebun, Ayah
terpaksa sendirian menghadapi penderitaannya. Terkadang aku merasa terbiasa
dengan erangan, rintihan dan keluhan Ayah. Bahkan tanpa kusadari suara-suara
penuh kepedihan itu telah menjelma semacam hiburan dalam hatiku. Namun, pada
saat-saat tertentu suka juga aku berdoa dalam hati agar dewa maut segera
mencabut nyawa Ayah. Agar Ayah segera terbebas dari segala beban deritanya.
Pada minggu-minggu pertama Ayah
sakit, sebenarnya aku juga merasa sangat sedih. Tapi kami sudah berusaha
semampu kami untuk mengobati Ayah. Tentu kami lebih banyak mengajak Ayah ke
dukun ketimbang dokter. Dari mana kami mendapatkan uang banyak untuk biaya
dokter dan obat yang tidak murah? Bahkan jika pun kebun warisan keluarga
dijual, tetap saja ongkos untuk perawatan Ayah masih kurang. Apalagi hanya
mengharapkan penjualan hasil kebun yang selalu dibeli murah oleh para tengkulak
yang banyak bertebaran di desa pegunungan ini.
Aku
hanya pernah sekali membawa Ayah ke dokter umum di kota kecamatan. Saat itu
dokter hanya memberi Ayah beberapa butir pil sambil mengatakan padaku bahwa
Ayah baik-baik saja, perlu istirahat, jangan terlalu banyak pikiran, dan
bla..bla..bla. Ketika bicara begitu aku
merasa wajah dokter memancarkan kecemasan. Aku tidak mengerti dan tidak
bertanya lebih lanjut sebab-sebab penyakit Ayah. Aku juga tidak tahu apa yang
dipikirkan dokter saat itu. Lagi pula apa untungnya bagi dokter memikirkan
penyakit orang gunung seperti Ayah? Belakangan aku tahu dari seorang kawan yang
tinggal di kota kecamatan bahwa Ayah terserang stroke, suatu penyakit yang akan
membahayakan keselamatan Ayah. Aku hanya manggut-manggut mencoba memahami
penjelasan kawanku itu.
Membawa Ayah ke dukun tentu lebih
murah mengingat keuangan kami yang terbatas. Hampir semua dukun yang ada di
pegunungan ini pernah kami kunjungi atau kami undang ke gubug untuk mengobati
Ayah. Seorang dukun yang diyakini warga paling sakti yang kami undang ke gubug
kesurupan dan berteriak-teriak tidak jelas. Setelah sadar dari kesurupannya,
dukun itu mengatakan bahwa Ayah diserang oleh musuh-musuhnya (seingatku Ayah
tidak memiliki musuh) dengan ilmu hitam yang sangat kejam yang menyebabkan
separuh tubuh Ayah lumpuh. Untuk itu Ayah harus menjalani ruwatan dengan menggunakan
tujuh mata air suci yang ada di pegunungan ini.
Kami
pun menuruti saran dukun. Untuk itu aku harus rela bekerja keras mengambil
masing-masing satu jerigen air dari tujuh sumber air suci tersebut. Kalau aku
membawa langsung Ayah ke masing-masing sumber air suci itu tentu tidak mungkin.
Sudah kukatakan, separuh tubuh Ayah lumpuh. Jangankan berjalan, buang kotoran,
kencing, mandi dan makan saja harus dibantu, dan seringkali terpaksa dilakukan
Ayah di bale-bale.
Tak
perlu kuceritakan di sini bagaimana letih dan panjangnya perjuanganku
mendapatkan tujuh sumber air suci itu. Ceritaku yang tak berguna itu hanya akan
mengurangi pahalaku nantinya.
Begitulah,
setelah memandikan Ayah dengan air suci, keajaiban pun terjadi. Ayah menjadi
lebih sehat dan segar, meski tubuhnya tetap kurus dan kisut. Namun beberapa
hari kemudian Ayah kembali mengeluh tubuhnya tidak bisa digerakkan. Aku pun
kembali mengundang dukun itu datang ke gubug. Sambil geleng-geleng kepala dukun
sakti itu mengatakan bahwa musuh Ayah sangat hebat sehingga mampu memusnahkan
mukjizat tujuh sumber air suci. Dukun itu tidak mampu berbuat apa lagi. Ia
pulang sambil geleng-geleng kepala dan bergumam tidak jelas. Kami hanya bisa
terpana.
Habis
sudah harapan kami. Maka sejak itu, erangan, rintihan dan keluhan Ayah menjadi
semacam hiburan bagiku. Maklum di gubug tidak ada hiburan lain, seperti
televisi atau radio. Suara erangan, rintihan dan keluhan Ayah sesekali
bercampur-baur dengan cericit tikus, suara tokek dan cicak, nyanyian
burung-burung hutan, lolong anjing, dan berbagai suara serangga hutan. Gabungan
suara-suara itu menjadi nyanyian tersendiri bagiku. Begitu pedih sekaligus
menghibur. Namun anehnya, Ibu hanya mampu menangis bila mendengar
keluhan-keluhan Ayah. Aku heran, apa Ibu tidak bisa menikmati hiburan itu?
Ketika
Ayah meninggal, aku jelas merasa kehilangan. Aku sedih kehilangan hiburan dari
suara-suara yang diperdengarkan Ayah, erangan dan rintihan penuh derita yang
bercampur-baur dengan suara hewan-hewan di sekitar gubug. Kelak aku akan merindukan
hiburan aneh itu.
***
Matahari
muncul dengan senyumnya yang sumringah. Kabut perlahan menjauh. Langit mulai
hangat dan terang. Aku segera bergegas keluar gubug, pergi ke gubug keluarga
terdekat, mengabari ayah telah mati. Mereka terkejut. Atau pura-pura terkejut?
Atau hanya basa-basi saja untuk menunjukkan kesedihannya?
Setelah
mencuci muka, buang hajat, dan sarapan ala kadarnya, mereka berbondong-bondong
datang ke gubug. Karena gubug kami kecil dan tidak muat untuk menampung seluruh
kerabat, maka mereka bergiliran menjenguk Ayah ke dalam gubug. Secara
bergiliran pula mereka menangis dan meratap-ratap di dalam gubug, di depan
tubuh Ayah yang telah dingin. Tentu saja dikomandoi oleh Ibu. Perempuan paruh
baya itu selalu saja mendahului menangis menjerit-jerit dan meratap-ratap
sehingga bagai kawanan bebek kerabat yang lain ikut menangis dan meratap.
Bahkan untuk mempermanis suasana ada saja diantara mereka yang tiba-tiba
meraung atau menjerit sambil memukul-mukul dada sendiri.
Aku
keluar dari gubug dan berlari menuju kebun kopi. Di tengah kebun aku tidak
dapat lagi menahan tawa. Ketawaku yang paling ngakak, yang paling riang, yang
paling konyol seumur hidupku lepas berderai. Bahkan aku merasa beberapa bulir
air mata menetes membasahi pipi. Bukan karena aku sedih. Tapi aku tidak kuat
menahan ketawa menyaksikan tontonan paling lucu yang sedang berlangsung di
dalam gubug.
Kerabat lain yang masih menunggu giliran di
luar gubug mendengar ketawaku yang ngakak. Mereka bergegas menuju kebun kopi
dan secara paksa menyeretku kembali ke gubug. Mungkin mereka mengira aku gila,
tertekan oleh kesedihan yang sangat parah sehingga aku tidak mampu lagi
menangis, melainkan ketawa ngakak.
Aku
meronta, mencoba melepaskan diri dari pegangan dua kerabat berbadan gempal. Mereka
bertambah yakin kalau aku benar-benar telah menjadi gila karena kesedihan yang
parah. Dengan sekuat tenaga mereka kemudian mengikatku di batang pohon jambu di
belakang gubug. Mulutku disumpal dengan kain bekas sobekan baju. Mereka takut
ketawaku akan menyinggung perasaan para kerabat yang sedang menikmati kesedihan
dan irama tangisannya.
Aku
terus meronta-ronta. Mereka tidak melepaskan ikatan. Malah menambahkan tali agar ikatannya lebih kuat,
agar aku tidak lepas dan mengganggu kerabat lain. Kemudian mereka menjenguk ke
dalam gubug. Secara bergiliran menangis, menjerit, meratap, memukul-mukul dada
sendiri, meraung sambil menggoyang-goyangkan tubuh ayah yang mulai kaku. Di
pagi hari yang cerah itu, burung-burung berkicau merdu, anjing menyalak dengan
irama indah. Meski mulutku disumpal, namun kupingku dengan nyaman menikmati
hiburan itu.
Akhirnya
karena capek meronta, aku tertidur pulas dengan kedua tangan masih terikat di
batang pohon jambu. Aku sangat letih karena semalaman begadang, merawat dan
menjaga Ayah.***
Denpasar,
2003
(Suara Merdeka, 26 September 2004)
mantap kk
ReplyDelete